Kamis, 15 April 2010

Kabar Dari Rimba

Kabar bahwa proyek tempat Trisnadi bekerja sedang mendapat masalah sudah lama terdengar. Mula-mula dari siaran di tivi. Dalam salah satu liputannya, penyiar berdiri di depan tumpukan kayu bulat. Di kiri kanannya belasan kepala seperti berebut melihat ke arah kamera.
“Pemirsa,” kata si penyiar. “Seperti yang Anda saksikan sekarang, di belakang saya adalah tumpukan kayu hasil produksi PT. Timber Jaya, salah satu perusahaan HPH besar di Sumatera Utara yang belakangan ini mendapat kecaman dari masyarakat di sekitarnya. Penduduk keempat desa menganggap perusahaan telah menyebabkan rusaknya hutan mereka, keringnya sumber air, datangnya banjir dan longsor, serta tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pembangunan desa....”
Lalu kamera perlahan-lahan menyorot lahan-lahan kosong bekas penggundulan hutan. Tunggul-tunggul kayu tampak menghitam, bersaing di antara selimut asap yang terus mengepul. Seorang tokoh masyarakat yang diwawancarai dengan berapi-api berkata, “Pokoknya kami masyarakat desa tidak menghendaki kehadiran perusahaan itu di desa kami lagi! Mereka nyata-nyata telah merusak hutan warisan leluhur kami! Kami menuntut HPH ditutup! Kami minta ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan!”
Setiap kalimat tokoh masyarakat tadi disambut teriakan dan yel-yel belasan orang di sekitarnya.
Saat itu Trisnadi Tua – ayahanda Trisnadi – mulai merasa ada yang tidak beres dengan perusahaan anaknya. Keingintahuannya bersambut manakala beberapa hari kemudian anaknya menelpon ke rumah.
“Mereka sekarang memblokir perusahaan, Pak.”
“Memblokir?”
“Ya,” suara Trisnadi terdengar parau. “Mereka melarang karyawan bekerja. Melarang menghidupkan alat-alat berat. Sungai yang menjadi sarana transportasi mereka halangi dengan perahu. Tidak boleh ada yang keluar ataupun masuk.”
“Sampai kapan?”
“Sampai tuntutan mereka dipenuhi.”
“Mereka menuntut apa?”
“Banyak, Pak.” Di ujung sana seperti terdengar suara kertas dibuka. “Mereka minta fee dari setiap kubik kayu yang dijual, minta dibangun tanggul penahan tepian sungai, minta didirikan sekolah, minta karyawan seluruhnya dari warga setempat, dan entah apa lagi yang saya pun kadang kurang paham. Nilai totalnya mencapai dua puluh milyar....”
Trisnadi Tua menggumamkan dua puluh milyar dalam batinnya.
“Dan perusahaan setuju?”
“Sedang dirundingkan. Tapi kelihatannya susah karena perusahaan sendiri juga sedang banyak masalah.”
“Masalah apa lagi?”
“Penebangan liar di dalam areal perusahaan tambah banyak. Merajalela dan susah dikontrol.”
“Siapa yang mengambil?”
“Ya orang-orang kampung itu juga. Mereka menebang pohon di sekitar areal tebang kami. Repotnya banyak karyawan yang ikut terlibat. Banyak yang ikut jadi pencuri. Operator chainsaw menebang untuk mereka, operator dozer membantu menarik kayu curian ke pinggir jalan. Setelah dipotong-potong, dimuat ke truk perusahaan dan diantar ke tepi sungai.”
“Lho, kok karyawan itu mau?”
“Karena mereka dapat duit tunai dari situ. Bapak tahu sendiri gajian belakangan ini sering terlambat.”
“Apa perusahaan tidak menindak karyawan yang terlibat?”
“Sudah, sudah banyak yang dipecat. Tapi tidak ada kapoknya.”
“Orang kampung yang mencuri kayu itu tidak ditangkap?”
“Sudah juga, tapi percuma. Siang satu orang ditangkap, malamnya satu truk fuso datang ke camp, minta temannya dibebaskan.”
Trisnadi Tua menggeleng-gelengkan kepalanya.
Trisnadi – anaknya – di ujung yang lain menggaruk-garuk kepalanya.
“Jadi bagaimana rencanamu, Nak?”
“Kami menunggu perkembangan. Kalau keadaannya semakin memburuk, apa boleh buat, kami akan meninggalkan proyek.”
“Ya, lebih baik begitu. Apalagi kamu bukan orang situ. Sejak ribut-ribut otonomi daerah, pribumi selalu merasa lebih penting daripada pendatang. Kalau ada apa-apa kalian pulang saja. Akan lebih baik buat kalian, dan lebih menentramkan hati kami.”
“Ya, Pak.”
Keduanya meletakkan gagang telpon dengan perasaan gundah. Yang tua gelisah memikirkan anaknya. Yang muda gelisah bagaimana menghidupi keluarga kalau nanti terpaksa meninggalkan proyek. Mereka memang belum punya anak, tapi istrinya juga bukan seseorang yang bisa diajak prihatin.
Ketika sebulan kemudian terbaca berita bahwa base camp PT. Timber Jaya dibakar oleh massa yang marah, Trisnadi Tua hanya bisa mengucap doa dalam hati. Perundingan demi perundingan akhirnya tidak membawa hasil. Masyarakat desa tidak bisa membendung kekesalannya. Dalam waktu kurang dari dua jam, markas Timber Jaya hangus menjadi abu. Enam puluh brimob yang disiagakan tidak bisa berbuat banyak. Mereka diam saja memandangi bangunan camp luluh lantak satu persatu diiringi pekik kemenangan masyarakat desa. Demikian terulis di salah satu koran nasional. Agak bombastis memang, tapi itu biasa.
Trisnadi Tua berdoa dan terus berdoa.
Berdoa untuk keselamatan anak dan menantunya. Berdoa untuk keselamatan karyawan lainnya. Dan doanya seolah dikabulkan karena dua minggu kemudian anaknya menelpon dan mengabarkan sedang dalam perjalanan ke Jawa.
“Pulanglah, Nak. Selalu ada tempat untuk kalian di sini.”
Tidak ada yang perlu diharapkan dari seseorang yang mengalami kekalahan di rantau. Trisnadi Tua menyambut anak dan menantunya dengan lapang dada. Ditepuk-tepuknya punggung Trisnadi yang terus minta maaf karena tidak membawa apa-apa.
“Semuanya habis, Pak. Semuanya habis terbakar.”
“Tidak usah memikirkan itu. Kalian bisa pulang dengan selamat sudah merupakan oleh-oleh paling berharga dari Yang Maha Kuasa.”
Kedatangan Trisnadi menjadi ajang reuni keluarga besar mereka. Famili jauh dan dekat datang menyalami dan memberikann hiburan agar keduanya tabah menghadapi cobaan hidup. Terutama karena Trisnadi terus menerus bercerita tentang rumahnya yang hangus, surat-surat penting yang musnah, perhiasan istrinya yang tidak terselamatkan, dan angan-angannya yang terbang bersama gumpalan asap ke udara.
“Tidak usah dipikirkan. Harta yang hilang bisa dicari. Semua itu hanya titipan Tuhan. Yang penting kalian selamat, sehat wal afiat, itu lebih berarti.”
“Kami sudah tidak punya apa-apa.”
“Kalian masih punya kami, sanak famili dan kerabat. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu. Sabarlah. Tawakallah. Kalau kita sabar dan tawakal, Tuhan akan memberikan lebih banyak daripada apa yang telah diambilnya.”
“Ya, Pak. Terimakasih....”
Sampai lewat tengah malam mereka masih ngobrol di ruang tengah. Sanak famili yang datang silih berganti membuat Trisnadi harus mengulangi lagi cerita yang sudah diceritakan sebelumnya. Disambung dengan mendengarkan nasehat dan penghiburan yang juga sudah didengar sebelumnya. Kalau saja Trisnadi Tua tidak mengingatkan bahwa larut telah lewat, barangkali cerita dan nasehat masih akan terus berulang.


Di kamar yang disediakan untuk Trisnadi dan istrinya, kesunyian tidak membuat keduanya segera terlelap. Mereka masih terjaga ketika kokok ayam terdengar untuk pertama kalinya. Trisnadi menyulut rokoknya yang ke sekian, sambil tetap membiarkan kepala istrinya terbaring di atas pangkuan.
“Mas....” bisik istrinya.
“Ya?”
“Apa tidak lebih baik kita berterus terang saja?”
Trisnadi menggeleng. “Tidak sekarang. Belum saatnya.”
“Saya merasa tidak enak.”
“Memang. Tapi kalau berterus terang malah lebih tidak enak lagi.”
Trisnadi mengisap rokoknya kuat-kuat. Bara api yang memercik mengingatkannya pada bunga api yang berloncatan di atas bubungan rumah. Bunga api yang hanya bisa dilihat dari kejauhan karena Trisnadi sudah dipecat secara tidak hormat karena terbukti menjual kayu pada penebang liar. Gergaji mesinnya disita sebagai bukti. Upahnya dipotong sebagai ganti rugi. Hanya uang jalan sekedarnya yang diberikan perusahaan sebagai bekalnya kembali ke kampung. Bahkan sebagian perhiasan istrinya dijual untuk menambah ongkos pulang.
Tidak ada pesangon.
Tidak ada surat keterangan berhenti.
Yang ada hanya rasa bersalah karena harus meninggalkan proyek justru ketika teman-temannya berjuang menghadapi masalah. Kabar pembakaran itu sendiri baru didengar Trisnadi sore harinya, ketika sudah berada di pasar kecamatan. Dan diperjelas dengan membeli koran-koran yang memuat berita itu keesokan harinya.
“Kliping koran tentang pembakaran itu masih kamu simpan?”
“Masih. Ada di dalam koper.”
“Jangan sampai hilang. Nanti kita memerlukannya.”
Istrinya mengangguk.
Trisnadi masih merokok ketika kokok ayam terdengar untuk kedua kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar