Itulah pemandangan yang dilihat Iqbal sore itu. Ia sedang duduk-duduk di beranda losmen saat keduanya lewat. Gadis cilik itu tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang memperhatikan. Ia lebih asyik mengisap-isap sepotong es krim di tangannya. Laki-laki yang nampaknya buta itu lebih tidak peduli lagi. Ia lebih kerepotan mengikuti tarikan anak gadisnya sambil tetap menjaga agar sapu-sapu di pundaknya tidak jatuh.
Laki-laki buta setengah tua itu mungkin bapaknya.
Gadis cilik delapan tahunan itu mungkin anaknya.
“Mereka menginap di sini?” tanya Iqbal pada penjaga losmen.
“Ya. Sudah langganan.”
Tanpa diminta penjaga losmen itu bercerita bahwa mereka sering datang dua atau tiga bulan sekali. Membawa sapu ijuk barang dua atau tiga belas lusin. Kemudian menginap di losmen barang dua atau tiga bulan. Selama itu setiap hari mereka berdua bersama-sama berkeliling menjajakan sapu. Kadang membawa enam. Kadang sepuluh. Biasanya sore menjelang magrib kembali ke losmen. Sapunya kadang tinggal dua, kadang masih utuh.
“Sapu-sapu itu bikinan sendiri?”
“Ya. Buatan istrinya.”
“Istrinya buta juga?”
“Katanya sih tidak.”
Iqbal merasakan dadanya sesak. Lihatlah, bukankah ini sesuatu yang langka? Ternyata masih ada orang buta yang memiliki semangat begitu tinggi. Mau menjadi penjual sapu yang... yang.... berapa sih untungnya? Mungkin lebih besar uang yang diperoleh kalau mereka mau duduk mengemis di pinggiran jalan. Tapi, sekali lagi lihatlah, mereka memilih berjualan sapu. Memilih hidup dari tetes keringatnya sendiri. Memilih hidup bukan dari belas kasihan orang lain.
Tanpa sadar Iqbal merogoh saku celana. Ada dua puluh ribu lebih di sana. Cukup untuk membeli barang satu atau dua tangkai sapu. Tidak ada salahnya pura-pura membeli walau sebetulnya Iqbal tidak memerlukan. Hitung-hitung amal. Nanti sapunya bisa diberikan kepada orang lain atau ditinggalkan di losmen.
Lihat, gadis cilik itu turun lagi. Iqbal hendak memanggil, tapi keduluan penjaga losmen.
“Mau kemana, Butet?”
“Beli nasi, Om.”
Jawabannya begitu polos. Tak ada nada memelas atau minta dikasihani. Sekejap kemudian tubuh kecilnya menghilang. Mungkin ke warung nasi di sebelah.
“Namanya Butet?” tanya Iqbal.
“Kurang tahu, Pak. Anak perempuan kan biasa dipanggil begitu.”
“Jualan mereka selalu habis?”
“Tidak juga. Dulu pernah tidak habis. Sama sekali tidak habis. Kalau nggak salah pas mau lebaran. Pas krisis moneter lagi. Orang mau lebaran kan nggak butuh baju. Lebih butuh kue dan baju-baju.”
Iqbal merasa dadanya sesak lagi. Tak terbayangkan dengan apa mereka merayakan lebaran kalau orang lebih memilih baju daripada sapu. Mungkin si Butet duduk saja di rumah ditemani setumpuk sapu yang tidak laku.
Lihat, gadis kecil itu kembali lagi.
“Kok cuma satu?”
“Uangnya kurang, Om.”
Iqbal kembali meraba saku celananya. Kalau diberikan lima ribu saja sudah bisa untuk membeli sebungkus nasi lagi. Dan mereka tidak perlu berbagi. Masing-masing sebungkus nasi.
Sayangnya gadis kecil itu sudah menaiki tangga.
Kamar itu setengah terbuka.
Di balik pintunya terlihat setumpuk sapu ijuk. Iqbal berdiri agak lama di ujung anak tangga. Kamar-kamar di lantai paling atas adalah kamar-kamar dengan tarif paling murah. Hanya enam atau tujuh ribuan per malam. Kamarnya sempit dan isinya cuma tempat tidur dan sebuah meja yang selain kecil juga reyot.
Iqbal ingin mengetuk tapi takut mengganggu acara makan mereka. Ia berdiri saja di muka pintu. Dan sebelum memutuskan apakah akan menunggu atau pergi dulu, pintu kamar sudah terbuka. Gadis kecil itu muncul dengan sisa-sisa nasi menempel di sekitar mulutnya.
“Cari siapa, Om?”
Iqbal mencoba tersenyum. “Om mau beli sapu.”
“Masuk saja, Om,” gadis itu membuka pintu lebih lebar lagi. Sesaat Iqbal disergap bau yang tidak enak. Gabungan antara bau pengap dan keringat. Ditambah bau tumpukan pakaian kotor di sudut tempat tidur.
Laki-laki buta itu seperti serba salah untuk meneruskan makannya. Tangannya menggeragap, mengambil handuk kecil, kemudian mengelap mulutnya dengan satu gerakan tergesa.
Iqbal mengambil dua sapu di dekatnya. Tanpa memilih, tanpa memeriksa. “Ini saja. Berapa?”
“Enam belas ribu,” kata si gadis.
“Bisa ditawar, Dik,” kata bapaknya.
“Ah, tidak usah. Tidak apa-apa,” Iqbal merogoh uang dalam sakunya. Meletakkan dalam genggaman laki-laki tadi.
Laki-laki itu meraba sebentar. Si gadis mendekat dan membisikkan dua puluh dekat telinga bapaknya. Si bapak meraih tas pinggang, mencari-cari sesuatu, mungkin uang kembalian.
“Tidak usah, Pak. Tidak usah dikembalikan. Biar lebihnya untuk jajan Butet.”
Laki-laki itu mendadak terdiam. Meski matanya tidak melihat, tapi pandangannya tertuju lurus ke depan. Seperti menembus batas transparan yang tidak kelihatan.
“Adik menginap di sini juga?” tanyanya tiba-tiba.
Iqbal mengangguk gugup.
“Jadi sapu ini untuk siapa?”
“Untuk....”
“Kalau Adik tidak memerlukan sapu, tidak usah membeli.”
“Saya hanya ingin membantu....”
Laki-laki buta itu menggeleng. “Adik tidak perlu mengasihani kami. Ini bukan yang pertama kali tapi juga bukan yang Bapak kehendaki. Adik mau memahami keadaan kami saja Bapak sudah bersyukur. Tidak perlu memaksakan diri.”
Laki-laki itu menyodorkan dua puluh ribuan tadi.
Iqbal merasa kikuk. Merasa serba salah.
“Saya tidak bermaksud begitu. Maafkan kalau saya salah. Mengenai sapu itu, biar nanti saya berikan kepada losmen.”
Laki-laki itu tersenyum tipis. “Losmen ini tidak memerlukan sapu. Kami sering memberikan sapu sebagai pengganti sewa kamar, terutama kalau dagangan tidak laku. Dan Bapak tahu persis, sapu-sapu itu sampai sekarang masih menumpuk di gudang belakang.”
Laki-laki itu masih menyodorkan uang.
Iqbal masih merasa kikuk.
Gadis cilik itu tampak kecewa, tapi akhirnya mengambil uang dari tangan bapaknya dan dengan gerakan cepat memasukkan kembali ke saku Iqbal.
Iqbal bukan hanya kikuk, tapi juga malu.
Pagi itu, dalam bis yang masih ngetem menunggu penumpang, Iqbal mencoba meneruskan tidurnya. Tadi malam ia hanya sempat terpejam sebentar. Pukul setengah enam sudah terbangun, langsung mandi dan berkemas-kemas. Ia memang harus meninggalkan losmen, dan harus buru-buru mengejar bis pertama agar tidak terlalu gelap tiba di kampungnya.
Sebelum meninggalkan losmen, Iqbal beranjak ke lantai atas. Kamar itu masih tertutup rapat. Tidak ada suara-suara. Diambilnya dua puluh ribuan yang kemarin ditolak, dilipat dua, kemudian diselipkan di bawah pintu.
Harapan Iqbal sederhana saja. Pasti gadis itu yang menemukan pertama kali. Dan semoga ia mengerti. Setidaknya mengerti bahwa uang itu cukup berharga. Apalagi kemarin sempat terlihat kekecewaan atas tindakan Bapaknya. Semoga gadis itu mau menyimpan untuk dirinya sendiri. Tidak perlu memberi tahu bapaknya.
Kepada penjaga losmen yang sudah terbangun, Iqbal tidak bercerita apa-apa.
Tidak berpesan apa-apa.
Setengah jam kemudian ia sudah bergabung dengan keramaian terminal. Menaiki bis yang baru seperempat terisi dan mencoba tidur kembali. Iqbal tetap terpejam ketika dirasakannya bis bergerak meninggalkan terminal.
Gadis itu pasti sudah terbangun, pikir Iqbal. Sudah menemukan uangnya.
Saat bis meninggalkan batas kota, Iqbal menemukan kebahagiaan yang luar biasa. Ia tetap terpejam sehingga tidak melihat laki-laki buta dan anak gadisnya berada di jalan yang sama. Berjalan beriringan sambil membawa semua sapu yang tersisa.
Malam tadi mereka memutuskan untuk pindah. Sang bapak merasa orang-orang kota sudah mengganggap mereka tidak lebih daripada pengemis. “Kita pindah ke pinggiran saja. Di sana mungkin masih ada yang perlu sapu. Lagipula kita tidak perlu menginap di losmen. Bisa numpang di mesjid atau poskamling.”
Pagi-pagi sekali mereka sudah bangun dan berkemas-kemas. Meninggalkan losmen saat beduk subuh baru saja dipukul. Kepada penjaga losmen yang masih terlelap mereka tidak berkata apa-apa. Tidak berpesan apa-apa.
“Kita jalan saja terus sampai batas kota,” kata si Bapak waktu keduanya sarapan lontong sayur dekat terminal. “Di mana kita kemalaman, di situ kita menginap.”
Gadis cilik itu mengangguk saja sambil tetap asyik menghabiskan lontongnya.
Pada saat bersamaan penjaga losmen hampir tidak percaya ketika menemukan selembar dua puluh ribuan di lantai kamar yang akan dibersihkannya. Rasa tidak percayanya berubah menjadi rasa senang luar biasa. Kepada temannya yang baru datang dia berkata: “Sudah sarapan, Min? Belum? Nanti kita sarapan sama-sama ya. Lontong sayur dekat terminal itu katanya enak lho. Jangan kuatir, aku yang traktir....”
Dimuat di Majalah Annida No.4/XVI/15 Des 2006 – 15 Jan 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar