Kamis, 15 April 2010

SMS



Jkt panas dan berdebu, bgmn slo tercinta?

Astuti tersenyum membaca pesan sms yang baru dibukanya. Seperti ramalan cuaca saja, gumam Astuti. Ia merasa lucu, tapi juga merasa senang. Karena Mas Gi termasuk jarang berkirim sms. Paling-paling seminggu sekali. Itupun hanya kalimat-kalimat pendek.
Tapi harus diakui pesan-pesan dari Mas Gi seperti mata air di tengah gurun. Selalu menentramkan. Selalu membuatnya bungah. Selalu menghadirkan rasa kangen, yang akan diikuti Astuti dengan segera mengirim balasan. Dan semakin membuat Astuti kangen karena balasan berikutnya kadang baru muncul besok atau beberapa hari kemudian.
Kadang balasannya tidak nyambung dengan pesan sebelumnya. Seperti beberapa minggu lalu, ketika pada suatu tengah malam mendadak nada sms terdengar di ponsel Astuti. Isinya, sdh lwt tengah mlm tp sy blm bisa tidur, apakah krn kangen kamu?
Astuti menjawab dengan, kalo gak bs tdr, konsentrasi saja ke sblh.
Jawaban itu tidak berbalas. Astuti menjadi serba salah. Kuatir kalau-kalau Mas Gi tersinggung. Tapi apakah salah kalau Astuti mengingatkan bahwa di sebelah Mas Gi ada Mbak Nien yang selama ini menemani dalam suka dan duka?
Astuti bukannya tidak tahu kalau Mas Gi yang dikenalnya sejak semasa SMA sudah beristri dan punya dua anak. Ia hanya tidak mengerti mengapa hubungan mereka tetap berlanjut hingga sekarang. Padahal awalnya hanyalah sahabat pena. Bertemu langsung pun baru beberapa kali (waktu itu Mas Gi belum menikah, dan Astuti juga masih kuliah). Tapi tidak seperti sahabat pena lainnya – yang biasanya terhenti jika salah satu diantaranya sudah bekerja atau menikah – surat-surat mereka terus berlanjut.
Surat-surat yang berlanjut menjadi saling kirim kartu. Kiriman kartu yang berlanjut menjadi saling menelpon. Dan telepon yang kini berlanjut menjadi saling mengirim pesan singkat.
Semua berlangsung seperti urutan yang sudah diatur. Berjalan begitu saja. Menjadi akrab tanpa terasa, yang ditandai dari gurauan atau kata-kata mesra yang diucapkan nyaris tanpa beban. Dan kemesraan itu tidak menjadi surut bahkan setelah Mas Gi menikah.
Bahkan setelah Astuti bekerja di sebuah stasiun radio, bahkan setelah Mas Gi dikaruniai anak pertama. Lalu Astuti pun menikah. Kemudian Mas Gi mendapat anak kedua. Lalu Astuti melahirkan. Kemudian anak Mas Gi mulai masuk TK. Lalu suami Astuti meninggal karena serangan jantung.
Mas Gi yang terlambat menerima kabar itu, menelpon Astuti dan meminta untuk tetap tabah. Lama kemudian tak ada kontak apa-apa, sampai pada suatu malam – lebih dua tahun setelah Astuti menjanda – Mas Gi menelepon ke stasiun radio tempat Astuti bekerja.
“Lagi on air ini?”
“Tidak,” suara Astuti masih sama merdu. “Kenapa, mau pesen lagu? Bisa direkam sekarang. Nanti disiarkan setelah jam sembilan.”
“Boleh pesan lagu apa saja?”
“Apa saja bisa, asalkan yang slow. Soalnya untuk acara malam sih.”
“Campursari boleh?”
Di ujung telepon Astuti tertawa. “Ah, Mas Gi ini kok yang aneh-aneh. Campursari itu acaranya besok siang. Memang mau pesan lagu apa?”
“Lagu kempling.”
Pipi Astuti sontak memerah. Suaranya mendadak gugup. Lagu Kempling adalah lagu campursari karya Manthous yang populer setelah Solo Balapan-nya Didi Kempot. Bercerita mengenai seorang pria yang jatuh cinta pada wanita setengah baya – yang ternyata adalah seorang janda. Perawan atau janda bagiku tidak terlalu penting, begitu kata sang pria akhirnya – kalau lagu aslinya di-Indonesiakan.
Piye, As. Iso ora?”
Astuti tak pernah menjawab pertanyaan itu. Permintaan lagu itu pun tidak pernah disampaikan kepada penyiar bagian acara musik daerah. Bagi Astuti akhirnya akan sama saja, karena Mas Gi juga tak mungkin mendengarkan dari Jakarta sana.
Sejak saat itu Astuti merasa ada yang nyeleneh dari kalimat-kalimat yang disampaikan Mas Gi. Nada-nadanya mulai nakal sehingga Astuti sempat berpikir apakah Mas Gi sedang punya masalah dengan istrinya. Atau, hei, jangan-jangan sedang memasuki puber kedua?
Bagaimanapun juga Astuti harus sadar statusnya. Harus tahu diri. Meskipun hati kecilnya meyakinkan bahwa diam-diam ia memang menyayangi Mas Gi, itu tak lebih hanya sebagai sahabat saja. Kemesraan yang selama ini terbina tidak lebih karena masa perkenalan mereka yang sudah sangat lama. Apalagi sejak kematian suami memang tidak ada laki-laki lain yang bisa mengisi kekosongan hatinya.

Saat saya meminta air, Tuhan memberiku sungai. Saat saya meminta ikan, Tuhan memberiku lautan. Saat saya meminta sahabat, Tuhan memberikan dirimu!

Begitu bunyi salah satu pesan Astuti kepada Mas Gi, untuk menggambarkan betapa ia berterima kasih atas segala yang sudah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk menekankan bahwa ia tetap menganggap Mas Gi sebagai temannya. Sebagai sahabatnya. Sebagai orang kedua dalam hidupnya.
Dan jawaban Mas Gi sehari kemudian adalah, Kenapa kamu tdk meminta lbh dr seorang sahabat?
Kalau sudah begitu Astuti lebih suka tidak membalas balik. Atau mengingatkan mas Gi bahwa ia senantiasa menjaga keutuhan persahabatan mereka dengan, biarlah putih ini ttp menjadi putih tnp tercampur warna lain. Atau mengalihkan ke pesan lain dan menutup pesan terakhir dengan, sampaikan salam u/ mbakyu dan kel di rumah.
Tapi sepertinya Mas Gi tidak terpengaruh. Selalu saja mengirim pesan-pesan nyeleneh yang kadang tidak jelas arahnya. Seperti pesan terakhir tadi, menanyakan soal cuaca. Memangnya kenapa kalau di Solo turun hujan? Apa Mas Gi mau membawakan payung?

Bdg hujan sejak sore tadi, bgmn kbr slo tercinta?

Pesan itu masuk seminggu kemudian dan Astuti tidak berminat membalasnya. Bukan pesan yang istimewa karena Mas Gi sesekali memang ke Bandung mengurus pekerjaannya. Paling-paling cuma iseng. Rasanya Astuti sudah saatnya bersikap tegas. Salah satu caranya adalah dengan tidak membalas pesan-pesan yang tidak perlu. Meskipun dalam hati Astuti merasa tidak enak, tapi ini demi keutuhan persahabatan mereka. Dan demi keutuhan keluarga Mas Gi.
Mudah-mudahan Mas Gi mau mengerti.

Slo gerimis terus tiap sore, bgmn kbr astuti tercinta?

Itulah pesan yang masuk sore ini. Membuat Astuti kaget setengah mati. Betulkah Mas Gi-nya saat itu berada di Solo? Atau itu cuma sekedar canda saja?
Belum sempat Astuti membalas, ponsel di tangannya sudah berdering. Nama Mas Gi terbaca di layar ponsel.
“Ya?”
“Kemana sore ini?”
“Mas Gi di mana sekarang?”
“Ya di Solo dong. Kangen sama kamu.”
Astuti menahan gemuruh di dadanya.
“Malam nanti bisa menemani Mas jalan-jalan? Jalan-jalan saja. Yaaa sambil makan malam begitulah. Sego liwet yang di Mertoyudan itu masih ada kan? Mas pingin ke sana lagi, seperti waktu ke sini terakhir dulu”
Gemuruh di dada Astuti makin kencang. Gemuruh yang berpindah-pindah antara menjaga persahabatan dan menjaga keutuhan keluarga. Gemuruh yang meloncat-loncat di antara rasa takut dan rasa senang.
“As, kamu masih di situ?”
Astuti tetap belum menjawab.
“Ya sudah. Mas ke rumah sekarang. Jangan ke mana-mana.”
Astuti masih belum bisa menjawab.


Kepunton Solo saat gerimis, Desember 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar