Mungkin Rumiyati juga perlu disalahkan karena tidak memiliki rekening bank di kampungnya sana. Kalau lewat bank tentu bisa lebih cepat dan tidak perlu antre seperti di kantor pos. Bahkan juga tidak perlu repot-repot datang ke bank karena bisa lewat ATM. Dan tidak perlu harus pada jam kerja karena ATM buka nonstop dua puluh empat jam.
Tapi menyalahkan Rumiyati juga percuma karena dalam salah satu suratnya ia pernah menulis, Jangankan untuk menabung. Untuk makan sehari-hari saja susah.
Alasan itu terdengar klise, memang.
Tapi begitulah kenyatannya.
Dalam salah satu suratnya, Cut Nya’ – demikian Dharmawati menjuluki Rumiyati terutama karena kegigihannya berjuang melawan kehidupan – pernah bercerita bahwa sejak dua bulan terakhir ia membuka warung nasi agak di luar kota. Itu juga bukan pekerjaan tetapnya karena sebelumnya pernah buka rental komputer, agen koran, dan agen tiket bis luar kota.
Entah dengan kedai nasinya kali ini.
Mungkin bertahan lama, mungkin cuma sementara.
Hati kecil Dharmawati mengakui betapa Cut Nya’ memang ulet dan gigih. Ia tidak pernah ragu menggeluti pekerjaan yang kira-kira bisa menghidupi keluarganya. Sayangnya sampai saat ini tidak pernah tekun di satu bidang. Selalu saja berganti-ganti.
Kerja di sini harus pinter-pinter mencari celah. Selalu ada peluang tetapi juga selalu ada halangan. Rental komputer mula-mula rame, tapi sejak ribut-ribut otonomi daerah jadi sepi karena banyak mahasiwa yang memilih pulang ke kampung masing-masing.
Jadi agen koran sulit berkembang karena koran-koran terbitan jawa selalu telat. Sejak banyak gangguan GAM, bis-bis luar kota tinggal sedikit. Cuma bis milik pribumi saja yang masih berani beroperasi.
Setiap kali membaca surat Cut Nya’, Dharmawati selalu bersyukur karena kehidupannya jauh lebih baik. Tidak perlu pontang-panting cari makan. Tidak perlu jungkir balik cari uang. Perjalanan karirnya bisa dibilang mulus dan nyaris tanpa pergolakan. Datar-datar saja. Beberapa bulan setelah lulus langsung diterima sebagai pegawai negeri sipil. Dharmawati tinggal mengikuti saja aturan dan mekanisme yang sudah ada. Tidak perlu demo. Tidak perlu menuntut ini itu.
Aku tidak perlu memikirkan kredit rumah dan membayar asuransi karena semuanya sudah diatur oleh sistem. Yang perlu kulakukan hanya berdiri di tepi jalan setiap jam tujuh pagi. Lalu bis karyawan datang menjemput. Aku tinggal duduk di bangku yang tersedia dan kadang-kadang tertidur kembali. Begitu sampai di kantor aku tinggal duduk di meja kerjaku dan mengerjakan tugas-tugas yang diantar pesuruh. Setelah makan siang di kantin, aku kembali meneruskan pekerjaan. Jam empat sore aku sudah berdiri di depan kantor dan bis yang sama akan datang menjemput. Aku tinggal duduk menempati bangku yang tersedia dan selalu sambil tertidur sampai bis menurunkanku di tempat aku naik tadi pagi.
Dharmawati bisa membayangkan betapa iri Cut Nya’ saat membaca suratnya.
Betul-betul hanya bisa membayangkan karena pada kenyataannya mereka memang belum pernah bertemu. Semua komunikasi hanya lewat surat. Bahkan perkenalan pertama kali pun lewat rubrik sahabat pena di sebuah majalah anak-anak. Hanya pernah beberapa kali saling bertukar foto. Selebihnya adalah bertukar cerita mengenai perkembangan masing-masing.
Sampai sama-sama lulus SMA.
Sampai sama-sama sibuk mencari pekerjaan.
Sampai Cut Nya’ berterus terang tidak punya pilihan lain kecuali mengurusi dapur rumahnya yang terdiri dari seorang ibu dan dua adik yang masih sekolah. Bapak merantau ke Pidie tapi sampai sekarang tidak pulang-pulang. Ada yang bilang ikut bergabung bersama-sama GAM. Ada yang bilang sudah mati ditembak tentara.
Itu sebabnya Dharmawati mengirimkan wesel sebesar satu juta rupiah untuk Cut Nya’ sahabatnya. Walaupun Cut Nya’ tidak meminta, tapi dalam surat terakhirnya ia bercerita punya rencana membuka rental video game di samping warung nasinya yang berada tidak jauh dari sebuah kompleks sekolahan.
Setiap bubaran sekolah, jalan di samping warung nasi kami penuh anak-anak mulai dari SD, SMP, sampai STM. Sorenya juga banyak yang ikut ekstrakulikuler. Saya pikir-pikir, kalau saja bisa membuka rental video game tentunya bakal rame. Tapi harga alatnya mahal juga, sementara uang kami sudah terpakai untuk modal warung nasi.
Dharmawati menghitung-hitung, untuk satu set video game butuh setidaknya satu setengah jutaan. Itupun tivinya yang bekas, ditambah dua atau tiga puluhan kaset permainan. Butuh sekitar dua jutaan. Kalau Dharmawati hanya mengirim satu juta, itu karena hanya sebatas itulah kemampuannya saat ini. Menurutnya satu juta cukup membantu. Setidaknya sudah bisa menjadi pemicu semangat Cut Nya’ untuk memulai rencananya.
Dilihatnya kalender di dinding. Dikira-kiranya lama pengiriman lewat kantor pos. Paling lambat minggu depan wesel itu sudah sampai di tangan Cut Nya’. Kalau cepat tanggap, dalam dua minggu ke depan vidoe gamenya sudah mulai beroperasi. Dan Dharmawati tinggal menunggu kabar baik berikutnya.
Sepuluh hari kemudian surat Cut Nya’ datang.
Dharmawati sahabatku,
Saya sudah terima weselmu. Aduh, saya terkejut. Kaget bukan main. Kamu hanya sahabat, itupun sahabat pena. Bukan saudara, bukan famili, tapi perhatianmu begitu besar. Saya tidak pernah mengira kamu akan mengirimiku uang sebesar itu. Sampai sekarang wesel itu masih saya simpan. Belum saya tukarkan ke kantor pos. Saya takut tidak bisa mengembalikan uangmu. Seumur hidup belum pernah saya meminjam uang sebesar itu dari orang lain. Kalau besok-besok saya mati mendadak ditembak GAM, siapa yang harus membayar hutang itu kepadamu?
Cepat balas surat ini, sahabatku. Supaya pikiran saya tenang.
Dharmawati tersenyum membaca surat sahabatnya.
Selalu saja Cut Nya’ punya perasaan bersalah terhadapnya. Memang baru sekali ini Dharmawati mengirimi uang, tapi sudah sering ia mengirimkan apa-apa yang bisa berguna bagi Cut Nya’. Majalah-majalah, kliping berita, kaset, buku bacaan, pakaian bekas layak pakai, atau sekedar makanan ringan. Dan semua itu dikirimkan tanpa maksud lain kecuali sebagai tanda persahabatan.
Tidak lebih tidak kurang.
Dan tidak menghalangi niat Dharmawati membalas surat sahabatnya.
Rumiyati sahabatku,
Kamu tidak perlu risau dengan kiriman uang itu. Saya mengirimkannya karena saya percaya akan berguna. Sekecil apapun jumlahnya akan tetap berguna. Dan saya tahu kamu akan memanfaatkannya baik-baik. Paling tidak bisa menjadi modal awal membuat rental video game seperti rencanamu.
Jangan pikirkan benar tentang pengembaliannya.
Saya mengirimkannya sebagai bantuan, bukan pinjaman. Segera uangkan wesel itu. Segera gunakan untuk mewujudkan rencanamu. Saya cuma ingin mendengar bahwa usahamu berhasil. Bahwa usahamu lancar.
Jangan pusingkan soal uang pinjaman. Kalau usahamu sudah berjalan dan untungnya lumayan, baru kamu boleh berhitung. Bisa mengembalikan uang itu akan saya terima. Dicicil juga bisa. Tapi kalaupun tidak dikembalikan juga tidak apa-apa. Saya tidak memikirkan betul. Bahkan seandainya kami mati setelah menguangkan wesel itu, saya anggap kiriman itu tidak pernah ada.
Surat balasan itu dikirimkan lewat kilat khusus.
Tinggal menunggu tiga empat hari, Cut Nya’ pasti akan menerimanya. Dharmawati berharap Cut Nya’ memahami maksudnya. Segera menguangkan wesel itu dan memulai usahanya. Bagi Dharmawati tidak ada kebahagiaan melebihi itu.
“Selamat berusaha, sahabatku. Semoga sukses selalu bersamamu,” doa Dharmawati bersungguh-sungguh.
Tuhan mendengar doa tulus Dharmawati. Kilat khusus itu diterima Cut Nya’ empat hari kemudian. Cut Nya’ bergegas menguangkan wesel itu ke kantor pos terdekat. Tapi harapan Dharmawati tidak sepenuhnya dikabulkan. Cut Nya’ terjebak kontak senjata yang mendadak pecah di jalan raya persis di depan kantor pos. Orang-orang berteriak gaduh sambil menyebutkan adanya serangan GAM terhadap truk tentara yang saat itu melintasi pasar. Cut Nya’ berusaha berlindung di balik tembok pagar. Dan sebelum menyadari di mana posisi GAM dan di mana posisi tentara, sebutir peluru telah menembus kepalanya.
Tidak jelas peluru siapa yang merenggut nyawa Cut Nya’. Bisa peluru tentara, bisa peluru GAM. Orang-orang tidak mempedulikan benar. Mereka hanya bisa menyaksikan tubuh kurus Cut Nya’ terkapar bersimbah darah di halaman kantor pos. Orang-orang hanya bisa menunggu sampai kontak senjata selesai. Bukan hanya untuk mengurus jenazah Cut Nya’ tapi juga untuk berebut mengambil sejuta rupiah yang berhamburan bercampur darah....
Sibolga, akhir Desember 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar