Wibi terbangun dengan perasaan aneh. Diliriknya arloji, sudah setengah duabelas. Dilihatnya jam dinding besar di tengah ruangan yang juga menunjukkan angka yang sama. Berarti arlojinya tidak salah. Tetapi kenapa kapal belum juga merapat?
Penumpang tidak begitu padat. Sebagian besar tertidur pulas di atas bangku masing-masing. Mereka dengan nyaman tidur meluruskan kaki di atas bangku berlapis kulit yang lembut. Tapi apakah mereka tidak sadar mustinya ferry sudah merapat sejak satu setengah jam yang lalu?
Wibi ingat persis kapal tadi berangkat dari Merak pukul delapan malam. Dengan lama perjalanan sekitar dua jam mustinya pukul sepuluh sudah merapat di Bakaheuni. Tapi ini, sudah setengah dua belas masih di tengah laut!
Agak terhuyung Wibi mendekat ke tepi kapal. Angin laut menerpa kencang. Suara ombak berdebur keras menghantam dinding kapal. Wibi mengamati dengan cermat gerakan air jauh di bawah kakinya. Dilihatnya berkeliling. Tidak ada kapal lain yang melintas. Tidak ada setitik cahaya pun yang nampak. Sesaat Wibi menyadari – seratus persen yakin – kapal ferry yang ditumpanginya tidak bergerak.
“Jam berapa, Pak?”
Wibi memandang laki-laki yang agaknya juga baru terbangun dari tidurnya. Ikut-ikutan memandang laut dari tepian kapal.
“Bakaheuni masih jauh ya, Pak?”
Wibi mengusap wajahnya yang basah kena tempias air. “Bapak sudah pernah naik feri?”
“Baru sekali ini, Pak.”
Pantas, gumam Wibi. Pantas kalau tidak bisa membedakan kapal yang bergerak dengan kapal yang berhenti. Pantas kalau tidak tahu di mana Merak di mana Bakaheuni. Wibi ingin menjelaskan tapi merasa percuma. Mungkin memang ada kerusakan mesin atau ada masalah teknis di dermaga Bakaheuni sehingga kapal membuang jangkar di tengah laut.
24.00 WIB.
Kelihatannya penumpang lain tidak merasakan ada yang tidak beres. Sebagian yang terkantuk-kantuk mungkin mengira kapal masih dalam perjalanan ke Bakaheuni. Sebagian yang baru pertama kali naik ferry mungkin mengira perjalanan Merak-Bakaheuni memang memakan waktu empat sampai lima jam.
Wibi memilih duduk di bar dan memesan secangkir kopi. Ada dua orang lagi di sebelahnya yang juga sedang menikmati secangkir kopi – satu di antaranya kopi susu. Yang minum kopi tampak gelisah. Terlihat dari seringnya melihat jam tangan.
“Kapalnya tidak jalan ya, Mas?” tanya Wibi kepada petugas yang mengantarkan kopinya.
Laki-laki yang gelisah mendekatkan kopinya, menggeser duduknya mendekati Wibi.
“Menurut Bapak kapalnya tidak jalan kan?” tanyanya.
“Ya.”
“Saya juga merasa begitu. Dari tadi saya sudah curiga.”
Wibi mengaduk kopinya. “Seharusnya jam sepuluh tadi kita sudah sampai. Ini sudah lewat jam dua belas. Sudah terlambat dua jam. Air lautnya juga tidak bergerak.”
Keduanya sama-sama melihat petugas bar.
“Saya juga kurang tahu, Pak!” katanya tergesa. “Tidak ada pemberitahuan apa-apa dari kapten. Mungkin dermaga penuh jadi kapal belum bisa sandar.”
Wibi menggeleng pelan. “Saya pernah mengalami kapal menunggu giliran merapat. Memang bisa berjam-jam. Tapi biasanya lampu-lampu pelabuhan sudah kelihatan. Ini jangankan lampu dermaga, lampu kapal lain pun tidak ada. Feri yang bolak-balik Merak-Bakaheuni kan banyak. Masak satu pun tidak kelihatan!”
“Jangan-jangan kapal kita terbawa arus!”
“Bisa jadi, kalau mesin kapal mati. Tapi masak sih tidak ada pengumuman apa-apa. Atau setidaknya minta bantuan kapal lain.”
“Kaptennya ini yang tidak becus!”
“Ya. Kita penumpang disamakan dengan barang saja!”
Wibi merasa menemukan teman bicara yang cocok. Diperhatikannya laki-laki yang memaki-maki kapten. Masih muda. Tampangnya masih seperti mahasiswa. Walau memakai topi tetap kelihatan rambutnya dipotong pendek. Ada sejumput jenggot di bawah dagunya.
Laki-laki itu juga melihat ke arah Wibi. Mengulurkan sebungkus rokok.
“Terimakasih,” Wibi mengambil sebatang. “Mau kemana?”
“Bandar Lampung.”
“Bawa mobil sendiri atau....”
“Tidak. Saya ikut bis sampai Bakaheuni. Nanti ada teman yang menjemput.”
Wibi menyalakan rokoknya. Menghisap kuat-kuat. “Sudah kerja?”
“Baru lulus elektronika. Ini mau nengok keluarga. Bapak sendiri?”
“Saya kerja di Pekanbaru.”
“Sering naik feri ya, Pak?”
“Selalu,” Wibi menikmati hembusan asap rokoknya. “Tiga bulan sekali saya pulang ke Bogor menengok keluarga. Selama ini kalau naik feri baik-baik saja. Kalau telat biasanya suka ada pengumuman. Tapi sekali ini berbeda. Kapalnya tidak sampai-sampai, pengumuman tidak ada, awak kapalnya pun entah pada kemana. Coba perhatikan, dari tadi tidak ada petugas yang kelihatan, kan?”
“Brengsek memang!”
00.20 WIB.
“Merokok lagi, Pak?”
Wibi menggeleng. Ia hanya merokok sesekali saja, hanya pada saat-saat gelisah seperti malam itu. Tapi kenalan barunya itu nampaknya perokok berat. Asapnya tidak berhenti mengepul. Cara menghisapnya pun terburu-buru sambil sesekali melihat jam tangan.
“Kasihan teman saya kelamaan menunggu di Bakaheuni.”
“Ditelpon saja. Ada wartel satelit di kapal.”
“Tidak usah,” ia menggeleng. “Teman saya itu kritis. Kalau saya bilang kapalnya telat dia pasti tanya sebabnya. Kita sendiri belum tahu kenapa kapalnya terlambat. Mau tambah kopinya, Pak?”
“Tidak, terimakasih,” Wibi menolak. “Siapa namamu?”
“Riko,” sahutnya pendek.
“Begini, Rik. Saya Wibi. Saya juga kesal karena perjalanan ini mulai menjengkelkan. Jadi bagaimana kalau kita cari petugasnya. Kita tanyakan ada apa sebenarnya.”
Riko mendadak gembira. “Ya, ya, boleh juga. Ayo kita cari mereka,” lalu memanggil petugas bar. “Berapa semuanya, sama kopi Bapak ini juga. Bagian informasi di sebelah mana?”
“Di dek atas, Pak. Dekat ruangan kelas satu.
“Yang pake AC itu?”
“Ya.”
00.45 WIB.
Tidak sulit menemukan ruangan yang dimaksud. Ada tulisan information dalam neon box warna oranye di atas pintu. Seorang berseragam tertidur di bangku putar. Riko menepuk pundak orang itu perlahan, tapi cukup untuk membuatnya terbangun gelagapan.
“Ada apa, Pak?” suaranya gagap sambil mencoba duduk sempurna.
Wibi menunggu agar kesadaran petugas itu pulih dulu. Kemudian dengan hati-hati berkata, “Kami ingin tahu kenapa kapalnya tidak sampai-sampai. Kapal ini juga tidak bergerak. Kalau bergerak mustinya sejak dua jam yang lalu kita sudah sandar di Bakaheuni.”
“Iya, Pak!” Riko menimpali. “Bapak jangan diam-diam saja dong. Kami ini penumpang, bukan barang. Kalau kapalnya ada kerusakan mesin kasih tahu dong!”
“Iya, iya Pak....” petugas itu makin tergagap. “Saya mengerti....”
“Mengerti apa!” suara Riko meninggi.
Wibi menahan badan Riko. Dibacanya label nama yang tersemat di dada petugas itu.
“Pak Kadir,” Wibi mencoba bersikap ramah. “Kami hanya ingin tahu ada apa sebenarnya. Kami tahu Bapak cuma karyawan di sini, tapi kami kan juga punya hak untuk diberi tahu. Karena kami ini membayar. Berarti kami wajib dilayani. Bukannya dibiarkan menunggu-nunggu seperti ini....”
Petugas bernama Kadir itu mulai tenang. Wajahnya diusap beberapa kali sambil menatap wajah Wibi dan Riko berganti-ganti.
“Terimakasih kalau Bapak-Bapak mau mengerti. Sebenarnya saya pun tersiksa dengan keadaan ini. Saya juga ingin cepat sampai di Bakaheuni, ingin cepat istirahat di rumah karena ini shift terakhir saya.”
“Ya, ya....” Riko tidak sabar.
“Saya juga ingin memberitahu penumpang, tapi kapten melarang.”
“Kenapa?”
“Sebetulnya mesin kapal kita memang rusak, Pak.”
Wibi dan Riko mengeluh hampir bersamaan. Riko bahkan memukul meja.
“Satu jam setelah Merak, penggerak baling-baling utama tidak berfungsi. Sampai sekarang mekanik kami masih memperbaiki.”
“Sampai kapan?”
“Belum tahu, Pak. Kerusakannya belum ketemu.”
“Kalau begitu kenapa kita tidak minta bantuan kapal lain?”
Kadir memandang Wibi lekat-lekat. “Susah, Pak. Kapal ini sudah terseret arus sekitar duabelas mil dari jalurnya.”
“Mati kita!” tanpa sadar Wibi memaki. “Pantas sejak tadi tidak kelihatan ada kapal lain!”
“Betul, Pak. Mereka tahu kondisi kita tapi tidak bisa membantu karena harus terus sesuai jadwal.”
Wibi dan Riko saling berpandangan.
“Kalau Bapak-Bapak sudah tahu, mohon jangan memberi tahu penumpang lain. Nanti mereka panik. Nanti saya kena marah kapten. Mohon, Pak....”
Senyap. Tak ada yang bersuara.
Riko berkali-kali melihat jam tangannya.
“Jadi sampai kapan kita harus begini, Pak Kadir?”
“Kami sudah kontak Merak. Mereka sudah kirimkan bantuan mekanik dan spareparts yang diperlukan.”
“Mereka sudah berangkat?”
“Setengah jam yang lalu.”
“Kira-kira berapa lama perbaikannya?” Riko mengulangi pertanyaannya.
“Anginnya kencang, Pak. Paling cepat mereka sampai sini jam dua nanti. Pasang sparepart-nya juga butuh waktu. Mudah-mudahan setengah empat sudah normal lagi.”
“Setengah empat!” suara Riko keras sekali.
Beberapa penumpang terbangun. Sebagian melihat ke arah Riko yang memukul-mukul dinding. Wibi menepuk pundak teman barunya itu, mengajak mencari udara segar di luar ruangan.
“Sudahlah. Tidak ada gunanya marah-marah. Kita tunggu saja. Ayo kita minum kopi lagi.”
Riko menggeleng.
“Atau kamu mau telpon temanmu itu? Ayo kita ke wartel.”
Riko kembali menggeleng. Kali ini sambil mengacak-acak rambutnya.
Wibi melihat ke arah petugas berseragam itu. “Pak Kadir, beritahu kapten supaya cepat memperbaiki apa yang rusak. Dan penumpang diberi tahu supaya mereka tidak mendapat informasi yang salah. Kalau sampai jam tiga nanti tidak ada perkembangan apa-apa, jangan salahkan kami kalau membawa orang lebih banyak lagi ke sini.”
“Ya,” Riko menunjuk tajam. “Beritahu juga kaptenmu, kalau sampai pagi kapal belum juga sampai Bakaheuni, dia yang harus bertanggung jawab!”
01.00 WIB.
Akhirnya terdengar suara Pak kadir melalui pengeras suara yang memberitahukan kepada para penumpang bahwa ferry mengalami kerusakan mesin. Sebagian penumpang terkejut, sebagian menggerutu, sebagian yang lain melanjutkan tidurnya.
Riko terus-terusan merokok dan mengumpat entah kepada siapa.
Wibi berbaring sambil mencoba tidur kembali.
02.00 WIB.
Dari pengeras suara terdengar informasi bahwa kapal pembawa mekanik sudah tiba. Juga diberitahukan kepada penumpang yang tidak membawa kendaraan atau tidak ikut kendaraan umum bisa pindah ke kapal itu karena akan langsung ke Bakaheuni.
“Sekali lagi,” begitu terdengar berita ulangan. “Kepada penumpang yang bepergian tanpa menggunakan kendaraan – baik umum maupun pribadi – dapat pindah ke kapal yang sebentar lagi merapat. Harap bersiap-siap di sisi kanan kapal. Bagi yang membawa kendaraan pribadi atau ikut angkutan umum diminta untuk tetap berada dalam kapal!”
Wibi terbangun dan melihat Riko mengguncang-guncang lengannya.
“Ayo, Pak Wibi, kita pindah ke kapal itu. Biar lebih cepat sampai Bakaheuni.”
Wibi ragu-ragu.
“Ayolah, Pak. Ngapain berlama-lama kita di sini. Pagi nanti belum tentu kapal ini sudah sampai Bakaheuni.”
Wibi menggeleng.
“Tidak usah, Rik. Saya di sini saja. Saya ikut bis umum. Males kalau nanti musti cari-cari lagi di terminal.”
“Jangan kuatir. Nanti saya temani Bapak di terminal. Kita minum kopi sampai kapalnya datang.”
Wibi tetap menggeleng.
Dilihatnya banyak penumpang yang bersiap-siap pindah kapal. Mereka berbaris antri menuju sisi kanan. Lalu ada lagi pengumuman bahwa kapal bantuan sudah merapat.
Lalu pengumuman kapal bantuan akan berangkat sepuluh menit lagi.
Riko masih mengulurkan tangannya. Dan Wibi masih ragu-ragu.
Akhirnya Riko menyalami Wibi erat-erat. “Baiklah kalau begitu, saya tidak bisa memaksa. Mudah-mudahan kita nanti bisa ketemu lagi. Terimakasih dan selamat jalan, Pak!”
04.00 WIB.
Wibi terbangun dengan perasaan tidak enak. Masih teringat samar-samar dalam pandangannya saat beberapa jam lalu Riko meloncat ke kapal bantuan. Gerimis dan angin kencang mengaburkan pandangan. Tapi sesaat Wibi masih sempat melihat Riko melambaikan tangan ke arahnya.
Wibi membalas dengan salam hormat.
Dan salam hormat itu pula yang dilihat Wibi sekarang. Beberapa orang berseragam tampak bergegas menaiki kapal. Lampu suar berukuran besar menyorot ke sana ke sini. Sebentuk kapal cepat muncul dari sisi kanan.
Ada apa ini?
Wibi melihat sambil menahan silau.
Dari pengeras suara terdengar perintah agar penumpang satu persatu pindah ke kapal cepat. Wibi mencari Pak Kadir tapi ruang informasi sudah kosong. Yang ditemui justru petugas berseragam lain yang menyuruhnya segera pindah.
Ada apa ini?
Suara gaduh penumpang membuat Wibi urung menuruni tangga menuju dek bawah. Apalagi supir-supir bis beserta keneknya yang menunggu di palka bawah kini justru berbondong-bondong naik ke dek atas. Di antara tangisan anak-anak dan kepanikan ibu-ibu, Wibi mendengar kata bom diucapkan berkali-kali.
Bom?
Belasan petugas dengan rompi hitam bertuliskan GEGANA saling bersicepat memasuki dek atas. Suara sepatu berderap ke mana-mana. Beberapa perwira saling berbicara lewat handy talky entah dengan siapa.
Wibi meloncat ke kapal cepat bersamaan dengan bunyi sirene meraung-raung.
Pagi pukul 06.30 WIB.
Di salah satu rumah makan di Terminal Bakaheuni, Wibi menghirup kopinya lambat-lambat. Layar tivi di sudut ruangan menyiarkan breaking news tentang ditemukannya sebuah bom di salah satu ruang mesin kapal ferry yang mengalami kerusakan dalam perjalanan Merak-Bakaheuni. Bom tersebut diatur akan meledak tepat saat sholat subuh pada pukul 04.10 tetapi berhasil dijinakkan oleh regu Gegana.
Berita itu diulangi setiap sepuluh menit sekali.
Pada tayangan ketiga disebutkan bahwa kerusakan kapal berhasil diperbaiki. Terlihat juga gambar beberapa petugas berseragam membawa kotak hitam yang katanya berisi bom untuk dibawa ke Puslabfor Polri untuk penyelidikan lebih lanjut. Wibi sempat tersenyum manakala mengenali wajah Pak Kadir saat diwawancarai reporter tivi.
Satu jam kemudian pengeras suara terminal memberitahukan bahwa kapal yang rusak sudah selesai diperbaiki dan sebentar lagi merapat di dermaga. Penumpang yang sudah berada di dermaga diminta menunggu bis masing-masing di terminal pelabuhan. Dari kejauhan Wibi melihat puluhan wartawan dan fotografer berjejalan di tepi dermaga.
Siang pukul 11.30 WIB.
Sepanjang perjalanan menuju Pekanbaru, Wibi memilih tidur daripada membicarakan soal bom di atas ferry seperti yang dilakukan hampir seluruh penumpang bis. Ia teringat Riko yang saat ini mungkin juga sedang tertidur di rumahnya di Bandar Lampung sana. Atau mungkin juga sedang terkaget-kaget menonton berita penemuan bom itu dari layar tivi.
Besoknya pukul 07.15 WIB.
Wibi mengambil Riau Pos yang tergeletak di teras depan sambil tetap membawa cangkir kopinya. Berita utama pagi itu masih tentang penemuan bom sehari sebelumnya. Ditambah perkembangan-perkembangan baru dari hasil penyelidikan polisi atau hasil penelusuran wartawan. Salah satu headline menyebutkan adanya lima tersangka yang katanya sudah diketahui identitasnya dan sedang dalam pengejaran pihak berwajib.
“Dua orang terlihat ikut dalam perjalanan kapal feri,” kata humas Polri seperti dikutip koran tadi. “Sketsa kelima tersangka sudah dibuat berdasarkan keterangan saksi-saksi dan akan disebarkan untuk mempermudah pencarian.”
Wibi mengambil remote tivi dan menyalakan liputan pagi. Tampak Kapuspen Polri duduk dikerubuti puluhan wartawan dengan mike dan kamera yang saling berebut tempat persis di depannya. Tangan Kapuspen memegang kertas bergambar sketsa para tersangka dan memperlihatkan satu persatu. Tiga sketsa pertama tidak mengusik perhatian Wibi. Baru pada sketsa keempat Wibi menghela napas karena perkiraannya tepat.
Sketsa itu mengingatkannya pada Riko.
Yang ke lima pasti sketsa teman Riko yang katanya sudah menunggu di Bakaheuni. Wibi menduga ke situ. Tapi dugaannya meleset – dan itu membuat kopinya tertumpah – karena sketsa ke lima ternyata mirip dengan dirinya!
musim teror, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar