Kamis, 15 April 2010

Balada Penganggur

Perkenalkan, saya seorang penganggur.
Bukan, bukan petani anggur atau pemilik usaha minuman anggur. Tapi pe-ngang-gur-an, yaitu orang yang sehari-harinya menganggur alias tidak mempunyai pekerjaan. Profesi ini sudah saya jalani setidaknya selama setengah tahun terakhir, tepatnya sejak di-PHK dari sebuah perusahaan berskala internasional yang katanya berorientasi ekspor, tapi akhirnya ditutup karena mis-manajemen. Perusahaannya dinyatakan bangkrut tapi direkturnya masih bisa main golf seminggu sekali sambil menunggu mercedes benz-nya dicuci di doorsmeer terdekat.
Barangkali saya memang sial. Baru kerja dua tahun sudah kena PHK. Pesangon dan uang jasa yang saya terima tidak sampai empat juta. Dengan uang sebesar itu saya harus bisa bertahan hidup pas-pasan sampai mendapat pekerjaan lain. Betul-betul pas-pasan karena saya punya istri dan satu anak yang sebentar lagi masuk TK. Jadi memang tidak ada anggaran sama sekali untuk jalan-jalan ke lapangan golf atau sekedar melihat-lihat mercedes benz dicuci di doorsmeer terdekat. Lebih sial lagi karena pemilik tempat pencucian mobil menolak lamaran saya karena anggotanya sudah terlalu banyak.
Sejak itu praktis pekerjaan saya sehari-hari cuma nonton tivi, meneliti iklan lowongan kerja di koran-koran, dan mengantarkan lamaran. Kedua aktifitas pertama lebih banyak menambah stress karena berita tivi didominasi demo-demo karyawan yang kena PHK, dan iklan lowongan kerja di koran delapan puluh persen adalah tawaran menjadi sales atau petugas asuransi.
Beberapa hari sekali saya keluar rumah untuk mengantarkan lamaran. Berangkat pagi-pagi sekali saat suasana perumahan sudah sepi – ketika tetangga kiri kanan sudah meninggalkan rumah sejak subuh hari, anak-anak sudah pergi ke sekolah, dan para ibu-ibu sibuk memasak atau mencuci pakaian.
Menjelang magrib saya baru muncul seperti layaknya karyawan yang disiplin sehingga tidak bisa menghindar dari ibu-ibu yang bergerombol menikmati udara sore sambil menyuapi makan anak-anaknya.
“Baru pulang, Pak?”
“Iya Bu,” jawab saya kikuk.
Kadang saya sengaja pulang selewat magrib, tapi tetap tidak bisa mengelak dari tetangga kiri kanan yang sedang duduk-duduk di halaman rumah sehabis makan malam, yang tanpa rasa bersalah berkata, “Macet di jalan ya Pak?”
Pernah suatu hari saya betul-betul terjebak kemacetan karena aliran listrik putus sehingga gerbong KRL berhenti di tengah-tengah jalan. Karena tidak sanggup naik ojek yang tarifnya mendadak membumbung tinggi, saya jalan kaki sampai perempatan terdekat, berebut angkot hanya untuk duduk berdesak-desakan sebelum akhirnya tiba di gerbang perumahan menjelang pukul sepuluh.
Tetangga kiri kanan sudah menyimpan mobilnya dalam garasi masing-masing. Mereka duduk-duduk di teras sambil merokok atau membaca koran. Saya mencoba tidak mengusik ketenangan mereka dengan berjalan di bawah rimbunan pohon peneduh, tapi ada juga yang memergoki.
“Waaah, baru pulang. Banyak lemburan, Pak?”
Tidak ada yang percaya bahwa saya pengangguran. Barangkali karena irama kehidupan saya yang tidak banyak berubah. Berangkat pagi hari dan kembali di sore hari. Mereka memang tidak tahu apakah saya seharian mengantarkan lamaran, atau ketemu teman-teman untuk menanyakan kalau-kalau ada info lowongan kerja, atau menghabiskan waktu dengan membaca berjam-jam di toko buku dekat terminal, atau duduk-duduk di peron stasiun menghindari terik siang hari.
Repotnya saya sendiri juga berusaha tidak berterus terang kalau sudah kena PHK. Ada semacam rasa minder kalau tetangga tahu saya kini menganggur. Status sebagai pengangguran kurang mendapat tempat di antara pembicaraan warga. Ada kesan mereka terganggu, belum apa-apa sudah berprasangka. Kalau kita datang bertamu, misalnya, belum apa-apa sudah ada kekuatiran maksud kita hanya untuk minta tolong dicarikan pekerjaan atau pinjam uang.
Lagipula saya optimis dalam waktu dekat sudah mendapat pekerjaan baru. Atau setidak-tidaknya punya usaha baru. Kalau kita mau berusaha, mau menggerakkan tangan dan kaki, masak sih tidak ada hasil yang diperoleh?
Kalau ada tetangga yang memergoki saya sedang menonton tivi atau membaca koran, secara diplomatis saya berkata, “Oh, saya pengamat politik.”
“Pengamat politik?”
(Iya, jawab saya dalam hati. Apa namanya orang yang kerjanya cuma melihat tivi dan membaca koran untuk mengetahui perkembangan terbaru kalau bukan pengamat politik?)
“Di mana, Pak?”
“Saya freelance. Tidak terikat. Bisa saja nanti diminta metrotivi atau liputan enam.”
“Semacam dialog interaktif itu ya Pak?”
“Ya.”
“Kapan, Pak?”
“Belum tahu. Masih menunggu konfirmasi.”
“Nanti kalau mau muncul di tivi, kasih tahu ya Pak?”
Tentu saja konfirmasi itu tidak pernah ada. Tapi cukuplah untuk meredam rasa ingin tahu warga kalau melihat saya seharian di rumah saja. Sebab sampai bulan keenam saya masih belum mendapat pekerjaan baru. Lowongan di koran memang menjanjikan, tapi tidak memberi kepastian. Lamaran yang diantar memang mendapat tanggapan tapi hanya ajakan untuk ikut multi level marketing, disuruh membayar sejumlah uang kemudian mencari anggota baru.
“Ini bukan pekerjaan,” kata saya selalu. “Ini permainan. Semacam arisan berantai.”
“Memang. Tapi memberi penghasilan.”
“Hasil dari menjebak orang lain?”
“Di Jakarta ini kalau kita tidak membohongi orang lain, kita yang dibohongi orang lain.”
Atau ditawari menjadi marketing executive, distributor produk, manager pemasaran, dan entah istilah apa lagi yang artinya tidak lebih dari salesman belaka. Untuk itu pun harus punya kendaraan sendiri, bensin sendiri, dan dana kesehatan sendiri.
“Kalau punya motor, lebih baik jadi tukang ojek.”
Tentu saja sulit bagi saya untuk membeli motor karena dananya tidak ada. Kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa ditunda mengakibatkan saldo tabungan semakin berkurang. Acara keluar rumah pun dibatasi jadi dua kali seminggu setiap senin dan kamis – persis seperti orang puasa.
Kegiatan mengirim lamaran juga diatur seefisien mungkin. Semakin lama semakin disadari betapa acara mengirim lamaran menyita biaya yang cukup besar. Untuk kertas, amplop, fotokopi, makan siang, dan biaya kilat khusus atau ongkos bis menghabiskan sekitar lima belas ribu rupiah. Enam bulan lalu lima belas ribu belum berarti apa-apa, tapi kini disadari jumlah itu cukup untuk belanja satu hari!
Kesadaran memang selalu terlambat.
Itu juga yang terjadi saat tanpa sengaja bertemu teman lama di tengah Kota Jakarta yang panas, bising, sibuk, dan selalu berdebu. Wajahnya saya kenali di satu warung kecil namun lengkap, tersembul di antara tumpukan air mineral, rokok, toples permen, koran, gantungan makanan ringan, bahkan layangan!
“Hei, Marwan! Kamukah itu?”
Saya mencoba mengingat-ingat.
“Juned, saya Juned, tetangga waktu di Bogor dulu, ingat?”
“Juned?” saya menajamkan memori. “Junaedi?”
Juned tertawa sambil mengulurkan tangan. Kami bersalaman. “Apakabar? Mau kemana ini? Berangkat atau pulang kerja?”
Saya tersenyum kecut.
Seorang pemuda tanggung menyerobot pembicaraan dengan menyerahkan beberapa lembar koran, memberikan beberapa lembar uang kertas, dan meminta beberapa lembar koran yang lain.
“Minta tabloid yang itu, Uda. Tadi ada yang cari.”
Juned mengambilkan. Bahkan menambahi dengan beberapa tabloid lain. “Ini bawa sekalian, manatahu nanti ada yang mau.”
Pemuda tanggung itu melesat sama cepat dengan kedatangannya. Saya mengambil air mineral gelas sambil menunggu Juned menghitung uang yang tadi diberikan si pemuda. Agak lama baru keluar kalimat saya, “Sebetulnya saya lagi tidak ada kerja, Jun.”
“Lho, kudengar sudah jadi pengawas produksi.”
“Ya, tapi kena PHK.”
Juned mengangguk-angguk. Dan pembicaraan terhenti karena seorang bocah datang meminta tambahan air mineral dan permen. Seperti tadi, Juned menerima sejumlah recehan, memberikan apa yang diminta, dan menghitung recehan yang diterima.
“Jadi apa kegiatanmu sekarang?”
“Ya, beginilah, cari-cari pekerjaan baru.”
“Kamu punya modal?”
“Modal uang saya tak punya. Pesangon sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari.”
Juned keluar dari warung. Mengajak duduk di samping tumpukan krat minuman.
“Marwan, coba dengarkan. Aku tidak pernah kerja di kantor atau perusahaan, jadi aku tidak bisa membantumu mencarikan kerja semacam itu. Tapi kalau kamu punya modal, dua atau tiga juta saja minimal, kamu sudah bisa membuat warung seperti ini. Tinggal cari lokasi, aku yang bantu barang-barangnya.”
Saya mengambil rokok yang ditawarkan.
Seorang bapak-bapak tua datang meminta beberapa merek rokok sambil menyerahkan banyak keping recehan. Ia mengambil sendiri bungkus rokok yang diperlukan sambil memperlihatkan pada Juned, kemudian bergegas pergi lagi.
“Kamu lihat orang-orang yang tadi ke sini?”
“Mereka anggotamu?”
“Sebetulnya bukan. Mereka pedagang asongan di lampu merah sana. Mereka mengambil apa yang mau dijual, kemudian membayarkan hasilnya, mengambil lagi, mengasongkan lagi. Begitu terus.”
“Tanpa jaminan?”
“Kita modalnya percaya saja.”
“Kalau mereka lari?”
Juned tersenyum sambil mengambil gelas air mineral untuk dirinya sendiri. “Orang yang curang tidak akan bisa kemana-mana. Tapi bukan itu yang sebetulnya ingin aku ceritakan.”
“Lalu apa?”
“Aku dulu juga seperti mereka. Memulai dari asongan semacam itu. Mengumpulkan rupiah demi rupiah bertahun-tahun, sampai akhirnya bisa membangun warung ini.”
Kami masih berbincang lama di tengah udara siang yang semakin panas. Juned masih melayani pedagang asongan yang datang silih berganti ketika akhirnya saya pamitan. Juned menolak air mineralnya dibayar.
“Aku di sini setiap hari. Datanglah kapan kamu mau. Tanyakan saja nama Uda Juned, semua pasti kenal.”
Itulah awal dari suatu kesadaran yang memang selalu terlambat. Seminggu sesudahnya saya jadi sering ke tempat Juned. Pergi pagi-pagi sekali, pulang malam-malam sekali. Tetangga kiri-kanan semakin jarang ketemu, kecuali pada suatu malam ketika beberapa warga berkumpul di halaman rumah Pak Wilsen. Sedang ramai-ramai memanggang ayam.
“Wah, siapa yang ulang tahun ini?”
“Eeeh, Pak Marwan, mari gabung, Pak!” Pak Wilsen sendiri yang menyambut. “Tidak ada yang ulang tahun, cuma ada yang nyumbang ayam nih. Lagi musim flu burung. Daripada satu kandang mati semua ya lebih baik dipanggang saja.”
“Duduk, Pak,” Bu Wilsen menyodorkan kursi plastik. “Stok ayamnya banyak kok.”
Saya yang sedang lapar tentu saja tidak bisa menolak. Bu Wilsen muncul lagi membawa segelas air dingin.
“Malam terus pulangnya Pak Marwan ini. Lagi banyak lemburan?”
“Tidak juga, Bu. Kebetulan lagi banyak kerjaan.”
Tetangga yang lain ikut nimbrung sambil menyajikan ayam hasil panggangannya di atas meja.
“Kapan dialog interaktifnya, Pak?”
“Nanti. Pasti. Ini kebetulan sedang menyiapkan reportase pesanan dari Badan Narkotika Nasional. Saya malah dapat tugas jadi intel.”
“Intel?”
“Iya. Saya disuruh menyelidiki peredaran narkoba di kalangan pedagang asongan. Disuruh menyamar jadi tukang koran, kadang-kadang jadi tukang rokok. Kadang di perempatan Kuningan, kadang di bawah jalan layang Mampang.”
Pak Wilsen dan lain-lainnya saling berpandangan.
“Jadi jangan kaget kalau besok-besok lihat saya lagi ngasong-ngasongkan tisu atau aqua di sana. Bersikap biasa-biasa saja seolah kita tidak saling kenal. Nanti kalau penyamaran saya terbongkar kan jadi repot. Ya Pak ya?”
Semuanya mengangguk hampir bersamaan.



Sudah mendapat konfirmasi akan dimuat di Warta Kota Minggu,
tapi tidak jadi dimuat karena rubrik cerpen entah kenapa ditiadakan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar