Bondan melihat kiri kanan untuk memastikan siapa sebetulnya yang ditunjuk oleh tukang obat itu.
“Iya, Bapak yang pake topi merah!”
Tanpa sadar Bondan memegang topinya yang memang berwarna merah.
“Iya. Betul. Boleh saya pinjam topinya?”
Bondan ragu-ragu.
“Sebentar saja. Nanti saya kembalikan. Jangan kuatir, tak akan hilang.”
Satu di antara pembantu tukang obat itu berjalan menghampiri Bondan, mengulurkan tangan, dan Bondan seperti terhipnotis memberikan topinya begitu saja.
Tukang obat itu mengangkat topi merah Bondan, memperlihatkan berkeliling kepada orang-orang yang berkerumun. Sebagian besar penonton memang orang yang setiap hari berkeliaran di sekitar pasar itu. Ada pengamen, tukang semir, tukang bakso, anak-anak entah dari mana, tukang becak, ibu-ibu yang juga entah dari mana. Sebagian kecil adalah orang yang kebetulan lewat seperti Bondan.
“Bapak yang punya topi bisa maju dua langkah?”
Seperti kerbau dicucuk hidungnya Bondan menurut. Sesaat Bondan merasa seperti artis sinetron yang ditonton orang banyak.
“Bapak sengaja datang ke sini?” suara tukang obat seperti sengaja dikeraskan.
“Tidak,” jawab Bondan pelan.
“Bisa lebih keras lagi, Pak?”
“TIDAK!”
Segenap penonton tertawa. Bondan merasa betul-betul sudah jadi artis sinetron.
“Bapak saya undang datang ke sini?”
“TIDAK!”
“Bapak pernah kenal atau ketemu saya sebelumnya?”
“TIDAK!”
Tukang obat tersenyum sambil melambai-lambaikan topi merah milik Bondan.
“Nah, Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara-saudara sekalian! Anda semua sudah mendengar sendiri bahwa Bapak ini datang karena keinginan sendiri. Bukan saya undang. Bukan saya suruh. Bahkan kenal pun tidak! Jadi ini seratus persen nyata! Bukan rekayasa! Bukan dibuat-buat! Bukan direncanakan! BETUUUL?!....”
Segenap penonton berkata, “Betuuul....”
“Saya bukan mau sombong, saya bukan mau pamer, saya bukan takabur! Bapak lihat topi merah ini? Lihat?!” (Segenap penonton mengangguk-angguk) “Percaya kalau saya bilang bisa menghilangkan topi ini?”
“Percayaaaa!...”
“PERCAYA?!”
“PERCAYAAAAAA!”
Tukang sulap itu ganti melihat pada Bondan.
“Betul ini topi Bapak?”
“BETUL!”
“Percaya kalau saya bisa menghilangkan topi ini?”
“PERCAYA!”
“Keberatan kalau topi ini saya hilangkan?”
“TIDAK!”
“Betul?”
“BETUL!”
“Tidak menyesal?”
Bondan ragu-ragu menjawab. Pembantu tukang obat yang tadi mengambil topi mendekat dan berbisik, “Iyakan saja, Bang. Tidak apa-apa. Ini cuma permainan. Nanti topi Abang pasti kembali setelah sulapannya selesai.”
Maka dengan semangat Bondan menjawab, “TIDAK!”
“Bagus!” kata tukang obat itu sambil memberi kode kepada kedua pembantunya yang kemudian datang membawa sebuah meja dan semacam tudung saji terbuat dari kain. Topi merah diletakkan di atas meja. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, lihat topinya sudah saya letakkan di atas meja?” Setelah segenap penonton mengangguk, tukang obat memerintahkan untuk menutupi topi tadi dengan tudung saji. Kemudian mengucapkan mantera-mantera. Bahasanya seperti campuran antara bahasa Arab dan bahasa Mandailing – bahasa salah satu etnis Batak di Tapanuli Selatan.
Bondan menunggu.
Segenap penonton yang makin bertambah banyak juga menunggu.
Tudung saji itu bergoyang-goyang – entah digerakkan siapa. Semakin keras mantera diucapkan, semakin kencang gerakannya. Ketika tukang obat menyemburkan air sambil berteriak – phhuuiiih! – tudung saji pun berhenti bergerak.
Bondan dan segenap penonton tak sabar menunggu tudung saji dibuka. Tapi sial, tukang obatnya malah bercerita tentang bagaimana dia mendapatkan ilmu sulapnya. Disebut-sebutnya soal tirakat, puasa tujuh hari tujuh malam, kekuatan iblis, ilusi, kekuasaan Tuhan, David Copperfield, dan entah apa lagi. Karena sadar penontonnya tidak serius menyimak, maka disuruhnya salah seorang pembantu mengangkat tudung saji itu.
Dan ajaib, topinya hilang!
Sebagai gantinya di atas meja ada sebotol fanta merah.
Penonton bertepuk tangan. Sementara Bondan celingukan ke bawah meja dan mengamati tudung saji yang kini dibawa berkeliling untuk membuktikan bahwa tidak ada apa-apa di bawahnya.
“Yang punya topi mana?” tanya tukang obat.
Bondan maju selangkah.
“Ini betul topi Bapak?” katanya sambil menunjuk botol fanta merah di atas meja.
Bondan ragu-ragu.
“Sekali lagi saya tanya, betul ini topi Bapak?”
“Bukan!” akhirnya Bondan menjawab. “Itu bukan topi saya. Itu minuman!”
Tukang obat tertawa. “Lihat, itulah hebatnya ilmu sulap. Dengan sulap kita bisa menipu mata orang lain. Kelihatannya ini memang fanta merah, tapi sebetulnya inilah topi yang tadi saya letakkan di bawah tudung!”
Penonton tak ada yang bersuara.
Beberapa penonton di sebelah Bondan juga berbisik-bisik bahwa itu botol minuman, bukan topi, sesuatu yang semakin meyakinkan Bondan bahwa penglihatannya tidak keliru.
“Jadi Bapak-bapak tidak percaya bahwa ini topi merah yang tadi?”
Sebagian penonton menjawab, “Tidaaak....”
“Baiklah kalau begitu,” tukang obat itu mengambil fanta merah dan membawanya kepada Bondan.
“Terimakasih, Pak. Saya kembalikan topi Bapak.”
Bondan menggeleng. “Ini bukan topi saya.”
“Jadi Bapak juga tidak percaya kalau ini topi yang tadi saya pinjam?”
“Tidak. Ini fanta merah. Bukan topi.”
“Jadi apa mau Bapak sekarang?”
“Saya ingin topi saya dikembalikan.”
Tukang obat melihat kepada kerumunan penonton. “Bapak ini minta agar topinya dikembalikan. Bagaimana, Bapak-bapak?!....”
“Yaaa.... Dikembalikaaan!....”
“Baiklah kalau begitu, akan saya kembalikan,” diserahkannya botol minuman itu kepada Bondan. “Bapak pegang botol ini. Pegang kuat-kuat dengan kedua tangan. Mana kain penutupnya!” Salah seorang pembantu berlari membawa serbet, kemudian menutupkan di atas botol yang dipegang Bondan. “Nah, tunggu sebentar lagi. Topi Bapak akan kembali.”
Bondan memegang botol itu erat-erat.
Tukang obat kembali ke tengah arena. Tapi bukan untuk membaca mantera-mantera agar botol itu berubah lagi menjadi topi, melainkan menyuruh pembantunya mengambil sebotol obat yang katanya mujarab untuk menghilangkan encok, sakit pinggang, pegal linu, dan lain-lain. Kemudian malah meminta salah seorang penonton untuk masuk ke tengah arena, menyuruh membuka baju, dan mempraktekkan cara mengurut yang benar agar segala macam pegal linu, encok, dan sakit pinggang hilang.
Bondan menunggu.
Sesekali diintipnya botol yang ada di bawah serbet. Masih botol fanta merah. Belum berubah menjadi topi merah kepunyaannya.
Waktu pembantu tukang obat berkeliling mengedarkan obat untuk dicoba gratis oleh segenap penonton, Bondan menanyakan kapan topinya kembali. Pembantu itu menyuruh tetap tenang. “Tunggu saja, Bang. Nanti dikembalikan.”
“Iya, tapi kapan?”
“Nanti setelah yang ini.”
Bondan menunggu. Diliriknya jam tangan, sudah hampir magrib. Gelap sudah mulai membayang. Tukang obat masih sibuk mempromosikan obatnya. Penonton masih banyak berkerumun. Dan dalam genggaman Bondan masih fanta merah.
Sialnya, setelah yang ini seperti kata pembantu tukang obat tadi, malah pertunjukan kekebalan tubuh. Tukang obat memanggil orang yang lain lagi dan mulai membacok-bacokkan parang panjangnya. Beberapa penonton perempuan menjerit.
Terus terang Bondan paling tidak tahan dengan bagian ini. Meskipun tidak ada darah yang keluar, tapi adegan menusuk, mengiris, dan membacok anggota badan selalu membuat jantungnya berdetak lebih keras. Seperti ada kengerian yang sulit dijelaskan. Seperti orang berada di ketinggian dan takut melihat ke bawah.
Adegan mengiris-ngiris lengan dan lidah masih berlangsung.
Bondan melihat ke arah lain dan mulai tidak mengerti kenapa bisa terjebak dalam situasi seperti itu. Ia sedang menunggu angkot ke jurusan rumahnya ketika melihat ada keramaian di sudut lapangan. Waktu itu baru pukul lima. Bondan berpikir tidak ada salahnya menonton dulu. Hari masih terang. Toh perjalanan ke rumahnya hanya seperempat jam. Bisalah nonton dulu barang setengah jam. Pulang pukul setengah enam tidak bisa dibilang telat. Masih cukup waktu untuk mandi dan melaksanakan sholat berjamaah di mesjid.
Mustinya begitu, kalau topinya tidak dipinjam si tukang obat.
Sekarang ia harus menunggu sampai topinya dikembalikan. Mau meminta langsung tidak berani. Apalagi saat itu tukang obat sedang mengacung-acungkan parang panjang. Lebih baik menunggu. Tapi sampai kapan?
Acara seperti itu biasanya panjang. Makin banyak yang menonton, makin betah si tukang obat bicara panjang lebar. Dan yang terjadi saat itu kelihatannya demikian. Tukang obat makin bersemangat mempromosikan obatnya. Sementara Bondan semakin kehilangan semangatnya.
Sholawat menjelang adzan magrib terdengar samar-samar.
Bondan putus asa. Dilihatnya botol fanta merah yang masih berada dalam genggamannya. Betulkah topinya sudah berganti rupa? Tidak mungkin. Dan tidak sepadan. Harga minuman itu paling cuma dua ribu. Topinya memang bukan topi yang mahal. Cuma sepuluh ribu, itupun beli di kaki lima, tapi betapa pentingnya topi di Kota Jakarta yang panas terik sepanjang hari. Sekarang masalahnya, haruskah ia menerima fanta merah sebagai pengganti topi?
Kalau ya, Bondan bisa segera pulang.
Kalau tidak, Bondan harus menunggu dan itu bisa sampai pukul delapan malam nanti. Waduh, Ibunya pasti was-was kalau ia pulang telat. Belum pernah selama ini Bondan pulang lewat adzan magrib. Uztad Husni pasti juga heran karena ia tidak mengumandangkan adzan dan tidak ikut sholat berjamaah – seperti kebiasaannya selama empat bulan terakhir setelah pulang dari panti rehabilitasi narkoba.
Bondan betul-betul gelisah.
Ia berpikir lama sebelum akhirnya meletakkan botol fanta merah itu dan bergegas meninggalkan arena tukang obat, menaiki angkot pertama yang lewat menuju rumahnya.
Di dalam angkot Bondan mengelus rambut tipisnya. Lenyap sudah topiku, pikirnya. Tapi tidak apa-apa. Yang penting ia bisa segera pulang untuk mengumandangkan adzan dan sholat berjemaah di mesjid dekat rumah. Bagi Bondan inilah kemenangan yang sesungguhnya. Topi itu tidak ada artinya dibanding kesempatan beribadah kepada Yang Maha Kuasa.
Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Mendengar, kata Bondan dalam hati.
Siapa tahu besok Tuhan memberinya topi yang lebih bagus dan lebih mahal, baik dalam bentuk yang sesungguhnya atau dalam bentuk lain. Atau, hei, bukankah besok ia lewat tempat itu lagi? Berarti masih ada kesempatan untuk meminta topinya.
“Mudah-mudahan besok dia masih di sana,” doa Bondan sungguh-sungguh.
Ketika besoknya Bondan ke tempat itu, suasananya menjadi aneh.
Sudut tempat itu dijaga empat orang polisi. Ada police line berwarna kuning membatasi tempat yang sore kemarin dipenuhi penonton. Bangku-bangku dan meja-meja tempat berjualan berserakan. Potongan batu dan kayu bertenaran. Dan.... Astaga! Ada genangan darah kering dekat lukisan kapur yang menggambarkan orang berbaring di atas aspal.
Bondan mundur perlahan.
Tuhan, apa yang terjadi – tanyanya dalam hati.
Seorang preman – yang pasti bukan Tuhan – ternyata mendengar pertanyaannya. “Belum tahu ya, Bang?”
“Apa?”
“Kemarin kan ada tukang obat digebukin rame-rame. Untung kagak dibakar. Biar mampus dia! Kita-kita udah bosen sih dikibulin....”
“Memang apa salahnya?”
“Di koran juga ada.”
Preman itu kelihatannya tidak peduli ketika Bondan beranjak mencari tukang koran di seberang jalan. Dan tidak perlu berlama-lama memilih karena sekarang ini banyak koran yang kelihatannya memang terbit untuk memberitakan hal-hal semacam itu. Bondan memilih satu yang judulnya paling besar, TUKANG OBAT TEWAS DIBANTAI MASSA. Lalu ada tambahan sub judul – seorang pembantunya ikut tewas dan nyaris dibakar. Ada foto besar yang menggambarkan lukisan kapur di antara pecahan batu seperti yang tadi dilihat Bondan.
Amuk massa kembali terjadi di kawasan Cimanggis malam tadi (20/12) ketika tukang obat dan seorang pembantunya tewas dibantai rami-ramai. Seorang pembantunya yang lain berhasil menyelamatkan diri dan melapor ke pos polisi terdekat.
Kejadian itu dipicu oleh adanya dugaan rekayasa dalam permainan sulap yang ditunjukkan oleh tukang obat naas tadi. Salah seorang penonton yang topinya dipinjam untuk permainan sulap.... bersambung ke hal. 12 kolom 3
Bondan membalik halaman koran. Mencari-cari halaman dua belas.
TUKANG OBAT TEWAS .... sambungan dari hal.1
ternyata pergi begitu saja padahal topinya yang disulap jadi sebotol fanta merah belum disulap kembali jadi topi. Perginya penonton yang sampai kini belum diketahui jati dirinya itu menimbulkan anggapan bahwa sulap itu cuma rekayasa. “Penonton mengira pemilik topi tadi adalah kawan si tukang obat,” kata salah seorang petugas. “Topinya kan disulap jadi fanta. Mustinya dia nunggu dong sampai fantanya disulap lagi jadi topi. Eh, ini malah pergi begitu saja. Orang-orang jadi curiga.”
Entah siapa yang memulai, di antara penonton ada yang bilang sulapannya bohong. Kemudian ada yang teriak obatnya palsu. Lalu entah darimana ada yang melempar batu, kena tukang obat. Tukang obat marah dan menantang penonton sambil membacok-bacokkan parang ke badannya. Ternyata lengannya berdarah sehingga penonton makin percaya bahwa ilmu kebalnya cuma tipuan. Lemparan batu makin banyak. Ibu-ibu menjerit sambil berlarian. Dalam suasana kacau keributan tidak bisa dihindari. Tukang obat itu dikeroyok ramai-ramai. Seorang pembantunya yang menghalang-halangi ikut digebuki. Bahkan salah seorang pengeroyok sudah menyiramkan sebotol bensin ke badannya.
Untunglah petugas polisi segera datang. Tapi sudah terlambat. Pembantu tukang obat itu sudah tewas dengan luka-luka bakar di sekujur tubuh. Tukang obat naas itu pun akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit.
Sampai saat ini polisi masih mengumpulkan bukti-bukti dan saksi. Beberapa orang yang saat itu berada di lokasi kejadian sudah dimintai keterangan. Tapi pemilik topi merah itu belum diketahui keberadaannya.
Bondan melipat koran itu menjadi empat bagian.
Preman tadi mungkin memang tidak mengenalinya. Ia mungkin datang setelah Bondan meninggalkan kerumuman. Ia mungkin tidak ikut menonton tetapi ikut mengeroyok tukang obat dan pembantunya. Ia mungkin hanya seorang laki-laki kurus biasa yang mendadak menjadi perkasa ketika naluri kekerasannya menemukan pelampiasan.
Bondan mengusap kepalanya.
Dan semakin yakin bahwa ia memang tinggal di Indonesia.
Warta Kota Minggu, tanggal 22 Desember 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar