Dumptruck berlalu ditandai satu kali bunyi klakson dan diikuti debu yang beterbangan mengikuti putaran roda.
“Mustinya hujan turun barang tiga empat jam,” kata Jamal dalam hati. “Cukup agar atap rumah bersih dari debu dan jalanan sedikit dingin.”
Halaman sekolah tampak sepi. Kesepian itu menyatu dengan suasana kampung. Pada saat-saat begini keadaan memang selalu sepi. Laki-laki pergi ke kebun, anak-anak belajar di sekolah, dan ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan makan siang buat keluarga masing-masing.
“Kita langsung ke sana, Pak?”
Jamaludin ragu-ragu. Ia tahu, Pak Guru dan anak-anak pasti sudah mengetahui kedatangannya. Tidak mungkin tidak, karena suara kendaraan adalah suara yang langka di situ. Mereka pasti juga sudah melongok – terang-terangan atau mengintip – lewat celah-celah papan.
“Jam berapa sekarang?”
Yusnar melihat jam tangannya. “Setengah sebelas.”
“Kalau begitu kita tunggu saja.”
Jamal mendahului berjalan menuju batang kayu besar di bawah pohon durian. Satu setengah jam bukanlah waktu yang sangat lama bagi Jamal. Ia sudah hampir empat tahun bekerja, dan selama itu sudah terlalu sering menunggu. Tadi pagi pun ia harus menunggu lebih dari satu jam untuk mendapatkan kendaraan. Bahkan kalau dihitung-hitung, sebetulnya ia sudah menunggu tiga hari karena rencana menemui Pak Guru sudah ada sejak empat hari sebelumnya.
Menunggu, itulah pekerjaan paling sering bagi Jamal.
Menunggu, itulah yang membuatnya bertahan sampai saat ini. Ia bahkan harus menunggu selama dua tahun sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Kepala Bagian Bina Desa tanpa fasilitas apa-apa. Jangankan fasilitas, perhatian pun hanya sekedarnya.
Jamaludin bekerja sebisanya. Semampunya.
Ia memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk datang ke Aek Geleng – nama kampung yang terdaftar sebagai desa binaan. Meskipun sebelumnya ia sudah pernah ke sana, tapi selalu saja ia merasa mendatangi tempat asing. Apalagi sambutan dari Perwakilan Pemerintah Desa begitu dingin dan pesimis.
“Sudah lama Adik bekerja di ha-pe-ha itu?”
Itulah pertanyaan pertama yang didengar Jamal. Pertanyaan yang menyudutkannya. Bukan karena panggilan adik yang terdengar begitu meremehkan, tapi karena terbukti bahwa apa yang didengarnya selama ini adalah benar.
“Dua tahun, Pak.”
“Dua tahun?” lelaki kurus kecil itu menyeringai. “Saya sudah empat tahun menjadi wakil desa di sini. Sejak sebelum menjadi wakil desa, saya sudah mendengar tentang bina desa. Setelah saya menjadi wakil desa, manajer camp kalian beberapa kali datang ke sini. Katanya desa ini akan dijadikan desa binaan. Akan diberi bantuan. Akan dikasih penyuluhan cara bertani. Tapi mana buktinya?”
Jamaludin merasa risih. Ia ingin menegaskan bahwa ia juga datang atas perintah Camp Manager, tapi niat itu diurungkannya.
“Saya bukan karyawan perusahaan, tapi saya tahu bahwa setiap perusahaan ha-pe-ha, seperti perusahaan Adik juga, harus membina desa di sekitar areal hutannya. Saya tahu bukan hanya karena mendengar, tapi juga membaca. Bina desa itu harus, karena dengan cara begitu perusahaan ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan harusnya memang begitu. Iya kan?”
“Iya, Pak.”
“Menurut Adik, apakah adil pendatang bisa beli parabola, bisa beli tivi, bisa beli rumah di kampung masing-masing, sementara kami masih juga berladang di sini? Apa salahnya perusahaan membantu? Apa salahnya?
Ini, minta kerja saja tidak dikasih. Minta papan untuk memperbaiki mesjid cuma sekali-sekali. Minta bantuan untuk acara-acara desa cuma diberi sekedarnya saja. Limapuluh ribu. Paling tinggi seratus ribu. Satu-satunya milik perusahaan yang bisa kami nikmati cuma jalan. Dulu kalau mau ke kecamatan harus lewat jalan setapak, sekarang bisa numpang truk kalau kebetulan lewat. Cuma itu. Lain tidak.”
“Saya mengerti, Pak.”
“Jadi Adik kemari mau apa?”
“Saya akan meneruskan bina desa, Pak.”
“Untuk apa? Untuk laporan saja?”
Jamaludin mendadak kikuk.
“Saya tahu selama ini perusahaan memakai nama kampung kami untuk laporan bina desa. Saya tahu karena tahun lalu ikut rapat di kabupaten. Rapat tentang peranan perusahaan HPH terhadap masyarakat desa. Saya datang ke camp, menemui manajer, minta ongkos jalan.
Dikasih seratus ribu. Dikasih kertas. Isinya laporan bulanan ha-pe-ha bina desa untuk dinas kehutanan provinsi. Katanya, Pak, ini laporan terakhir kami mengenai bina desa. Tolong dalam rapat nanti apa-apa yang Bapak sampaikan agar disesuaikan dengan laporan ini.
Saya baca isinya. Di situ disebutkan perusahaan telah mengadakan enam kali penyuluhan, pernah memberikan bantuan benih dan bibit, pernah mendirikan sekolah dan madrasah. Mana ada?
Adik lihat ada madrasah di sini? Tidak ada. Sekolah pun, satu-satunya sekolah dasar yang ada, papannya mulai copot-copot. Laporan itu bohong. Semua bohong. Tak pernah ada penyuluhan, tak pernah ada bantuan bibit. Waktu rapat saya bohong sama Pak Bupati. Terpaksa bohong. Apa Adik yang membuat laporan itu?”
“Bukan, Pak. Tapi saya akan memulai lagi bina desa di sini.”
“Cuma untuk pormalitas?”
“Tidak, Pak. Bukan untuk formalitas. Mulai tahun ini pengusaha HPH harus menjalankan bina desa. Wajib. Kalau tidak bisa kena sanksi.”
“Dulu juga harus.”
“Sekarang menterinya tegas, Pak.”
Pak Wakil Desa tertawa.
Jamaludin merasa mendapat kekuatan baru.
Sejak itu Jamal sering datang ke Aek Geleng. Bersama-sama Yusnar – satu-satunya anggota yang dimiliki – beberapa hari sekali mereka datang ke sana. Sejak itu ia akrab dengan Pak Guru yang bangunan sekolahnya bolong-bolong. Sejak itu ia tahu bahwa cerita mengenai guru-guru di daerah terpencil adalah benar.
“Inilah, Pak, sekolah saya,” kata Pak Guru saat menyalami Jamal. “Sudah delapan tahun saya mengajar di sini. Murid saya sekarang dua puluh delapan, dari kelas satu sampai kelas lima. Semua di sini, jadi satu.”
Semua murid yang ada melihat Jamaludin.
Mereka terbagi dalam tiga baris bangku. Wajah mereka hitam, ada yang beringus, dan hanya beberapa yang memakai seragam merah putih. Di depan berdiri tiga papan tulis. Tiap papan dibagi menjadi dua bagian.
Jamal membayangkan betapa repotnya Pak Guru memberi pelajaran kepada lima kelas sekaligus dengan berpindah-pindah papan tulis. Jamal membayangkan betapa repotnya membagi perhatian kepada duapuluh delapan anak sekaligus.
“Mereka juga ikut ujian, Pak?”
“Oya, tentu. Beberapa bulan sekali saya turun ke kabupaten mengurus kurikulum atau mencari bahan ujian kenaikan kelas.”
“Orangtua mereka tidak keberatan?”
“Yaaa, memang ada beberapa yang masih kurang paham perlunya pendidikan, Pak. Misalnya kalau pas musim panen, murid laki-laki yang agak besar biasanya tidak datang. Mereka ikut orangtua mereka menanam atau menderes,” Pak Guru menggambarkan orang yang sedang menderes, mengambil getah karet. “Tapi belakangan ini sudah lumayan, Pak. Kadang-kadang saya meminta ijin langsung kepada orangtua anak-anak itu agar mereka bisa bekerja setelah belajar.”
“Pak Guru punya penghasilan lain?”
Yang ditanya tersipu. “Saya membuka kebun tiga hektar. Sudah saya babat tapi belum tahu mau ditanami apa.”
Sore itu juga Jamaludin menghubungi bagian pembibitan di base camp, menanyakan bibit durian yang disemaikan sebulan sebelumnya. Malamnya ia menyurati tiga temannya, minta dikirimi buku bacaan untuk anak-anak sekolah dasar yang sudah tidak terpakai. Buku bacaan apa saja, untuk membiasakan mereka membaca, tulis Jamal dalam suratnya.
Besoknya ia membongkar gudang peralatan, mencari-cari perkakas regu penanaman yang belum terpakai atau yang sudah usang tapi masih bisa digunakan. Hasilnya beberapa cangkul bekas, parang bekas, garpu bekas, seperempat karung pupuk yang belum sempat dipakai, dan dua kaleng insektisida yang bahkan tidak pernah dipakai sama sekali.
Dua minggu kemudian, dengan dumptruck berisi seribu bibit durian, Jamal dan Yusnar datang lagi ke Aek Geleng. Penduduk yang akan berangkat ke ladang tercengang. Murid-murid tidak sabar ingin melihat dumptruck yang penuh muatan. Pak Guru kemudian mengakhiri pelajaran – kebetulan sudah setengah duabelas – dan menyuruh anak didiknya membongkar muatan.
Jamaludin tersenyum senang. Menyalami Pak Guru yang juga tersenyum senang.
“Wah, maaf, Pak Guru. Rencananya minggu lalu bibitnya mau diantar, tapi itulah, susah cari kendaraan.”
“Waaah, tidak apa-apa, Pak Jamal.”
“Nanti bibit duriannya ditanam saja di kebun Bapak. Kalau jarak tanamnya sepuluh kali sepuluh, tiga hektar berarti tigaratus bibit. Masih banyak sisa. Bagikan saja kepada penduduk yang lain. Suruh mereka tanam di ladang masing-masing. Kalau masih kurang minggu depan saya kirim lagi.”
“Terimakasih, Pak.”
“Kebetulan di camp ada perkakas yang tidak terpakai. Kapan-kapan akan saya kirim ke sini.”
“Terimakasih, Pak. Terimakasih.”
“Rencana saya, Pak Guru nanti jadi contoh untuk yang lainnya. Kalau duriannya sudah tumbuh, nanti kita pasang papan nama di situ. Kita tulis, Kebun Percontohan Durian, Areal Bina Desa HPH PT titik-titik, dan seterusnya....”
“Boleh, Pak. Boleh....”
“Dan, Pak Guru, saya sudah menghubungi teman-teman di Jawa, minta supaya mereka mengirimkan buku-buku bacaan anak-anak yang sudah tidak dipakai. Mudah-mudahan dalam minggu ini buku-bukunya datang. Nanti Pak Guru bisa bagikan untuk murid-murid.”
“Waduh, Pak, terimakasih sekali, Pak. Terimakasih.”
Jamaludin merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Ucapan terimakasih Pak Guru dalam kalimat yang begitu tulus, mengungkapkan rasa bersyukur yang begitu besar maknanya.
Semuanya tampak begitu wajar dan apa adanya.
Matahari pun sangat cerah ketika sore itu Jamal kembali ke base camp. Tak terlintas pikiran apa-apa, bahkan dengan gembira ia mengambil memo yang tergeletak di atas meja. Ah, barangkali kiriman buku-bukunya sudah datang, pikir Jamal. Ternyata bukan. Di situ tertulis, Dicari pak Waluyo. Ingin bicara sore ini juga.
Jamaludin mengambil rokok. Menghisapnya perlahan-lahan.
Dibacanya nama Pak Waluyo beberapa kali. Kalaupun Jamal mendesah, itu karena ia merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Waluyo – Pak Waluyo – mencarinya. Sejak menunjuk Jamal sebagai Kepala Bagian Bina Desa, sejak itu Pak Waluyo seperti berhasil melepaskan diri dari beban yang amat berat. Mungkin ia senang karena tidak perlu lagi datang ke kampung. Mungkin ia senang karena orang kampung tak lagi menanyakan apa-apa yang pernah dijanjikannya.
Dan Jamal selalu saja merasa segan, terutama karena dalam beberapa kali pertemuan, pembicaraan selalu diakhiri dengan perdebatan. Jamal masih ingat sewaktu Pak Waluyo memanggilnya tidak lama setelah menunjuknya mengurusi bina desa. Cara Pak Waluyo berbicara sambil tetap membaca koran semakin menegaskan posisi Jamal selama ini.
“Bina desa bagaimana?”
“Sudah mulai, Pak.”
“Sampai mana?”
“Saya sudah menemui wakil desa. Sudah minta dukungan agar program bina desa bisa berjalan. Kebetulan Pak Guru bersedia menyediakan kebunnya sebagai areal percontohan.”
“Tanam apa?”
“Rencananya durian, Pak.”
Pak Waluyo tertawa tanpa suaranya. Membuka halaman berikutnya.
“Boleh saja kasih durian. Di pembibitan pun tidak banyak gunanya. Makin besar, makin besar, kalau tidak segera ditanam akarnya malah tumbuh kemana-mana. Apa lagi?”
“Wakil desa minta minta agar kita melibatkan penduduk dalam kegiatan perusahaan.”
“Jadi karyawan, begitu?”
“Kurang lebih, Pak.”
“Tidak bisa,” Pak Waluyo melipat korannya. Ganti mengambil rokok. “Tahu kenapa tidak bisa? Dulu kita pernah pakai mereka. Jadi helper chainsaw, jadi harian kantor atau borongan pembibitan. Tapi mereka sombong. Mereka merasa orang sini. Merasa punya kuasa di sini. Sebentar-sebentar mereka minta ijin. Ada famili kawin minta ijin. Ada tetangga sunatan minta ijin. Ada keramaian sedikit minta ijin. Kalau tidak diberi ijin, mereka tetap pulang. Kalau ditegur mereka bilang, dipecat pun tak apa-apa, kampung saya di sini!
Mana bisa begitu!
Kalau mereka mau kerja, silahkan, tapi harus ikuti peraturan perusahaan. Tidak bisa seenaknya. Pernah dengar kasus Muaradunga dulu? Mungkin waktu itu kamu belum di sini, tapi pasti pernah dengar. Empat puluh buruh harian dari Muaradunga minta berhenti hanya karena tidak boleh pulang ke kampung untuk nonton dangdut.
Coba pikir.
Kita butuh hiburan, tapi saatnya bekerja ya harus kerja. Kalau stok cukup, kita kan tenang. Kalau musim hujan mereka bisa istirahat. Bisa nonton dangdut di tivi seharian. Itu sebabnya kita tidak mau lagi pakai orang kampung. Mengerti?”
Setelah itu Jamal tak pernah bertemu lagi dengan Pak Waluyo. Karena itu agak heran juga kalau tiba-tiba ia diminta bertemu. Ada apa? Apakah Pak Waluyo akan mengubah pendiriannya dulu? Atau justru akan memindahkan Jamal ke bagian lain karena dinilai terlalu akrab dengan orang kampung?
Jamal membuang semua bayangan buruk yang muncul.
Dilihatnya Pak Waluyo sedang membaca koran. Kehadirannya membuat mata lelaki itu menoleh sebentar.
“Duduk.”
“Iya, Pak.”
Lalu membaca lagi.
Jamaludin menunggu.
Pak Waluyo melipat korannya. Mengambil sebatang rokok.
“Bina desa bagaimana?”
“Seperti biasa, Pak.”
“Duriannya sudah dikirim?”
“Sudah. Sebagian malah sudah ditanam. Saya juga memberikan alat-alat pertanian yang tidak kita pakai. Rencananya kita akan membuat semacam demplot, semacam kebun percontohan. Saya juga punya ide menyumbangkan buku-buku bacaan sekolah dasar. Memang sampai sekarang belum datang. Mudah-mudahan....”
Jamaludin tidak meneruskan kalimatnya. Dilihatnya Pak Waluyo seperti tidak mendengarkan, malah kemudian membuka map, mengambil selembar surat, dan meletakkannya di depan Jamal.
“Tidak usah dibaca,” katanya datar. “Itu surat dari Cabang Dinas Kehutanan. Bulan depan Pak Bupati akan meninjau pelaksanaan bisa desa di sekitar sini, termasuk perusahaan kita.
Tidak usah dibaca saya bilang.
Saya panggil Jamal ke sini karena saya ingin bina desa tidak lagi di Aek Geleng. Percuma. Tidak ada gunanya.”
“Tapi rencana kita....”
“Saya tahu. Dalam rencana operasional memang disebutkan Aek Geleng. Tapi masalahnya bukan itu. Kalau sampai Pak Bupati meninjau ke sana matilah kita. Mati. Tahu kenapa? Orang dinas pasti ikut, padahal sebelum Aek Geleng kita sudah bikin jalan angkutan dari areal di luar blok tebang.
Mengerti?
Orang dinas pasti akan sekalian memeriksa lokasi penebangan kita. Kalau mereka tahu ada jalan sebelum Aek Geleng, matilah kita. Sebab di situ kita mencuri kayu. Mengerti?”
Jamaludin menahan napasnya.
Pak Waluyo menyalakan lagi rokoknya yang padam.
“Jadi apa rencana Bapak?”
“Begini,” Pak Waluyo tampak bersemangat membuka peta yang diambil dari laci. “Sebelum camp kita ada kampung Aek Balga. Kalau Pak Bupati mau ke sini, beliau pasti lewat Aek Balga dulu. Nah, disitulah kita cegat.
Di situ ada sekolah. Kita cat pagarnya. Kita ganti dindingnya. Kalau perlu kita beri kapur tulis dan papan nama yang baru. Di situ juga ada balai pertemuan yang sudah lama tidak dipakai. Kita perbaiki. Kita bikin bagus. Kita anggap di situ tempat penyuluhan. Sepanjang jalan kita tanami akasia atau sengon.
Pokoknya kita buat Aek Balga sebagai desa binaan kita.
Kalau Pak Bupati datang, kita bawa ke sana. Kalau Pak Bupati puas berarti tidak perlu ke Aek Geleng lagi. Kita aman. Mengerti?
Saya sudah bicarakan ini dengan kepala desanya. Soal rencana operasional nanti saya bicarakan ke kantor pusat. Semuanya bisa diatur. Kalau Jamal butuh kendaraan bilang saja sama saya. Pokoknya semuanya harus beres. Mengerti?”
Jamaludin mengangguk.
Ia mengerti. Sepenuhnya mengerti. Juga bagaimana menjelaskan semuanya kepada Pak Guru. Jamal mengerti, tapi tidak tahu caranya. Tidak tahu bagaimana caranya agar Pak Guru dan murid-muridnya – dan penduduk desa – tidak kecewa.
Mungkin Pak Guru paham kalau kegiatan bina desa ditangguhkan karena alasan-alasan politis. Pak Guru pasti tahu apa artinya politis. Seperti juga Jamal, yang tahu, tetapi tetap tidak mengerti.
Kalau akhirnya Jamal tetap berangkat ke Aek Geleng itu pun sambil terus mencari kalimat yang tepat, selain alasan politis, untuk disampaikan kepada Pak Guru.
“Yusnar.”
“Ya, Pak?”
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah duabelas, Pak.”
Setengah duabelas. Berarti masih ada waktu setengah jam lagi sebelum Pak Guru dan murid-muridnya keluar. Masih setengah jam. Masih lama. Tapi cukup singkat bagi Jamal yang sudah terbiasa menunggu.
Harian Suara Pembaruan – Minggu, 05 Mei 1996
*) Judul diilhami oleh Cerpen Sesudah Bersih Desa karya Satyagraha Hoerip – pen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar