Kamis, 15 April 2010

Pengantin Baru

Ada berita yang menghebohkan di kampung kami: Antonius Marbun disunat!
Berita itu barangkali tidak akan begitu menghebohkan kalau sekiranya Antonius Marbun sunat karena alasan kesehatan. Tapi ini, Antonius Marbun yang Kristen, sunat karena ingin masuk Islam.
Maka kelompok Muslim berkata : “Alhamdullilah, kita kedatangan tambahan satu orang umat lagi.”
Sementara kelompok Nasrani secara sinis mencibir, “Ah, apa pula maunya Si Marbun itu. Macam tak ada saja orangtuanya.”
“Kudengar orangtuanya di Siantar sana memang tidak diberi tahu.”
“Tentu saja. Kalau diberi tahu mana mungkin diijinkan.”
Cerita pun berkembang dari mulut ke mulut. Kedua belah pihak – baik kelompok Muslim maupun kelompok Nasrani – saling membicarakan. Tindak tanduk Marbun yang baru saja disunat menjadi bahan pembicaraan di mesjid dan di gereja. Dan selalu saja ada yang menambahi sedikit-sedikit. Apalagi empat hari setelah sunat, Marbun masih harus bersarung ke mana-mana. Kata sumber yang selalu saja katanya bisa dipercaya, kemaluan Marbun terus mengeluarkan darah.
Maka kelompok Nasrani berkata, “Itulah kalau tidak menurut kata natua-tua. Tidak mendengarkan kata yang tua-tua. Sunatnya tidak sembuh-sembuh karena tak ada restu dari orangtua.”
Kelompok Muslim menghibur dengan berkata. “Sabarlah, Nak Marbun. Inilah salah satu bentuk cobaan dari Allah. Coba panggil lagi mantrinya. Suruh periksa kenapa lukanya tidak sembuh-sembuh.”
Maka mantri pun dipanggil. Setelah memberi obat yang katanya untuk mempercepat mengeringnya bekas luka, Pak Mantri berkata, “Coba untuk sementara jangan dekat-dekat pacarmu dulu.”
Yuniwati yang saat itu berada di situ kontan memerah wajahnya. Selama ini memang terdengar kabar bahwa Antonius Marbun berpacaran dengan Yuniwati. Tapi katanya pula orangtua Yuni kurang setuju karena perbedaan agama di antara keduanya.
Maka perbincangan pun meluas. Headline terbaru menyebutkan bahwa Antonius Marbun masuk Islam supaya bisa menikahi Yuniwati. Dan karena pernyataan ini tidak dibantah – baik oleh Marbun maupun oleh Yuniwati – maka gosip pun semakin ramai.
Kelompok Muslim mengangguk setuju ketika salah seorang tokohnya berkata. “Kita harus memberikan dukungan moral kepada Marbun. Ia rela meninggalkan akar budayanya untuk bergabung dengan kita. Coba bayangkan betapa berat beban yang harus ditanggung. Keluarganya akan mengucilkan. Kerabatnya akan mencemooh. Ia bahkan mungkin akan kehilangan hak atas warisan yang menjadi bagiannya.”
Sementara yang Nasrani makin berapi-api. “Pindah agama hanya untuk kawin? Apa artinya itu? Kalau mau pindah agama ya pindah saja. Pindah karena keyakinan kita. Jangan pindah agama karena wanita. Berapa lama tahannya itu? Coba saja lihat nanti. Kalau ada pertengkaran sedikit, pasti soal itu diungkit-ungkit. Ya kalau di agamanya yang baru dia bisa memberikan contoh yang baik. Kalau sampai berbuat yang tidak baik, nanti malah cuma jadi cemoohan orang!”
“Apa yang dilakukan Marbun memang mengandung resiko. Kalau ia bisa menjadi Muslim yang taat, maka orang akan kagum. Apalagi selama ini Marbun dikenal suka judi dan bermabuk-mabukan. Tapi kalau tidak, artinya Islamnya hanya tempelan saja, kemudian kembali main judi atau mabuk-mabukan lagi, maka yang Muslim akan malu, sementara yang Nasrani akan semakin mencemooh.”
“Tapi kita tidak bisa menyalahkan Marbun begitu saja. Yang sejak lahir mengaku Islam pun tidak keruan sholatnya. Apalagi yang baru masuk.”
Sebagian menggerutu sebagian mengiyakan. Sebagian lagi merasa tersindir.
Kemudian terdengar kabar Marbun akan menikahi Yuni. Acara pernikahan dipersiapkan. Kelompok Muslim membantu sepenuhnya, sementara kelompok Nasrani hanya menonton sambil menceritakan bahwa bekas sunatnya belum sembuh betul. Meskipun Marbun sudah memakai celana panjang, tapi dari jalannya kelihatan sekali ia menahan sakit.
“Marbun, apakah tidak sebaiknya pernikahan ini ditunda sampai sakitmu betul-betul sembuh?” tanya Pak Uztad.
“Tidak usah, Pak Uztad. Saya sudah siap.”
“Saya tidak bisa menjamin sakitmu segera sembuh kalau kamu memaksakan untuk tetap menikah,” sambung Pak Mantri.
“Tidak apa-apa, Pak Mantri. Nanti pasti sembuh.”
Pernikahan pun dilangsungkan secara sederhana karena pihak mempelai pria menolak untuk hadir. Pak Uztad menjadi wali. Dan sampai acara pernikahan selesai tidak ada satu pun undangan dari pihak mempelai pria yang datang atau sekedar menitipkan ucapan selamat.
Selama prosesi pernikahan berlangsung, segenap undangan yang hadir dapat melihat bahwa Antonius Marbun memang belum sepenuhnya sembuh. Jalannya masih tertatih-tatih. Waktu duduk bersila mengucapkan akad nikah pun kelihatan sekali sambil menahan sakit.
Ijab kabul diulang sampai tiga kali.
Sebagian undangan menahan tawa sampai beberapa kali.
“Wah, malam pengantinnya tertunda nih.”
Mempelai wanita pura-pura tidak mendengar.
Meskipun malam itu keduanya tidur dalam satu kamar, orang-orang tahu bahwa malam pertama tidak terlaksana. Apalagi sekitar pukul tiga pagi terdengar rintihan dan erangan dari kamar pengantin. Bukan Yuni yang merintih tapi Marbun! Dan mengerang bukan karena malam pertama melainkan karena lukanya kambuh lagi.
Sampai subuh suara rintihan masih terdengar, diselingi suara pengantin wanita yang menghibur agar terus bersabar. Agar jangan terlalu banyak bergerak supaya lukanya cepat sembuh. Mungkin juga sambil dikipasi karena terdengar suara kertas dikibas-kibaskan.
“Kalau kumpul terus kapan bisa sembuh,” terdengar sindiran nyinyir entah dari mana. “Setiap ketemu pasti tegang. Begitu tegang lukanya kambuh lagi.”
Terdengar tawa riuh menimpali.
”Itulah kalau tidak mau mendengar nasehat orangtua. Disuruh menunda dulu tidak mau. Kalau sudah begini, apa gunanya kawin?”
“Anak jaman sekarang memang susah diatur. Semuanya sudah terbalik. Dulu orangtua mengatur anak. Sekarang anak yang mengatur orangtua.”
Yang mendengar mengangguk-angguk membenarkan.
“Tidak usah didengarkan. Jalani saja rumah tangga kalian sebaik-baiknya. Orang biasa bergunjing. Biasa membicarakan kejelekan orang lain tapi tidak sadar akan kejelekannya sendiri. Tidak perlu dipikirkan betul. Kalau kalian baik-baik, orang akhirnya akan mengerti.”
Pasangan pengantin baru itu mengangguk hampir bersamaan.
Maka hari-hari berlalu seperti biasanya. Kelompok Muslim tetap membimbing agar Marbun menjadi Muslim yang baik. Tiap sore mengajak datang ke mesjid untuk belajar sholat dan mengaji.
“Biasa, masih baru, masih rajin,” sindir kelompok lain.
Yuni juga membiasakan tidak peduli dengan omongan orang. Tiap tiga hari sekali terlihat mandi keramas. Dan pada saat mengeringkan rambut sengaja di depan rumah agar terlihat orang-orang yang lewat.
“Keramas lagi, keramas lagi….” kata remaja-remaja yang lewat menirukan salah satu iklan shampo di tivi.
“Iya, habis suka sih….” Yuni balas menimpali.
Lalu remaja-remaja itu tertawa.
Yuni pura-pura tertawa meskipun sebenarnya sedih karena acara keramas itu cuma kamuflase saja. Cuma akal-akalan. Agar orang-orang mengira bahwa kehidupan rumah tangga mereka normal. Agar mereka tidak menyindir-nyindir lagi.
Toh akhirnya orang-orang tahu bahwa itu semua cuma sandiwara. Kalau malam Marbun masih meringis kesakitan, dan setiap beberapa malam sekali Pak Mantri masih dipanggil. Dirahasiakan bagaimana pun cerita miring selalu lebih gampang tersebar. Entah dari Pak mantri sendiri, entah dari orang yang menemani Pak Mantri, entah dari angin yang berbisik di antara alang-alang, cerita merambat dari mulut ke mulut. Bukan hanya merambat, tapi juga bertambah di sana-sini.
“Kemaluannya melepuh sebesar kepalan tangan!”
“Dari ujungnya keluar nanah!”
“Mungkin infeksi waktu disunat dulu.”
“Bukan! Itu bawaan dari penyakit kotor!”
“Astagfirrullah!”
Marbun terus-terusan meringis, sementara tiap malam Yuni terus-terusan menangis. Kelompok Muslim terus-terusan berdoa, sementara kelompok Nasrani terus-terusan mencela. Akhirnya tidak bisa lagi dibedakan siapa yang meringis dan siapa yang menangis. Doa dan cela masih bisa dibedakan seiring dengan makin memburuknya kondisi Marbun. Badannya mulai diserang demam tinggi. Omongannya mulai tidak karuan.
“Pasti kena santet dia!”
“Bukan santet, itu kualat namanya.”
“Panggil Pak Mantri!”
Pak Mantri datang tergopoh-gopoh diikuti beberapa orang kelompok Pak Uztad. Beberapa orang yang lain menunggu di warung terdekat, berkumpul seperti menunggu hasil akhir pertandingan sepakbola.
Helaan napas Pak Mantri mengubah segala doa menjadi tangis. Marbun tidak meringis lagi. Tubuhnya terbaring kaku. Panas badannya lenyap, berganti menjadi dingin membeku seperti es. Raungan Yuni membangunkan seisi kampung. Tidak bisa lagi dibedakan mana yang Muslim dan mana yang Nasrani, mana yang berdoa dan mana yang mencela. Semuanya sama-sama menangis. Sama-sama meratapi kepergian Marbun.
Menjelang tengah hari tangisan meledak lagi ketika Yuni juga ditemukan terbujur kaku di kamarnya. Mulutnya berbusa, cairan pembasmi serangga tinggal setengahnya. Orang-orang seperti tidak percaya. Sebagian melanjutkan berdoa, sebagian berdiri saja. Sebagian berdoa sambil berdiri. Sebagian lagi berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Ketika sore itu jasad keduanya dikubur berdampingan, hampir semuanya mengucapkan doa. Tidak ada lagi terdengar yang mencela. Bahkan hampir tidak terdengar lagi suara tangis. Barangkali persediaan tangis penduduk kampung itu sudah habis….


Hutabuyung, akhir September 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar