Kamis, 15 April 2010

Tim Kehutanan Akan Datang

Tim Kehutanan akan datang.
Begitulah berita yang diterima Insinyur Yoga pagi ini. Ia sedang berjalan menuju ruang kerjanya ketika Mugiyani – operator radio – memanggilnya dengan suara keras.
“Pak Yogaaaa.... Ada berita dari kosong tigaaa....”
Insinyur Yoga mendekat. “Ada berita apa, Gi?”
“Tim Kehutanan akan masuk camp dalam dua tiga hari ini,” Mugiyani menyerahkan selembar kertas. Isinya sama seperti yang tadi dikatakan, hanya ada sedikit tambahan, harap dipersiapkan segalanya.
“Cuma ini?”
Mugiyani mengangguk.
“Tidak ada keterangan mereka datang dalam rangka apa?”
Mugiyani menggeleng.
Insinyur Yoga meneruskan langkahnya. Sebetulnya tanpa diberi tahu pun ia sudah tahu. Ini bulan november, mereka pasti datang dalam rangka pemeriksaan untuk memperoleh ijin tebang tahun depan. Kalau semuanya lancar, desember nanti berita acara pemeriksaannya ditanda-tangani. Awal januari sudah bisa menebang lagi.
Dari arah belakang terdengar suara mobil mendekat. Disusul derit rem mendadak.
“Sudah tahu?” suara Mister Lee keras.
“Soal tim?”
“Iya-lah. Soal apa lagi?”
“Barusan Mugi kasih tahu.”
“Kalau begitu naik.”
Insinyur Yoga menaiki mobil. Beberapa karyawan tersenyum dari balik jendela. Insinyur Yoga balas tersenyum. Ia tahu mereka sebetulnya hanya meledek. Saat itu pun di kantor pasti sudah tersebar berita bahwa Yoga – Insinyur Yoga – diajak Mister Lee naik mobil Rocky. Suatu pemandangan yang langka dan jarang terjadi.
Yoga bukannya tidak merasa.
Dialah satu-satunya kepala bagian yang tidak memiliki mobil dinas sendiri. Dialah satu-satunya kepala bagian yng harus menumpang kendaraan dinas bagian lain untuk menjalankan tugasnya. Padahal masa kerjanya sudah enam tahun. Padahal anak buahnya lebih dari delapan puluh orang yang tersebar di lebih dari empat lokasi kerja. Dalam kenyataannya masa kerja enam tahun itu tidaklah berarti apa-apa. Hanya satu hal yang melegakan: Yoga satu-satunya yang dicari jika ada tim dari dinas kehutanan masuk base camp. Itu semata-mata karena hanya Yoga satu-satunya tenaga teknis yang tersisa yang dianggap layak menemui mereka.
Sejak saat itu karyawan mulai paham. Kalau mendadak Insinyur Yoga diajak naik Rocky, berarti akan ada tamu masuk camp. Kalau bukan hari ini ya besoknya. Kalau bukan besok ya lusa. Dan Pak Gunari yang bagian personalia akan menyindir, “Naik Rocky nih yeee...”
“Sekali-sekali, Pak Gun.”
Rem yang diinjak mendadak mengagetkan Yoga.
“Mereka periksa apa?” tanya Mister Lee.
“Blok tebang, mister.”
“Kenapa begitu cepat?”
“Biasanya memang november kok.”
“Ya tapi ini mendadak sekali,” Mister Lee mengerutkan kening. “Biasanya kan kantor cabang kasih tahu dulu. Ini tidak ada kabar apa-apa. Kapan mereka ke kantor cabang? Hari ini? Kalau besok langsung masuk camp susah kita....”
Insinyur Yoga mencoba bersikap tenang.
Ini bukan yang pertama kalinya tapi selalu terjadi. Selalu saja Yoga tidak memahami jalan pikiran pimpinannya. Sebagai manager camp seharusnya Mister Lee sudah tahu bahwa penebangan dimulai awal tahun. Sejak dulu selalu begitu. Tetapi setiap kali akan ada pemeriksaan selalu saja kelabakan seperti kebakaran jenggot – meski nyatanya Mister Lee tidak berjenggot.
Mister Lee meraih radio dekat setir. Memanggil-manggil.
“Silahkan....” terdengar jawaban.
“Tanya kosong tiga! Kosong tiga tanya, kapan tim masuk!.... Tanya kapan tim masuk!.... Tanya dimana posisi mereka sekarang!....”
“Oke, mister! Nanti disampaikan!.... Kosong tiga belum buka, ganti!....”
Mister Lee menggerutu dalam bahasa Korea. Meletakkan mike dengan kasar.
“Kurangajar mereka itu! Kita sudah pada kerja mereka masih pada tidur. Kurangajar mereka....” lalu menghidupkan mobil. “Yoga, blok tebang bagaimana?”
“Katanya orang chainsaw sudah lewat batas, Mister.”
“Hah! Chainsaw siapa?”
“Yang di kilo tiga tujuh.”
Mister Lee kembali memaki-maki dalam bahasa asalnya. Menyalahkan operator chainsaw yang selalu saja menebang melewati batas. Padahal batas sudah dibuat lebar-lebar dan ditandai dengan cat merah. Tapi pelanggaran demi pelanggaran terus saja terjadi berulang-ulang.
“Jadi sudah diperbaiki?”
“Belum.”
“Kenapa belum?”
“Tunggu kayunya ditarik dulu.”
“Hah! Mana bisa! Mana bisa begitu.... kalau besok tim masuk, matilah kita. Mati kita. Mengerti? Perbaiki sekarang!...”
Rocky memutar kembali.
Sebelum mobil berhenti sempurna, Insinyur Yoga sudah memanggil tiga anggotanya, menyuruh mereka bersiap-siap. “Jangan lupa kompas, tali, cat merah....”
“Bikin apa, Pak?”
“Mari sini,” Insinyur Yoga membentangkan peta di atas kap mobil. “Perhatikan baik-baik. Ini batas blok tebang kita, dari sini ke sini. Orang chainsaw katanya sudah masuk sampai sini. Sudah lewat batas. Jadi kita bikin batas baru di sebelah sini. Sekitar lima puluh meter sebelah barat batas lama. Kita rintis lagi dua meter kiri kanan. Pasang patok dan jalur. Dicat merah. Mengerti?”
Ketiga anggota mengangguk.
“Jalan dekat sungai bagaimana, Pak?”
“Dekat sungai mana?”
“Dekat simpang kilo sembilan. Kan ada juga traktor di sana.”
Insinyur Yoga menoleh kepada Mister Lee.
Mister Lee menoleh ke langit.
“Ya, yaaaaa, saya sudah tahu. Jalan sudah saya suruh tutup sama mandor,” lalu meraih mike radio dekat setir. Memanggil-manggil mandor tebang.
“Silahkan, Misteeer....”
“Kilo sembilan bagaimana? Simpang kilo sembilan bagaimana!....”
“Sebentar lagi, Misteeer.... Rantai traktor ada rusak sikit ! Rantai traktor ada rusak, sedang perbaiki, ganti!....”
Mister Lee memaki-maki lagi.
Menggerutu lagi.
Menoleh pada Yoga lagi.
“Sudah siap?” Lalu tanpa menunggu jawaban, “Ayo berangkat!”
Rocky bergerak cepat meninggalkan base camp. Debu yang ditinggalkan membuat beberapa mekanik menggerutu.
Di dalam mobil, Insinyur Yoga melihat ke arah kebun karet dan ladang-ladang di sepanjang jalan. Ia baru sekitar enam tahun bekerja di situ, tapi pohon karet yang sudah disadap getahnya menunjukkan bahwa perladangan itu sudah berlangsung lama. Kondisi ini kelihatannya memang menjadi kenyataan di mana-mana. Begitu perusahaan membuka jalan, masyarakat di sekitarnya serta merta membuka ladang dan kebun. Pohon-pohon kecil di sepanjang kiri kanan jalan ditebangi, semak belukar dibabat, kemudian dibakar dan ditanami. Mula-mula hanya tanaman semusim seperti padi atau jagung. Kemudian berlanjut dengan menanam pohon karet yang berumur tahunan.
Kalau diberi penjelasan bahwa tindakan itu merusak hutan, jawabannya menggetirkan batin.
“Macam manalah, Pak. Kami ini cuma cari makan. Cuma untuk makan. Bukan cari uang. Bapak tahu sendiri berapalah hasil kebun selebar ini?”
Kalau dilarang, jawabannya lebih menggetarkan lagi.
“Kalau kami dilarang buka hutan, kami mau makan apa? Apakah Bapak mau menanggung hidup anak istri saya? Apa perusahaan mau menerima kami bekerja? Jadi kami tidak usah lagi repot-repot buka kebun,” tangannya yang berkeringat menunjuk ke arah yang jauh. “Bapak lihat Korea-Korea itu? Mereka datang ke sini babat hutan, ambil kayu berkubik-kubik. Tumpuk uang di kantung masing-masing. Sudah kaya semakin bertambah kaya. Kami, jangankan kaya, makan tiga kali sehari saja susah....”
Insinyur Yoga melirik Mister Lee.
Mister Lee balas melirik. “Pembinaan hutan bagaimana?”
“Seperti biasa, Mister.”
“Seperti biasa bagaimana?”
“Ya seperti biasalah. Bikin batas. Cruising. Pembibitan. Penanaman. Pemeliharaan. Ya seperti itulah....”
“Waaaah, tidak bisa begitu, Yoga! Pembinaan harus beres. Nanti kalau diperiksa dan tidak beres, susssaaah kita. Susssaaahhh....”
“Ahhh, pembinaan selalu beres. Penebangan yang tidak beres.”
“Mana ada tebang tidak beres? Mana ada!”
“Lha itu orang chainsaw selalu lewat batas. Selalu nebang diluar blok!”
“Yaaa.... tapiii mereka cari kayu. Mereka ada hasil. Mereka ada produksi. Kalau tidak ada produksi kita makan apa? Makan apa? Makan bibit? Pembinaan mau dibiayai dari mana?” suara Mister Lee meninggi. “Chainsaw lewat batas tidak apa-apa. Tidak apa-apa.... Datang orang dinas kita geser batasnya. Pulang orang dinas kita ambil kayu di situ lagi. Apa masalah? Ha?....”
Ketiga anggota di belakang tertawa.
Insinyur Yoga menahan mual dalam dadanya.
Selalu saja Yoga serasa mau muntah setiap kali berdebat tentang pembinaan hutan dengan Mister Lee. Bagi atasannya itu, kayu adalah nomor satu. Yang penting kayu keluar, yang penting produksi jalan. Tidak peduli mengambil di luar batas, tidak peduli dari luar blok tebang. Soal penghijauan kembali urusan belakangan. Ketahuan dinas kehutanan?
“Gampaaaang...” Mister Lee menggosok-gosokan ibu jari dengan jari tengahnya.
Insinyur Yoga bukannya tidak tahu. Hanya sering bertanya-tanya, apa gunanya ia di sana kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang? Setiap kali berdiskusi dengan Mister Lee – dan mister-mister lainnya – tentang perlunya pembinaan hutan, hasilnya selalu sama saja. Jawaban klasik yang sering terdengar adalah, “Buat apa?”
Untuk apa?
“Ya. Untuk apa?” kata Mister Lee dulu. “Kamu sarjana kehutanan, kamu pasti tahu untuk tumbuh satu pohon meranti perlu berapa lama? Berapa tahun? Tiga puluh lima tahun ya? Kita bisa saja tanam, tapi nanti siapa yang panen? Kita?
Belum tentu!
Kamu kan tahu sendiri ijin kita cuma dua puluh tahun. Habis itu belum tentu diperpanjang. Diperpanjang pun belum tentu kita masih mau. Belum tentu kita masih hidup. Iya tidak?”
“Tapi Mister,” Yoga mencoba mendebat. “Di Jawa sana jati juga ditanam meskipun umurnya tiga puluhan tahun. Yang menanam belum tentu yang memanen. Yang memanen belum tentu yang dulu menanam. Dan itu sudah ada sejak jaman Belanda!”
“Aigooo....” Mister Lee menggerak-gerakkan tangannya. “Janganlah, jangan samakan dengan pemerintah punya. Di Jawa itu perhutani punya, pemerintah punya, jadi hasilnya tidak akan lari kemana-mana. Kita HPH swasta punya. Modal sendiri. Dan tanam pohon ratuan hektar itu perlu uang milyaran. Mil-yar-an, tahu?
Ya kalau nanti hutannya tumbuh kembali. Kalau tidak?
Ya kalau nanti ijin kita diperpanjang. Kalau tidak?”
Mobil yang direm mendadak menyadarkan Yoga bahwa mereka telah sampai. Ketiga anggota turun serentak. Sekali lagi Yoga memberi pengarahan. Kemudian rocky meluncur lagi, mengikuti jalan tanah yang masih perlu pengerasan. Suara traktor dan gergaji mesin menggemuruh dari celah-celah rimbunan pohon. Sesekali terdengar gelegar pohon tumbang. Mister Lee beberapa kali turun menghampiri operator chainsaw dan operator traktor yang sedang bekerja. Memerintahkan ini itu. Menunjuk ke sini ke situ. Menyuruh-nyuruh sambil tak lupa marah-marah dalam bahasanya sendiri.
Matahari sudah tinggi ketika rocky meluncur kembali ke camp.
“Sudah lama ya Yoga tidak turun?”
“Ada enam bulan-an ini.”
Mister Lee tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Yoga.
“Tidak usah kuatir, nanti kita turun sama-sama-lah. Jalan-jalan dulu di kota. Nonton, karaoke, minum bir, cari perempuan.... Iya kan? Apa lagi? Apa lagi?... Ha-ha-ha...”
Apa lagi?
Bagi mereka semuanya bermuara pada apa lagi. Sementara bagi Yoga semuanya berarti tidak ada apa-apa lagi. Kantung mereka penuh, sementara hutan habis dan hanya menyisakan kulit kayu di mana-mana. Apa lagi?


Sore itu Insinyur Yoga masih duduk di ruangannya. Masih menyelesaikan beberapa peta ketika aiphone di atas meja berbunyi. Suara Mister Lee terdengar di seberang sana. “Yoga jangan kemana-mana. Mereka masuk sore ini.”
“Ya, mister.”
“Masih banyak kerja?”
“Sedikit lagi.”
“Atur-aturlah supaya kita tidak repot besok.”
“Ya, mister.”
Ya mister, ya mister, betapa seringnya Yoga mengucapkan itu. Meski sadar bahwa sebenarnya dia hanya dijadikan perisai untuk menghadapi aparat pemerintah, toh Yoga menerima sebagai tugas yang memang harus dijalani. Setidaknya selama masih mengharapkan gaji dan fasilitas perusahaan, selama itu pula Yoga harus berperang dengan batinnya sendiri.
Lepas magrib Yoga masih di kantor.
Setelah merapikan mejanya, Yoga menuju ruang tivi yang berada persis di sebelah kantor. Acara liputan sore baru saja mulai. Ada Pak Gunari di situ.
“Tamunya belum datang, Pak?”
“Sore ini, Pak Gun.”
Di layar tivi terlihat Menteri Kehutanan berbicara berapi-api mengenai hutan Indonesia yang hijau dan lestari. Insinyur Yoga memandang ke luar jendela. Rasanya ia ingin menangis karena yang ada di hadapannya justru hutan yang compang-camping.
Dari kejauhan terdengar deru rocky dipacu cepat. Semakin lama semakin mendekat. Yoga tahu tamu yang ditunggu sudah datang, dan itu berarti ia harus menjemput mereka ke logpond – dermaga tempat menumpuk kayu bulat sekaligus tempat perahu disandarkan.
Yoga tidak perlu bergegas karena suara rocky semakin mendekat, disusul derit rem membelah udara senja.
“Yogaaaa!....”



Sibolga, akhir april 1997


Tidak ada komentar:

Posting Komentar