“Tujuhbelasan ya tujuhbelasan. Memang kenapa?” ujar laki-laki berumur sekitar tujuh puluhan itu ketika seseorang yang lebih muda mengingatkan bahwa saat itu sudah masuk bulan Agustus.
“Acara tahunan, Pakde. Pesta rakyat....”
“Hidup masih susah kok mau pesta.”
“Setahun sekali, Pakde.”
Pakde menggeleng. Dan gelengan itu berlanjut ketika besoknya diundang rapat di rumah Ketua RT untuk membahas rencana perayaan tujuhbelasan di lingkungan mereka.
“Rapat, rapat,” gerutu Pakde. “Paling-paling juga ditarik iuran.”
“Namanya juga partisipasi, Pakde. Kan nantinya untuk kita-kita juga.”
“Saya tahu,” Pakde menyulut rokoknya. “Tapi masak kita yang kuli ini iurannya sama dengan yang direktur? Kalau yang namanya pesta, kita-kita ini mustinya tidak usah bayar. Tinggal menikmati saja. Mereka-mereka itu yang mustinya bayar. Karena cuma mereka-mereka itu yang sudah menikmati kemerdekaan.”
Beberapa orang yang berada dekat Pakde terkejut. Tidak mengira Pakde akan bicara sesengak itu.
Mereka-mereka yang dimaksudkan Pakde tak lain adalah beberapa warga di lingkungan itu juga. Beberapa warga yang termasuk hidup berkecukupan – tiga di antaranya malah bisa dikatakan mewah. Penilaian ini bisa dilihat dari rumah mereka yang lebih megah, pagar depan yang lebih tinggi, mobil berjejer lebih dari satu, dan pakaian yang selalu kelihatan lebih baru daripada yang dipakai warga lainnya. Masalahnya kemudian adalah, mereka-mereka itu juga yang tidak pernah hadir dalam rapat RT, tidak pernah ikut kerja bakti, bahkan kabarnya juga ada yang menunggak iuran sampah.
Kalimat sengak Pakde membuat orang-orang perlahan membubarkan diri. Mereka mencoba maklum dengan suasana hati laki-laki tua yang hidup dari hasil menjual jasa kepada warga di sekitarnya. Kadang-kadang membersihkan halaman, menjadi kenek tukang batu, memasang instalasi listrik, menebang pohon tua, atau sekedar membersihkan got yang mampet.
Apa yang dikerjakan Pakde terlihat wajar bagi warga perumahan, tapi menyakitkan bagi Pakde sendiri. Setidak-tidaknya ini kalau mengingat sekembalinya laki-laki itu dari Sumatera setelah lebih dua puluh lima tahun merantau – dan katanya sempat menjadi mandor perkebunan sawit – yang tiba-tiba kembali sebagai orang yang kalah.
Pakaiannya lusuh. Tasnya diikat tali plastik.
Sanak familinya menyambut haru. Tetangga kiri kanan berkumpul sambil mendengarkan cerita yang diulang-ulang tanpa putus.
“Perusahaan kami dibakar orang kampung. Rumah saya dijarah. Kebun, tanah, ternak, entah siapa yang menguasai sekarang,” suara Pakde ditelan getaran pelipisnya sendiri.
Cerita pedih itu berlanjut karena pesangon yang katanya akan ditransfer lewat bank, ternyata tidak kunjung datang. Nomor telepon perusahaan di Pematangsiantar hanya menyuarakan tulilut-tulalit. Persoalan bertambah karena Jaminan Hari Tua tidak bisa dicairkan di kantor Jamsostek setempat karena kata petugasnya, “Ada perbedaan data antara kartu dan catatan di kantor asal.”
Untung anak-anak Pakde yang bekerja di kota sesekali menyambangi orangtua mereka. Sedikit modal pun diberikan kepada Bude Prawiro untuk berjualan lontong sayur di depan rumah. Cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Pakde pun menyadari tidak ada gunanya mempermasalahkan apa yang sudah terjadi. Apalagi kalau harus kembali ke Sumatera untuk memperjuangkan sisa gaji dan pesangon yang menjadi haknya.
“Tidak. Terimakasih,” katanya suatu kali. “Saya sudah trauma.”
“Tapi kan sayang duitnya, Pakde.”
“Duit bisa dicari lagi. Sakit hati ini yang tidak bisa diganti.”
“Pakde sakit hati sama siapa?”
“Sama orang kampung yang membakar bedeng-bedeng kami. Padahal mereka itu orang-orang yang kami kenal. Teman kami ngobrol dan minum kopi. Malahan sering menumpang mobil kami kalau mau pergi ke kecamatan. Tapi pada hari itu semua berubah menjadi monster. Berteriak-teriak. Mencaci-maki. Dan membakari bedeng seperti tidak pernah kenal kami sebelumnya.”
“Kok bisa begitu, Pakde?”
“Begitulah....” terdengar Pakde mengeluh. “Semua itu atas nama reformasi. Atas nama otonomi daerah....”
“Ada provokatornya mungkin, Pakde.”
“Memang ada. Itulah yang membuat saya sedih. Ada cukong, anak anggota DPRD, yang mengincar areal perkebunan kami untuk diambil alih. Kasihan teman-teman kami. Tapi lebih kasihan lagi orang-orang kampung itu.”
“Kok begitu, Pakde?”
“Mereka cuma diperalat. Kalaupun di situ didirikan pabrik uang, mereka tetap akan menjadi budak di kampungnya sendiri.”
Kisah sedih itu barangkali sudah dihapal oleh sebagian warga. Dalam setiap kesempatan berkumpul, hanya cerita itu yang sering disampaikan. Warga pun maklum. Dan segera melupakan. Apalagi karena banyak berita baru yang muncul susul menyusul di televisi. Mulai dari teror bom, tanah longsor, sandera GAM, banjir, gunung meletus, kampanye calon bupati, pengangguran bertambah, tawuran antar warga, demo-demo, gusur-gusuran, waria dikejar-kejar, harga minyak tanah naik, harga cabe naik, flu burung, pejabat korupsi dibebaskan, illegal logging, sampai pungutan anak sekolah yang tidak habis-habis.
Semua memaklumi, kecuali sikap Pakde Prawiro yang tetap menolak untuk berpartisipasi dalam perayaan tujuhbelasan. Padahal selama ini Pakde termasuk aktif dalam kegiatan warga. Rapat RT selalu dihadiri, kerja bakti selalu diikuti, acara-acara keagamaan tidak pernah absen, bahkan hampir tiap malam ikut ronda meskipun bukan gilirannya.
“Pokoknya untuk tujuhbelasan kali ini, saya tidak ikut,” tegas Pakde.
“Apa salahnya, Pakde? Kan cuma memeriahkan saja. Pakde tidak jadi panitia kok. Cuma kita minta bantuan untuk menyiapkan lapangan upacara, mendirikan pinang, menghias gapura, itupun bersama warga yang lain.’
Pakde tetap menggeleng.
“Atau Pakde minta bayaran?”
“Bukan itu masalahnya.”
“Lalu?”
“Pokoknya untuk yang satu ini saya tidak ikut. Kalau perayaan yang lain, oke.”
Pertanyaan berikutnya seperti kenapa, apa masalahnya, apa ada ucapan atau tindakan warga yang menyinggung perasaan Pakde, dijawab dengan gelengan yang sama. Warga akhirnya melupakan karena banyak yang harus diurus. Semua sibuk bergotong royong menyambut tujuhbelasan. Ibu-ibu menghimpun dana. Remaja putra menyusun jadwal pertandingan. Remaja putri menyiapkan hadiah. Bapak-bapak mulai bertanding gaple, catur, dan remi. Semua tenggelam dalam keceriaan memperingati kemerdekaan bangsa. Begitu cerianya sampai tidak ada yang tahu kalau malam itu Pak RT bertamu ke rumah Pakde.
Rumah yang masih saja berdinding batako tanpa plesteran dan berlantai ubin. Rumah yang mustinya sudah ditembok dan berlantai keramik seandainya harta Pakde tidak ludes dilalap api di perantauan. Rumah yang hanya dihuni Pakde dan Bude Prawiro karena keempat anak mereka bekerja di ibukota. Rumah yang sempurna kesederhanaannya karena Pakde menerima kedatangan Pak RT sambil terbatuk-batuk.
“Maafkan saya, Pak RT,” suara Pakde ditelan uhuk-uhuknya sendiri. “Sudah tiga hari ini saya batuk.”
“Jadi itu sebabnya Pakde tidak ikut gaple?”
“Tidak, Pak RT. Batuk ini soal yang lain lagi. Ini bawaan sejak masih di Sumatera dulu. Kalau soal tujuhbelasan saya memang tidak ikut merayakan.”
“Kenapa, Pakde?”
“Saya merasa belum merdeka, Pak RT.”
Pak RT memandang tidak mengerti.
“Kita sudah merdeka sejak Tujuh Belas Agustus tahun Empat Lima. Itu sebabnya kita merayakan tiap tahun.”
“Indonesia memang sudah merdeka, Pak RT. Tapi saya belum.”
“Maksud Pakde?”
“Negara kita memang sudah merdeka dari penjajahan secara militer, tapi belum merdeka dari penjajahan lainnya. Saya, misalnya, Pak RT. Saya belum merdeka dari kemiskinan. Belum merdeka dari teror. Belum merdeka dari rasa takut menghadapi masa depan anak-anak saya.”
Pak RT urung meneguk tehnya.
“Hampir tiap hari saya merasa dijajah, Pak RT. Dijajah oleh rasa was-was kalau-kalau besok ada bom lagi. Dijajah rasa takut kalau-kalau rumah anak saya kena gusur. Dijajah rasa ragu apakah besok istri saya dapat uang atau tidak. Dijajah rasa tidak pasti apakah kelak cucu-cucu saya sanggup menghadapi tuntutan jaman....”
Pakde beruhuk-uhuk lagi.
“Saya merasa belum merdeka, Pak RT. Itulah masalahnya. Kalau warga yang sudah merdeka mau merayakan, ya silakan. Kalau warga yang sudah menikmati kemerdekaan mau merayakan ya monggo, silakan... .”
Pak RT tertegun. Tapi segara menyadari bahwa apa yang dikatakan Pakde Prawiro ada benarnya. Ia setuju tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kapasitasnya sebagai Ketua RT tidak memungkinkannya untuk berpendapat yang neko-neko.
Pak RT memilih untuk melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Acara perayaan tujuhbelasan harus tetap berjalan, dengan atau tanpa kehadiran Pakde Prawiro. Keceriaan warga tidak boleh diusik, dan ini ditandai dengan sorak sorai peserta pertandingan gaple pada malam tujuh belas. Berarti juara gaple tahun ini sudah diketahui.
Berarti besok – pada panggung malam gembira – hadiah-hadiah sudah bisa dibagikan.
Berarti tinggal menyiapkan upacara besok pagi dan lomba untuk anak-anak. Semua sudah dipersiapkan. Tinggal menjalankan saja. Tinggal mengikuti schedule yang sudah ditetapkan panitia. Semua pasti berjalan lancar, kalau saja menjelang subuh tidak terdengar kabar Pakde Prawiro meninggal dunia. Pengumuman yang disampaikan lewat corong mushola seperti berita bom yang meledak di Bali. Membuat warga yang mendengar tertegun antara percaya dan setengah tidak percaya.
Rumah yang sudah sempit itu semakin sumpek dipenuhi warga. Tetangga kiri kanan silih berganti datang melayat. Pak RT yang agak telat – seusai melaksanakan sholat jenazah – terlihat menepuk-nepuk pundak Bude Prawiro.
“Bersyukurlah, Bude,” kata Pak RT lirih. “Bersyukurlah... .”
Tangis Bude tenggelam di antara alunan ayat-ayat suci.
“Pakde sekarang sudah merdeka,” suara Pak RT tambah lirih. “Pakde sudah merdeka....”
Sawangan, awal Agustus 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar