Pujianto, 24 tahun, berdiri dekat tiang halte sambil menggenggam map di tangan kanannya. Map itu berisi beberapa amplop coklat berikut berkas lamaran yang terdiri dari surat lamaran, copy ijazah, transkrip nilai, copy KTP, dan selembar pasfoto berwarna ukuran empat kali enam.
Hampir tiap malam Pujianto menulis lima sampai enam berkas lamaran. Bagian Kepada-nya sengaja dibiarkan kosong. Besoknya ia akan membeli koran paling murah – tapi memberi informasi lowongan pekerjaan paling banyak – dan mulai memutuskan ke mana lamaran akan diantar. Kalau yang dicantumkan alamat PO BOX, Pujianto akan datang ke kantor pos dan mengirimkan lewat kilat khusus. Kalau alamatnya ditulis lengkap, Pujianto akan mengantarkan langsung.
Lamaran itu biasanya dititipkan di resepsionis, kadang malah di pos satpam. Dan mereka – baik resepsionis maupun satpam – selalu mengatakan nanti akan dihubungi jika memang memenuhi syarat. Pujianto juga selalu mengucapkan terimakasih, meskipun tahu semua itu hanya basa-basi. Nyatanya sampai sekarang, setelah enam bulan bergerilya menghabiskan sekian puluh lembar kertas dan amplop, hasilnya bisa dikatakan nihil. Kalaupun ada, biasanya disuruh menjualkan produk.
“Jadi kalau panci ini terjual, saya diterima bekerja di sini?”
“Yak!”
“Sebagai apa?”
“Sama seperti saya, mencari orang lain untuk menjualkan produk perusahaan.”
“Sales dong.”
“Bukan. Namanya marketing executive.”
Ada juga yang langsung mengadakan wawancara untuk posisi sales – meskipun dalam iklannya disebut marketing manager, marketing executive, distributor product, dan beberapa macam istilah lainnya. Atau diinterview perusahaan MLM yang kalau mau kerja harus membeli produk mereka lebih dulu kemudian disuruh mencari peserta baru.
“Saya mau kerja, bukan mau berbisnis.”
“Kerja itu ya bisnis. Jadi karyawan? Itu sih memperbudak diri.”
Pujianto tetap bersemangat meneruskan usahanya mengantar lamaran demi lamaran tanpa kenal lelah. “Inilah perjuangan hidup,” gumamnya menghibur diri setelah minum air mineral dalam gelas di halte itu.
Di sebelahnya ada Siti (sekitar 18 tahun) berdiri di samping beberapa kantung plastik putih besar bertuliskan nama hipermarket yang terletak di belakang halte. Tadi ia menemani Nyonya berbelanja, yang setelah membayar barang belanjaan berkata akan ke salon dulu.
Katanya kepada Siti, “Kamu tunggu di halte yang biasa.”
“Ya Nyah....”
Sebetulnya Siti lebih suka menunggu majikannya di depan salon, karena dengan begitu ia bisa menikmati sejuknya AC ruangan dan bau harum parfum orang-orang yang hilir mudik. Tapi kalau Nyonya menyuruh menunggu di halte, ia akan menurut. Mungkin Nyonya tidak suka ia berada di sana. Mungkin Nyonya ada janji dengan sesama Nyonya lain untuk membicarakan hal-hal yang Siti tak perlu tahu.
Siti tahu diri.
Siti percaya salah satu sebab ia masih dipertahankan bekerja di rumah bertingkat tiga itu adalah karena ia cukup tahu diri. Dari sesama pembantu di kiri-kanan rumah, Siti mendengar bahwa beberapa pembantu sebelumnya dipecat karena terlalu gampang mengumbar cerita kepada sesama pembantu lainnya. Dan cerita itu akhirnya sampai juga kepada sesama Nyonya di kiri-kanan dengan tambahan bumbu seperlunya.
Sinar matahari pukul dua siang terhalang apartemen empat puluh lantai di seberang jalan. Siti melihat ke arah Pujianto yang membuang gelas plastik ke tempat sampah. Pujianto juga melihat ke arah Siti yang mengelap keringat di lehernya dengan tisu seharga seribuan.
“Habis belanja?”
Siti mengangguk ragu-ragu.
“Pulang ke mana?”
“Pondok Indah.”
“O….” Pujianto menggangguk. Dalam bayangannya Pondok Indah hanya berarti satu hal yaitu rumah-rumah mewah. Sepertinya di sana memang hanya diperuntukkan untuk rumah-rumah mewah. Berdiri berderet-deret dan bersaing dalam kemegahannya masing-masing. Gerbang tinggi besar, pilar marmer, lampu kristal, dan lantai keramik bertingkat-tingkat.
“Enak dong....”
Siti tersenyum tipis.
“Ada anjingnya?’
“Ada. Dua. Satpamnya juga dua.”
Pujianto mengangguk lagi. Siti mengelap keringatnya lagi. Seperti memberi isyarat bahwa ia kepanasan. Seperti menunjukkan pada Pujianto bahwa ia tidak biasa kegerahan. Barangkali karena di rumah majikannya ada AC yang hidup nonstop seharian penuh.
“Kamu sudah lama di situ?”
“Hampir dua tahun.”
“Kok bisa kerja di situ?”
“Diajak Bulik yang duluan jadi tukang masak.”
“Emang pembantunya berapa sih?”
“Empat. Aku bagian cuci pakaian dan bersih-bersih kamar.”
Pujianto mencoba membayangkan sendiri ada empat pembantu dalam satu rumah. Siti bagian mencuci pakaian, kemudian menjemur, lalu menyetrika. Di antara itu ia membersihkan ruangan, bebas keluar masuk kamar yang tentunya serba mewah dan nyaman – seperti di hotel-hotel berbintang yang iklannya sering dilihat Pujianto di majalah luar negeri di kios buku-buku bekas.
Ranjang pegas, perabotan kelas satu, bathroom inside, tivi layar datar lima puluh inchi, dan telepon di atas meja kecil dekat lampu tidur, wow.... Betapa menyenangkan kalau bisa seperti Siti. Bisa memegang, mengelus, dan menikmati kemewahan tanpa harus pergi ke hotel bintang lima. Bisa makan enak dan tidur nyaman tanpa harus belajar di sekolah perhotelan.
Pujianto memang bukan lulusan sekolah perhotelan, tapi selalu bermimpi bisa bekerja di kantor yang mewah seperti hotel. Waktu masih kuliah dulu, bayangannya setelah lulus hanya satu: bekerja di kantor di sebuah gedung bertingkat. Ruang kerjanya dilengkapi dengan komputer, telepon, mesin faks, dan ruang tamu tersendiri. AC berhembus terus menerus dari sudut ruangan dan Pujianto hanya perlu mengatur menggunakan remote dari tempatnya duduk. Kalau sedang suntuk, Pujianto akan menelpon keluarganya di Salatiga sambil menatap pemandangan gedung-gedung bertingkat dari jendela kaca ruangannya.
“Iya betul, ini Mas Puji nelpon sambil melihat puncak monas. Kelihatan lho dari ruang kerja Mas. Bagaimana? Tidak percaya? Boleh.... Boleh.... Nanti kapan-kapan kalau libur sekolah boleh ke tempat Mas Puji. Boleh.... Boleh ikut ke kantor tapi jangan nakal ya....”
Dari halte tempatnya berdiri Pujianto mencoba melihat puncak monas. Tidak kelihatan. Yang kelihatan justru puncak-puncak apartemen, saling bersitegak seolah berlomba menyentuh langit.
“Kamu dulu sekolah apa?”
“Saya ini orang kampung,” Siti menunduk. “SD saja tidak tamat. Mas insinyur ya?”
Pujianto tersenyum getir. Mungkin Siti berkata begitu karena melihat map dalam genggaman tangannya. Mungkin juga karena orang desa seperti Siti tidak bisa membedakan mana insinyur, mana sarjana, dan mana yang diploma. Dalam pandangan mereka kalau kuliah itu ya jadi insinyur. Bukan jadi petani atau tukang becak.
“Mas kerja di mana?”
Pertanyaan itu membuat Pujianto terhenyak. “Saya belum kerja.”
“Ah, masak? Itu kan banyak kantor-kantor. Ngelamar saja ke sana.”
“Sudah. Tapi katanya tidak ada lowongan.”
“Masak iya? Di koran Nyonya tiap hari saya lihat banyak iklan lowongan kerja.”
“Saingannya banyak.”
“Kalau insinyur katanya gampang kerja.”
Pujianto ingin menjelaskan bahwa dia hanya diploma tiga jurusan ekonomi, tapi rasanya percuma. Akan lebih membuatnya terhenyak kalau nanti Siti malah menanyakan ngapain sekolah ekonomi kalau masih harus melamar ke sana ke mari. Kenapa tidak membuat perusahaan sendiri saja?
“Nyonyamu tidak punya perusahaan?”
“Punya, perusahaan kutang….” Siti tertawa mengikik. Entah bercanda entah serius. Pada saat hampir bersamaan terdengar alunan nada kuch-kuch hota hai entah dari mana. Sesaat kemudian Siti tergesa-gesa mengambil sesuatu dari saku roknya, menempelkan ke dekat telinga.
“Ya, Nyah…. Masih, Nyah…. Ya, ya….”
Pujianto meraba saku celananya. Tidak ada apa-apa di sana. Ia memang pernah berkhayal punya ponsel tipis yang dilengkapi kamera dan merek terkenal. Nyatanya sampai sekarang ia harus puas dengan ponsel lama monokrom tanpa kamera tanpa nada polifonik. Sementara Siti, gadis desa yang SD saja tidak tamat, dengan enteng menerima telepon dari majikannya dengan ponsel tipis warna milenium.
Diam-diam Pujianto menonaktifkan ponselnya.
Malu kalau tiba-tiba ponselnya berdering dan yang terdengar hanya nada sambung biasa.
Sementara itu Siti menyeka keringatnya sekali lagi dan memeriksa barang bawaannya sekali lagi. “Nyonya sebentar lagi datang.”
Udara halte makin panas. Sinar matahari memantul dari kaca-kaca gedung yang seperti bersaing mencakar langit Jakarta. Sebuah sedan warna kuning kenari keluaran terbaru membunyikan klakson. Lampu sen kirinya berkedip-kedip, bergerak perlahan mendekati halte.
“Itu Nyonya,” Siti mengangkat tas plastik besar bawaannya. “Saya duluan ya Mas”
“Ya. Hati-hati di rumah.”
Siti tersenyum mendengar peringatan Pujianto – seolah-olah kerja sebagai pembantu itu tidak aman. Memang banyak kabar yang menyebutkan pembantu rumah tangga dianiaya dan dijadikan obyek pelampiasan nafsu majikannya, tapi itu kan tidak semuanya. Lagipula kalau hanya sekedar digoda kecil-kecilan, apa salahnya?
Pintu bagasi terangkat. Dengan sigap Siti menyusun belanjaannya dan segera menutup kembali. Sebelum masuk ke ruang penumpang yang pintunya dibukakan entah oleh siapa, Siti masih sempat melambaikan tangan diam-diam.
Pujianto membalas lambaian tangan Siti terang-terangan.
Kaca hitam mobil itu anti sinar matahari dan mungkin juga kedap suara. Begitu Siti masuk ke dalam, bayangannya pun tidak kelihatan. Suara Nyonya yang menggeser duduknya juga tidak terdengar.
“Siapa itu?”
“Tidak tahu, Nyah. Cuma ngobrol saja kok.”
“Hati-hati ngobrol sama orang yang tidak kamu kenal. Sekarang ini banyak orang jahat.”
“Ya, Nyah.”
”Kamu tidak kasih tahu alamat rumah kita kan?”
“Tidak, Nyah….”
Di halte, Pujianto membayar air mineral gelasnya kepada penjaga kios yang tenggelam di tengah-tengah barang dagangannya. Kios itu menyita hampir seperempat halte. Seperempatnya lagi dikuasai gerobak mie ayam.
“Temen sekampung ya?” penjaga kios itu bertanya.
“Iya,” Pujianto menjawab sekenanya. “Enak dia. Sekolahnya SD saja tidak tamat, tapi bisa naik sedan bagus. Bisa tinggal di rumah mewah. Bisa belanja di supermarket. Sementara saya yang kuliah cuma bisa naik bis kota.”
Penjaga kios tertawa.
“Di Jakarta mah tidak ada yang pinter atau yang tidak pinter. Yang ada cuma orang yang beruntung dan orang yang tidak beruntung….”
Halte Lebak Bulus, Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar