Kamis, 15 April 2010

Kenangan Lama

Sore itu Erik datang ke rumah.
Sebetulnya bukan sesuatu yang istimewa kalau Erik datang ke rumah. Selama ini pun Erik biasa datang – dengan mendadak atau memberi tahu lebih dulu. Sebulan yang lalu dia juga tiba-tiba datang dan langsung cerita kalau sudah tidak bekerja lagi. Sudah berhenti karena katanya, “Tidak menjanjikan tantangan, karir, dan masa depan.”
“Jadi kamu nganggur sekarang?” tanyaku waktu itu.
Erik mengiyakan. Dan seperti yang sudah kuduga, dia minta tolong dicarikan siapa tahu ada perusahaan yang membutuhkan karyawan baru. Tentu saja yang sesuai dengan klasifikasinya sebagai sarjana akutansi lulusan perguruan tinggi swasta dengan pengalaman kerja empat tahun di tiga perusahaan.
Aku bilang akan mencoba membantunya.
Dan gara-gara kesanggupanku itulah selama dua hari berturut-turut aku sibuk menelpon ke sana ke sini. Sibuk bertanya ke sana ke sini. Sampai akhirnya satu perusahaan positif menerima Erik sebagai karyawan baru.
“Aku diterima, Sam!” kata Erik di telepon saat itu.
Aku cuma tersenyum mendengar ucapan terima kasih Erik yang berkali-kali. Beberapa hari sesudahnya memang Erik tidak datang ke rumah. Juga tidak menelpon. Mungkin masih disibukkan oleh aktifitasnya yang baru. Dan itu tidak kupermasalahkan betul.
Setidaknya sampai sore ini.
Aku baru saja akan membuka lembaran koran ketika kulihat bayangannya memasuki halaman. Masih mengenakan seragam kantornya yang hitam putih. Dasinya juga masih terpasang – hanya sudah dikendorkan. Wajahnya tampak kusut dan lelah.
“Langsung dari kantor?”
“Iya.”
Aku memanggil istriku. Minta dibuatkan secangkir kopi lagi.
“Bagaimana pekerjaan barunya?”
“Biasa-biasa saja.”
“Masih tidak memberikan tantangan, karir, dan masa depan?”
Erik tersenyum mendengar sindiranku. “Nggak juga.”
“Lalu kenapa mukamu kusut begitu?”
“Ada sedikit masalah....” suara Erik merendah. Kebetulan istriku datang membawa secangkir kopi. Erik menyalami dan berbasa-basi sebentar.
“Kenapa, gajinya kurang besar?”
“Tidak,” Erik mengusap rambutnya. “Gajinya memang kecil. Tapi bisa kumaklumi karena namanya juga karyawan baru.”
“Jadi kenapa mukamu kusut begitu?”
Erik melihat lama ke luar halaman. “Ada masalah sedikit. Tapi agak mengganggu, Sam. Kebetulan ada karyawan lain. Perempuan. Di bagian lain tapi masih satu ruangan. Cuma dibatasi sekat, yang.... yang....”
“Yang jatuh cinta sama kamu?” sambutku cepat.
“Bukan! Bukan!”
“Atau kamu yang jatuh cinta sama dia?”
“Bukan! Bukan juga!”
“Jadi?”
“Dia bekas pacarku waktu kuliah dulu!”
Aku sempat kaget. Lalu termangu seperti orang tolol.
“Itulah masalahnya, Sam. Aku sama sekali tidak menyangka akan ketemu dia lagi. Jangankan ketemu langsung, dalam mimpi pun tidak terpikir. Ini, tiba-tiba ketemu dalam satu perusahaan. Dalam satu ruangan lagi. Dia pun kelihatan kaget. Mungkin juga tidak mengira bakal ketemu aku lagi.”
Erik menghirup kopinya – padahal belum kusuruh.
“Namanya Nina. Kami dulu satu angkatan, cuma berbeda kelas. Kami sempat pacaran sekitar empat tahun, sampai kemudian sama-sama lulus. Aku langsung kerja di Medan waktu itu, sementara Nina masih di Bogor menunggu wisuda. Sejak itu hubungan kami makin tidak karuan. Ketemu makin jarang. Surat-surat makin langka. Sampai akhirnya kudengar kabar Nina menikah.”
“Dengan siapa?”
“Mana kutahu! Dengan pacar barunya, mungkin.”
“Terus?”
“Terus ya begitulah. Seperti dalam sinetron-sinetron itu. Mula-mula aku masih bertahan. Memang masih cinta sih. Masih suka kirim kartu ucapan atau kartu tahun baru. Tapi karena tidak dibalas-balas, akhirnya nggak tahan juga. Sampai kemudian aku menikah dengan Winda – istriku sekarang.”
“Jadi masalahnya di mana?”
“Ya ampuuuun, Sam! Kamu tahu bagaimana rasanya ketemu bekas pacar? Apalagi kalau kita masih menyimpan rasa sayang, rasa kangen, rasa cinta, atau yang sebangsa dengan itu?”
“Apa kamu bilang begitu sama Nina?”
“Iya.”
“Lalu apa katanya?”
“Nina bilang minta maaf. Ia mengaku salah karena mau saja dikawinkan dengan pilihan Bapaknya. Juga karena membuang kartu-kartu kirimanku sebelum ketahuan suaminya. Tahu, Sam, apa yang dikatakan Nina waktu kami sama-sama makan siang di kantin samping kantor?”
“Tidak. Apa katanya?”
“Katanya, Rik, kalaupun rasa cinta itu masih ada, biarlah Nina simpan untuk hati Nina sendiri. Coba, Sam, bayangkan!”
Aku – diam-diam – merasa iri.
Iri karena masa pacaranku biasa-biasa saja. Jauh dari tetek bengek urusan macam itu. Pacaran sekitar tiga tahun dan kemudian menikah. Semuanya wajar. Nyaris tanpa liku-liku.
“Sam?”
“Ya?”
“Menurutmu aku harus bagaimana?”
“Biasa-biasa saja. Lupakan bahwa selama ini kalian pernah kenal sebelumnya.”
“Aku sudah biasa-biasa saja. Selama ini kami biasa-biasa saja.”
“Jadi apa masalahnya?”
Erik menghirup kopinya lagi – padahal belum kusuruh.
“Hati ini, Sam. Hati ini yang tidak bisa biasa-biasa saja. Orang boleh saja berkata bahwa masa lalu adalah masa lalu. Tapi hati ini tidak bisa dibohongi. Kenangan-kenangan indah semasa pacaran dulu sepertinya muncul kembali.”
“Kalau begitu kamu berhenti saja dari situ.”
“Sori, Sam. Kalau itu sori. Aku tidak mau munafik soal itu. Aku butuh pekerjaan, itu yang pertama. Yang kedua, sejak ketemu Nina hidupku jadi lebih cerah. Setiap hari aku bersemangat pergi ke kantor, terutama karena akan ketemu Nina. Tiap sore, aku belum mau pulang kalau kulihat Nina masih ada di ruangannya. Aku selalu berusaha untuk pulang sama-sama, setidaknya sampai tempat menunggu angkutan kota. Setiap hari, di kantor, aku selalu memperhatikannya. Diam-diam aku mengagumi kecantikannya. Ia masih cantik seperti dulu, Sam. Apalagi kalau dia membungkuk membuka lemari arsip sehingga sebagian buah dadanya kelihatan. Atau kalau dia berjalan membelakangi sehingga pantatnya nampak padat dan seksi....”
Aku menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya kuhirup kopiku. Terasa sudah hampir dingin. Erik ikut-ikutan menghirup kopinya – padahal tidak kusuruh.
“Rik,” kataku akhirnya. “Kalau begitu untuk apa kamu datang ke sini dan bilang ada masalah?”
“Suaminya, Sam,” suara Erik pelan sekali. “Tadi siang suaminya datang ke kantor. Kami berkenalan.”
“Oya?”
“Di situlah aku baru merasa ada masalah.”
“Kenapa? Suaminya tahu kamu bekas pacar istrinya?”
“Bukan. Suaminya ternyata karateka.”
Tiba-tiba aku tertawa terbahak-bahak.

Lama setelah itu Erik tidak ada kabarnya. Aku mencoba membayangkan betapa kikuknya Erik di kantor. Betapa gelisahnya berada di antara masa lalu dan masa kini. Di antara angan-angan dan kenyataan. Dan bagian yang selalu membuatku tertawa adalah saat membayangkan bagaimana Erik bersikap di antara Nina yang cantik dan suaminya yang karateka.
Pernah juga kureka-reka sendiri bagaimana kira-kira kelanjutan kisah mereka. Mungkin Erik akhirnya mundur karena sadar tidak mungkin memiliki Nina-nya kembali. Apalagi ia sendiri juga sudah beristri. Atau justru Nina yang memilih keluar karena rasa bersalahnya. Kemungkinan lain adalah suami Nina akhirnya mengetahui hubungan di antara keduanya.
Ah, mudah-mudahan tidak.
Sulit membayangkan bagaimana jadinya kalau Erik yang kurus kecil itu harus berhadapan dengan seorang karateka.
“Kok senyum-senyum sendiri, Mas?”
Aku menoleh pada Sri – istriku – yang datang membawa secangkir kopi.
“Iya nih. Aku ingat sama Erik. Sudah lama dia nggak datang.”
“Mungkin lagi sibuk.”
“Mungkin,” kataku sambil memperbaiki posisi duduk. “Padahal waktu terakhir ke sini dulu dia janji mau memperlihatkan profil perusahaannya yang dimuat di majalah, yang katanya banyak bohongnya itu.”
(Aku memang tidak berterus-terang soal Nina)
“Kenapa tidak ditelpon saja?”
(Iya ya, kenapa tidak ditelpon saja? Dengan begitu aku bisa segera tahu apakah kelanjutan kisahnya seperti salah satu dugaanku atau malah ada perkembangan baru. Bukankah itu lebih baik daripada sekedar menebak-nebak?)
Maka segera kuangkat gagang telepon. Kutekan nomor-nomor, dan terdengar suara wanita di ujung sana. Pasti suara Winda, istrinya.
“Mbak Winda ya? Ini Samuel,” aku mengenalkan diri. “Eriknya ada, Mbak?”
“Mas Erik belum pulang tuh.”
“Belum pulang?” tanpa sadar aku melirik jam dinding. “Sudah setengah sembilan belum pulang?”
“Iya. Lho, Mas Samuel apa belum tahu?”
“Tahu apa, Mbak?”
“Sudah hampir sebulan ini Mas Erik suka pulang telat. Dua hari sekali dari kantor langsung ke stadion. Latihan karate.”
“Karate?”
“Iya,” terdengar Winda tertawa pelan. “Mas Erik itu memang suka aneh-aneh. Tiba-tiba kok ikut perkumpulan karate. Untuk menjaga stamina tubuh katanya. Jadi Mbak ya setuju saja.”
Karate?
Astaga, nampaknya kisah mereka bakal bertambah seru!


Dimuat di Tabloid Nova sekitar tahun 2000-an, 
nomor dan tanggal lupa dicatat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar