Kamis, 15 April 2010

Sakit Hati Selalu Abadi

Keduanya berdiri ragu-ragu di depan sebuah rumah.
Yudi mengeluarkan lagi kertas catatan dari sakunya. Mencocokkan alamat yang tertulis di kertas dengan alamat yang tertulis di tembok pagar. Nama jalannya cocok. Demikian juga rt, rw, dan nomor rumah.
“Ini rumahnya?” tanya Yudi memastikan.
“Alamatnya cocok?” Dini ganti meyakinkan.
“Kelihatannya cocok.”
“Kalau begitu kita masuk saja.”
Tapi ternyata tidak perlu karena pintu rumah sudah terbuka lebih dulu. Seorang wanita muda menggendong anak umur sekitar satu setengah tahun, muncul di depan pintu. Langsung menghampiri pagar depan.
“Cari siapa ya?” tanyanya dalam logat daerah yang kental, sambil tetap menggerak-gerakkan kain gendong agar anaknya tetap terbuai.
“Betul ini rumah Sujono?” tanya Yudi.
“Ya, betul.”
“Sujono yang dulu pernah kerja di Sumatera?”
“Iya,” wanita muda itu mulai heran. “Mas ini siapa ya?”
Yudi dan Dini menghela napas lega.
“Kami minta maaf kalau menggangu,” Yudi mengulurkan tangannya. “Saya Yudi. Dan ini adik saya, Dini.” Ganti Dini yang mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. “Kami dulu teman kerja Sujono. Kami juga sudah berhenti dan sekarang kerja di Tangerang. Eh, ngomong-ngomong, Mas Jononya ada?”
“Oh ada, ada... “ wanita itu seperti disadarkan oleh sesuatu. Cepat dibukanya pintu pagar, menyilakan keduanya masuk dengan isyarat tangan. Sejurus kemudian sudah masuk ke dalam rumah sambil tak lupa menyuruh kedua tamunya mengikuti. Tapi Yudi dan Dini memutuskan menunggu di teras depan.
“Mudah-mudahan tidak salah orang,” gumam Yudi diikuti anggukan Dini.
Diam-diam Yudi membayangkan seperti apa Jono sekarang.
Diam-diam Dini mengusap keringat yang mendadak membasahi lehernya.
Ketika tuan rumah muncul di pintu, ketegangan itu sempurna sudah. Sesaat ketiganya berdiri dalam suasana aneh. Terlebih Sujono dan Dini. Keduanya seperti bingung mau ngomong apa. Seperti ragu-ragu memulai lebih dulu.
“Dini...” akhirnya terdengar juga suara Jono. “Apa kabar.... “
Dini tidak menjawab.
Sujono juga tidak menunggu jawaban. Ia menyalami Yudi. Menyalami Dini yang menyambut setengah hati.
Sesaat kebisuan menguasai ruang tamu.
“Jadi ini rumahmu?” Yudi mencoba memecah keheningan. “Lumayan juga.”
“Ah, masih setengah jadi.”
“Yang penting kan sudah rumah sendiri. Daripada rumah besar tapi ngontrak. Iya kan? Wah, kami tadi hampir seharian lho cari rumahmu ini. Tanya-tanya sampai tiga kali.”
“O ya?”
“Iya,” Yudi melihat Dini. “Iya kan, Din? Ngomong dong, Din. Ah, kamu ini kok diam saja. Katanya pengen ketemu Jono. Sekarang sudah ketemu malah diam saja.”
Dini tersenyum getir. Agak dipaksakan.
“Kamu baik-baik saja, Din?” Jono memberanikan diri bertanya.
“Baik,” jawab Dini pelan. “Itu tadi istrimu?”
“Ya,” Jono menjawab lebih pelan lagi.
“Anakmu baru satu?”
“Ya. Kamu sendiri sudah menikah?”
Dini tidak menjawab.
Istri Jono keluar membawa nampan berisi minuman. Anaknya mungkin sudah ditidurkan di kamar. Setelah meletakkan minuman dan menyilakan sekedar basa-basi, wanita itu ikut duduk di samping suaminya.
“Ini istriku,” Jono mengenalkan. “Panggil saja Santi.” Lalu mengenalkan kedua tamunya. “Ini, Bu, teman-temanku waktu kerja di Sumatera dulu. Kami satu pabrik, hanya beda bagian. Aku sama Yudi di bagian pengepresan. Kalau Dini ini di bagian finishing.”
“Ya,” sambung Yudi. “Waktu krisis moneter ada perampingan karyawan, Mas Jono kena PHK lebih dulu. Kami masih sempat bertahan beberapa lama. Toh akhirnya pabrik tutup juga. Rugi terus. Soalnya harga solar dan lisrik terus-terusan naik. Karyawan pun sering demo minta kenaikan gaji sesuai UMR.”
Cerita Yudi cukup ampuh untuk mencairkan suasana. Meskipun Mbak Santi kelihatan agak sulit mengikuti jalan cerita, tapi tidak apa-apa, yang penting Dini sudah mulai terlihat rileks.
“Akhirnya kami kena PHK juga. Saya duluan ke Jakarta. Sempat menganggur setengah tahun sebelum – syukur alhamdullilah – dapat kerja di pabrik ban di Tangerang. Kemudian Dini menyusul. Akhirnya kami sepakat menggunakan cuti tahun ini untuk mencarimu. Dini katanya kangen pingin lihat apa kamu sudah jadi petani berdasi seperti rencanamu dulu, ha-ha...”
“Ah, Mas Yudi ini ada-ada saja,” Mbak Santi ikut tertawa. “Mas Jono memang jadi petani. Tapi ya ndak pake dasi....”
Dalam hati Yudi diam-diam bersyukur bahwa Mbak Santi tipe wanita desa yang lugu seperti apa adanya. Nyaris tidak punya prasangka apa-apa. Andai saja Mbak Santi tahu bahwa ada kisah tersendiri di antara Dini dan suaminya, barangkali suasananya akan berbeda. Apalagi kalau sampai tahu bahwa keduanya sudah pernah bertunangan, saling mengikat janji untuk menikah di kemudian hari. Setidaknya, begitulah yang dikatakan Jono sebelum pamit pulang ke Jawa. Yudi sendiri ada di situ, mendengar semuanya, bersama Bapaknya Dini.
“Saya pulang dulu,” pamit Sujono kala itu. “Ada tanah di kampung yang selama ini dibiarkan. Saya akan mengurusnya. Mudah-mudahan pesangon ini cukup untuk memulai usaha tani seperti yang saya rencanakan selama ini. Kamu sementara di sini dulu sambil menunggu perkembangan pabrik. Kalau normal lagi, kirim kabar ke Jawa. Siapa tahu saya bisa kembali ke sini lagi. Kalau pabriknya makin parah, kirim kabar juga, siapa tahu kalian mau ikut ke Jawa.”
Dini terisak-isak ketika itu.
“Kalau mau kirim surat atau telepon, minta tolong sama Yudi, ya? Alamat sudah saya kasih. Nomor telepon juga. Jangan sampai hilang, ya Yud ya?”
Yudi mengangguk ketika itu.
“Kalau Dini perlu apa-apa, tolong dibantu. Jangan lupa itu, Yud.”
“Ya. Jon. Jangan kuatir.”
“Kalau keadaan sudah memungkinkan, saya akan kembali ke sini untuk melamarmu. Langsung bersama-sama keluarga saya. Kamu percaya sama saya kan, Din? Nanti saya akan sering-sering kirim surat.”
Dini semakin keras terisak-isak.
“Jaga Dini baik-baik ya, Yud. Saya percaya sama kamu.”
“No problem,” Yudi mengangguk mantap.
Dua hari kemudian Sujono kembali ke Jawa.
Bulan demi bulan berlalu. Pabrik tetap berjalan meski terseok-seok. Dini tetap menunggu meski gelisah tak menentu. Dan Yudi tetap menghibur meski kabar yang dijanjikan Jono tidak juga muncul.
Surat yang dikirim Dini juga tak berbalas.
Enam bulan kemudian, Dini mencoba menghubungi nomor telepon yang ditinggalkan Jono. Telponnya memang diangkat, tapi si penerima mengaku tidak mengenal yang namanya Sujono. Padahal nomornya betul. Kode wilayahnya juga betul.
Bulan-bulan berikutnya Yudi masih setia menemani Dini interlokal dari wartel atau ke kantor pos mengirim kilat khusus. Sampai kemudian ada kabar angin yang mengatakan Jono sudah menikah dengan gadis sedesanya. Angin itu tidak muncul dari wartel, juga tidak dari kantor pos, tapi Dini percaya. Apalagi sampai tahun kedua tak juga ada secuil pun kabar dari Jono.


Matahari sudah agak condong ke barat ketika keduanya berpamitan. Mbak Santi setengah memaksa agar menginap, tapi Dini setengah bersikeras tetap akan pulang karena lusa ada panggilan kerja di sebuah supermarket di Jakarta. Yudi menambahkan sudah memesan tiket bis yang berangkat malam itu juga.
“Besok subuh kami sudah sampai Jakarta, Mbak.”
“Aduuuh, kalian ini kok ya buru-buru sih. Sudah datang jauh-jauh mbok ya menginap dulu. Biar hilang capeknya.”
“Tidak apa-apa, Mbak. Lain kali kan bisa.”
“Lain kali kapan? Tahun depan?”
Yudi tersenyum mengiyakan.
Dari dalam kamar terdengar di kecil menangis. Mbak Santi minta ijin ke dalam untuk menenangkan anaknya. Kesempatan itu digunakan Jono untuk menyalami Dini erat-erat.
“Dini, saya betul-betul minta maaf. Saya salah. Saya memang salah. Saya tidak bisa menolak keinginan Ibu untuk menikahi Mbak-mu. Itu permintaan terakhir almarhum Bapak. Apalagi Ibu terang-terangan tidak suka punya menantu dari seberang. Itu sebabnya waktu kamu telepon, Ibu memberi kesan seolah-olah salah sambung.”
“Kenapa tidak memberi tahu lewat surat?”
“Saya.... Saya tidak sanggup menuliskannya.”
“Kamu tidak sanggup menuliskan tetapi sanggup mengingkari janjimu sendiri?” suara Dini datar. “Jon, bagi saya itu lebih menyakitkan daripada kamu mengirimkan kartu undangan.”
“Saya tahu. Saya memang salah.”
“Rasa salahmu tidak cukup untuk menghapuskan sakit hatiku.”
“Maafkan saya, Din, maafkan....”
“Kalau saya memutuskan untuk tidak menikah sampai akhir hidup saya, itu karena kamu, Jon.”
“Jangan, Din, mohon jangan....”
Yudi mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Saya tidak akan pernah melupakan ini, Jon. Tidak pernah.”
Jono menggigit bibir bawahnya.
Kehadiran Mbak Santi kembali mencairkan ketegangan.
Matahari sudah betul-betul condong ketika kedua tamu jauh itu menghilang di balik tikungan jalan. Masih terbayang dalam pikiran Yudi bagaimana sinar mata Jono saat melepas keduanya. Sinar mata penyesalan. Dan Yudi memaklumi itu. Betapa menyakitkan kenyataan ini untuk Jono. Betapa tidak nyamannya jika kesalahan kita ditelanjangi bulat-bulat. Sakit hati dan malu. Perkataan pedas Dini seolah melemparkan harga diri Jono ke titik paling rendah.
Kalau saja istrinya lebih cantik daripada Dini, barangkali tidak mengapa. Atau kalau hidupnya lebih sukses, barangkali juga tidak mengapa. Tapi ini, ia kembali menjadi petani biasa, dan istrinya secara fisik juga tidak lebih menarik dibandingkan Dini.
Betapa menyakitkan.
Yudi menyadari hal itu. Dan tidak ingin mengingat-ingat lagi begitu keduanya kembali ke hotel tempat mereka dua hari terakhir ini menginap. Juga tidak berkata apa-apa bahkan setelah keduanya selesai mandi dan berbaring di tempat tidur. Sepasang cicak yang bermesraan di langit-langit kamar membuat Yudi tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Din....”
“Ya?”
“Kenapa kamu tidak bilang terus-terang bahwa kita sudah menikah?”
“Tidak akan.”
“Kenapa?”
“Supaya Jono menyesali perbuatannya.”
“Ya, tapi kenapa?”
“Karena dia pantas menerimanya.”
Yudi tahu tidak ada gunanya meneruskan pertanyaan. Sepasang cicak yang kini menghilang itu membuatnya sadar tidak ada gunanya mempermasalahkan masa lalu. Barangkali beginilah cara wanita membunuh perasaan lawannya secara tersamar, meskipun untuk itu sebetulnya mereka membunuh perasaannya sendiri. Dengan membiarkan Jono menyesali diri, secara tidak langsung Dini telah melampiaskan kekecewaan dengan caranya sendiri.
Kedua cicak itu muncul lagi. Bermesraan lagi.
“Dini....”
“Ya?”
“Kamu masih sakit hati?”
“Masih.”
Please,” suara Yudi merendah. “Jangan biarkan perasaan itu mengganggu hubungan kita.”
Dini tersenyum.
Malam belum lagi larut ketika Dini memeluk Yudi erat-erat.



Salatiga, awal Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar