Kamis, 15 April 2010

Meja Pingpong



Jalan di tempatku tinggal tidaklah terlalu besar, tidak terlalu ramai, dan bukan jalan utama. Tidak banyak yang melewati jalan itu, kecuali mereka yang punya urusan dengan sebuah kantor pensiunan militer. Agaknya – ini kusimpulkan sendiri – jalan itu khusus dibuat karena adanya kantor tadi.
Sekarang saya sudah tidak tinggal di sana lagi. Sekarang saya hapal hampir semua jalan di Kota Bandung – yang petanya tergantung di dinding kamar. Tapi tiga tahun yang lalu, jalan itu adalah satu-satunya pedoman yang bisa dipegang. Itu pun cuma lewat secarik kertas.
“Bawa alamat ini,” kata Bapak. – setelah sebelumnya mendapat alamat itu dari salah seorang temannya yang pernah tinggal di Bandung. “Temukan. Katakan kamu butuh kamar. Jangan lupa menyebut nama Pak Iding. Supaya dapat kamar yang baik.”
Dengan tas besar berisi pakaian, saya terhuyung-huyung turun di Terminal Cicaheum. Bertanya kepada lebih dari empat orang, lebih dari empat kali memasuki jalan yang salah, sebelum akhirnya menemukan tempat yang dicari.
Seperti barak tentara, gumam saya.
Selokannya dipenuhi sampah plastik.
Kepada Ibu-Ibu tua yang membuka pintu, sekali lagi saya musti bercerita dari awal. Bahwa saya diterima kuliah di sebuah akademi swasta di Bandung. Bahwa saya tidak punya famili, tidak punya teman-saudara-kenalan di kota ini, butuh kamar kontrakan, dan memperoleh alamat dari teman Bapak yang bernama Pak Iding.
“Iding siapa?”
“Saya tidak kenal.”
Ibu tua itu saling berpandangan dengan lelaki muda yang muncul kemudian. Berbisik-bisik dalam bahasa Sunda.
“Kami juga tidak kenal.”
“Katanya Pak Iding dulu pernah tinggal di sini sebelum pindah ke Jakarta.”
Berbisik-bisik lagi.
“Kami tidak ingat lagi. Terlalu banyak nama Iding, Ujang, Adang, Asep, Cecep, atau sebangsa dengan itu, yang pernah tinggal di sini. Dan hampir semuanya kemudian pindah ke Jakarta. Kerja, jadi tentara, kuli bangunan, jualan bakso....
Kalau Adik mau tinggal di sini, bisa.
Ada kamar kosong di paviliun. Kunci sendiri. Paling depan dan jendelanya menghadap ke jalan. Tinggal pasang triplek, supaya pisah dari ruang tengah. Bisa dipasang sekarang kalau Adik membayar kontan.”
Kubayar saat itu juga.
Meskipun kenyataannya malam itu masih harus tidur di ruang tengah. Tripleknya baru akan dipasang besok.
Besoknya yang saya lihat di halaman depan bukan cuma triplek dan gergaji, tapi juga papan, kayu, ketam, bangku panjang tenpat menyerut papan, kotak paku, kaleng cat, dan serpihan kayu bertebaran di mana-mana.
Triplek sudah dipasang, sudah dipaku rapi, sementara kesibukan di halaman masih berjalan.
“Bikin apa lagi?”
“Meja pingpong.”
“O....”
Sudah cuma itu.
Tak ada komunikasi lain. Seolah-olah komunikasi hanyalah basa-basi yang tidak perlu. Padahal saya tahu lelaki yang sedang mengukur-ngukur papan itu adalah anak pemilik rumah. Tapi tidak ada keinginan untuk menanyakan namanya, pekerjaannya, anak atau istrinya – kalau memang sudah berkeluarga.
Saya yakin dia pun tahu saya adalah orang yang kemarin datang menanyakan kamar, yang membayar kontan, dan sebentar lagi akan menjadi orang yang sering ketemu. Tapi dia tetap saja tenggelam dalam kesibukannya. Tetap mengukur-ukur. Tidak ingin bertanya siapa nama saya, kuliah di mana, atau sekedar menawarkan rokok.
Mengangkat wajah pun tidak.
“Untuk di mana?”
“Di sini.”
“Dipakai sendiri?”
“Ya. Sama anak-anak. Daripada nganggur.”
Saya mencoba merangkaikan sendiri. Yang dikatakan anak-anak tentu bukan anak kecil sebagaimana biasanya. Paling tidak seumur dengannya, dan itu berarti antara tujuh belas sampai tiga puluh tahun. Karena biasanya pengangguran kenal dengan yang masih sekolah juga yang sudah bekerja. Lagipula kalau ada permainan – apapun wujudnya – selalu melibatkan mereka yang lebih muda dan yang lebih tua umurnya.
“Kreatif juga.”
Cuma itu komentar saya. Tidak menyadari bahwa meja pingpong itulah awal dari bencana. Awal dari trauma yang sampai bertahun-tahun kemudian susah dihilangkan.


Betul-betul awal dari suatu bencana!
Sejak meja pingpong itu jadi, suasana di depan rumah jadi penuh manusia. Yang tadinya sepi jadi hingar-bingar. Sejak itu pula saya terbiasa mendengar tepuk tangan, tawa, gitar yang dipetik sembrono, dan tak-tok-tak-tok semalaman penuh.
Sejak itu pula semua jadwal berubah.
Tidak mungkin belajar sore karena selepas magrib orang-orang mulai berdatangan. Tidak mungkin pulang malam karena jalan dipenuhi tubuh-tubuh bercelana pendek atau bertraining. Risih jika harus menyelusup meminta jalan. Tidak mungkin tersenyum dengan kekesalan bertengger dalam dada. Lebih tidak mungkin lagi menyapa atau bertanya karena tidak ada yang punya waktu menjawab.
Tak-tok, tak-tok, tak-tok.
Cuma itu yang terdengar dan didengar.
“Kapan peresmiannya, Kang?” itu juga terdengar malam itu.
Entah siapa atau yang mana yang mengatakannya.
“Malam minggu besok.”
Juga entah siapa yang menjawab.
Besoknya anak pemilik rumah – entah siapa namanya tidak pernah kutanyakan, apalagi sejak meja pingpong buatannya jadi – mengetuk pintu kamar.
“Ada apa, Kang?”
“Besok Adik bisa datang?”
“Ke mana?”
“Cuma menghadiri peresmian meja pingpong. Tempatnya ya di depan situ, di tempat seperti biasa. Pak RT sendiri yang meresmikan. Malam minggu nanti. Jangan lupa ya, Dik.”
Saya mengangguk.
Tapi sabtu sore selepas ashar saya sudah pergi. Tidak punya tujuan pasti. Pokoknya pergi begitu saja. Pergi menjauhi rumah yang kupikir bakal jadi neraka malam itu. Satu-satunya yang ada dalam pikiranku hanyalah pergi sejauh dan selama mungkin. Meskipun akhirnya cuma ke Alun-Alun Bandung. Melintasi taman, masuk bioskop – entah bioskop mana dan judul filmnya apa – nonton yang diputar pukul setengah lima sore.
Keluar ketika langit sudah gelap. Lalu cari makanan di taman. Tidak lama, karena kemudian pelacur bermunculan. Masuk Parahiyangan Plaza, melewati lantai demi lantai tanpa membeli apa-apa. Berdiri lama di depan toko kaset yang menyetel lagu-lagu bagus – yang segera saya tinggalkan setelah diganti lagu daerah. Pindah ke Palaguna Plaza. Menghabiskan waktu di sana dengan cara yang sama. Pindah lagi ke bursa buku di Jalan Cikapundung. Nonton lagi pertunjukan yang dimulai setengah sepuluh. Entah bioskop mana, entah film apa.
Duduk lama di tukang bubur, sampai setengah dua.
Sampai kemudian memutuskan pulang dan menemukan sisa-sisa keramaian di halaman rumah. Meja pingpong itu sudah dilipat dan disandarkan di dinding kamar. Tak ada suara-suara. Dan untuk pertama kalinya saya merasa begitu tenteram.
Paling tidak malam ini, saya membatin.
Karena – benar – keesokan paginya diramaian dimulai lagi. Suara tawa memecah udara. Dan tak-tok tak-tok kembali menggema. Mengalahkan ketukan di pintu kamar.
Ibu pemilik rumah muncul dengan piring di tangan.
“Ini, Dik, sisa suguhan tadi malam. Adik tidak ada, jadi Ibu simpankan lebih dulu. Silahkan, Dik....”


Sejak itu radio sering kesetel kencang untuk mengimbangi suara bising di luar kamar. Sejak itu saya membiasakan diri pergi tiap malam. Pergi sore-sore sekali, dan pulang malam-malam sekali. Kalau malam minggu pulangnya bahkan bisa pagi-pagi sekali.
Kecuali sejak hujan mulai sering turun.
Karena kalau ada hujan, bisa dipastikan meja pingpong tidak dipasang. Pertandingan tidak ada. Keramaian pun sirna. Sejak itu pula saya selalu berdoa agar hujan turun tiap sore.
Tidak selalu dikabulkan.
Tapi lumayan. Karena sejak saat itu saya mendapat teman senasib. Mengenal Mas Bakso yang juga – katanya – selalu berdoa agar hujan turun tiap hari.
“Kalau hujan berarti bakso saya laris.”
Pikirannya sederhana. Seperti juga pakaiannya yang cuma baju abri, celana abri, sepatu bot, dan pet murah. Ditambah dengan payung yang selau terbuka – disangkutkan pada atap gerobak.
Payung itu hampir tak pernah dipakainya sendiri. Karena tujuannya membawa memang untuk mengantarkan bakso kepada pemesannya. Untuk melindungi mangkuk dari cipratan air hujan.
“Baksonya tambah lagi, Pak Insinyur?”
Ia selalu memanggil saya dengan sebutan Pak Insinyur, hanya karena tahu di Bandung ini saya kuliah. Ia pernah menanyakan, “Kuliahnya di Unpad?” Saya jawab bukan. “O, di ITB?” Waktu saya jawab bukan, ia tidak berani menebak-nebak lagi. Agaknya ia cuma tahu kalau kuliah di Bandung, kalau buka Unpad, ya ITB.
“Saya di Akademi Kehutanan.”
Keningnya berkerut dua kali lipat. Mungkin merasa asing karena belum pernah mendengar sebelumnya. Mungkin juga tidak percaya ada kampus lain selain Unpad dan ITB.
“Lulusnya jadi dokter ya?”
“Bukan.”
“O, berarti insinyur.”
Saya tertawa. Tidak menjelaskan mengenai program akademi yang cuma diploma tiga. Karena saya pikir menjelaskan pun percuma. Agaknya dalam bayangan Mas Bakso, kalau lulus kuliah itu ya dokter. Kalau bukan dokter, ya insinyur. Itu saja.
“Pak insinyur baru ya di sini?”
“Ya. Belum ada tiga bulan.”
“Pantes. Dulu di sini kosong. Nggak ada yang ngontrak. Lho, dulu ini memang bukan kamar kok. Ruang tamu. Iya ruang tamu. Soalnya saya pernah mengantar pesanan bakso ke sini. Iya, persis ruangan ini,” matanya melihat berkeliling. “Dulu ada meja di situ. Ada kursi dan pot bunga.” Tangannya menunjuk-nunjuk. “Wah, hebat. Sekarang jadi kamar. Bayarnya setahun berapa, Pak Insinyur?”
Saya menyebutkan sejumlah nilai.
Mas Bakso menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya ber cek-cek-cek-cek.
“Wah, kuliah itu mahal ya, Pak. Untung anak saya tidak pingin kuliah. Lulus SMP terus jadi buruh di pabrik konpeksi.”
“Jualan bakso sudah lama ya, Mas?”
“Lho, saya datang ke Bandung ini ya untuk jualan bakso. Menggantikan bapak saya yang sudah lebih dulu jualan bakso di sini. Jadi saya cuma nyusul. Meneruskan usaha. Setelah itu bapak saya balik lagi ke Jatipurno. Macul lagi. Tani lagi.”
Dalam hati saya tersenyum. Ingat karena belakangan ini pun saya selalu berdoa agar hujan turun tiap sore. Karena kalau hujan berarti tidak ada latihan pingpong. Tak ada keramaian. Tak ada gelak tawa dan dentingan gitar.
“Saya juga senang kalau hujan terus.”
“Bagaimana, Pak?”
“Saya juga suka berdoa supaya hujan terus.”
“Lho, memangnya Pak Insinyur jualan bakso di mana?”


Toh akhirnya Mas Bakso tahu saya terganggu.
Bukan dari orang lain, melainkan dari saya sendiri – sewaktu tanpa sengaja memergoki saya duduk mencakung di jembatan beton. Saat itu udara cerah. Sehabis makan malam – karena bisa ditebak ada latihan pingpong di halaman – saya jadi malas pulang. Memilih duduk di jembatan tanpa maksud apa-apa.
Ketika itulah Mas Bakso lewat.
Masih memakai topi dan sepatu bot, tapi tidak membawa payung – tentu saja, karena tidak hujan. Tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan gerobak. Dan semakin menjadi lebih bergoyang lagi setelah menangkap kehadiranku.
“Lho, Pak Insinyur sedang apa di sini?”
Saya cuma tersenyum.
“Tidak belajar, Pak?”
“Tidak, Mas. Tidak belajar karena tidak bisa. Di rumah ada latihan pingpong. Ramai. Ribut. Apa bisa belajar kalau banyak orang begitu?”
“Iya ya.”
Kalimatnya bernada membenarkan. Seolah-olah ia ikut terganggu dengan latihan pingpong. Padahal kalau dipikir-pikir tidak ada hubungannya. Meskipun ada latihan pingpong, Mas Bakso tetap saja bisa berjualan. Hanya saja tidak bisa leluasa melewati kerumunan di pinggir jalan. Terpaksa berputar, dan pembeli di tempat lain selalu ada.
Gerobak itu bergoyang lagi.
Mungkin Mas Bakso akan lebih meng-iya juga ya, kalau tahu besoknya tambah ribut lagi. Sekarang yang ada bukan cuma latihan pingpong, tapi juga permainan karambol. Yang terakhir malah dilakukan siang hari!
Lengkaplah sudah.
Malam pingpong, siang karambol. Tak ada waktu tersisa untuk ketenangan. Lebih-lebih setelah dua lampu berkekuatan seratus watt menjadi penerang. Aliran listriknya dicuri dari kantor pensiunan militer. Caranya dengan mencantolkan kabel panjang ke lampu di belakang kantor. Tidak ketahuan karena kabelnya terbaring di tanah. Mencantolkannya pun setelah magrib.
Malam ribut. Siang sama saja ributnya.
Saya makin tidak betah.
Apalagi mengharapkan hujan sudah tidak mungkin lagi. Kemarau sudah berkuasa. Musim hujan cuma diberi kesempatan dua bulan. Sisanya angin kencang sekali-sekali. Tapi itu tidak mengganggu permainan karambol. Tidak mengurangi hingar bingar.
Inilah satu-satunya tempat di dunia di mana ketenangan tidak pernah terjadi, kataku dalam hati.
Keinginan untuk pindah pun makin mendesak. Diam-diam saya mulai mencari kamar kontrakan yang lain. Yang lebih dekat ke kampus. Yang tidak berhalaman luas. Tidak dekat kantor pemerintah. Dan berada di jalan buntu.
Padahal kalau pindah berarti rugi, karena sudah membayar kontrakan untuk satu tahun.
Lebih baik rugi lima bulan, daripada menderita tekanan batin.
Lebih baik mencari kamar kontrakan yang lain.
Dan ketemu.
Bulan berikutnya dipastikan pindah. Barang-barang yang ringan sudah dibawa satu persatu sambil kuliah. Kertas-kertas dirapikan. Buku dan surat-surat disatukan. Pakaian yang jarang dipakai disusun dalam lapisan paling bawah. Sisanya – termasuk majalah dan koran bekas – ditinggal.
Aneh juga bahwa malam itu turun hujan.
Saya berdiri di pintu. Menunggu Mas Bakso untuk mengabarkan kepindahan saya ke tempat yang baru. Derit gerobaknya saya hapal persis. Begitu pula langkah kakinya dalam sepatu bot.
Wajahnya riang. Mungkin karena hujan yang turun ikut menurunkan rejeki untuknya. Pasti baksonya laris, banyak yang memesan, dan pasti masih menyisakan untuk saya.
“Selamat malam, Pak Insinyur!”
Sudah saya rencanakan memborong sisa baksonya karena sisa uang yang ada – setelah dipakai membayar kamar kontrakan yang baru – masih cukup banyak. Tapi belum apa-apa, Mas Bakso sudah mengajak bersalaman – kebiasaan yang tidak pernah ada selama ini.
“Beres, Pak Insnyur. Semuanya sudah beres.
Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Tadi siang saya sudah lapor sama orang kantor pensiunan. Saya kasih tahu bahwa listriknya dicantol. Dua ratus watt. Kalau enggak buru-buru ditindak, bisa rugi mereka. Katanya besok mereka akan lapor PLN.
Terus saya ke rumah Pak Erte. Saya bilang terus terang bahwa latihan pingpong mengganggu lingkungan. Tetangga kiri kanan tidak bisa tidur nyenyak. Pelajar tidak bisa konsentrasi. Latihannya ndak pakai waktu. Seenaknya saja. Katanya Pak Erte akan mengecek sendiri. Kalau betul begitu, latihan akan dipindahkan ke tempat lain. Kalau perlu ke lapangan voli. Pak Insinyur tahu lapangan voli di mana? Dekat kali di belakang pabrik tenun! Jadi Pak Insinyur tenang saja. Tapi, sekali lagi, jangan bilang siapa-siapa. Nanti kalau ketahuan saya yang melaporkan, gawat. Ya, Pak Insinyur?”
Saya mengangguk pelan. Dan mendadak merasa terharu.


Harian PIKIRAN RAKYAT – Minggu,  16 Juli 1989



Sesudah Bina Desa *)

Hari masih pagi saat Jamaludin menutup pintu dumptruck. Debu yang beterbangan menjadi tanda bahwa kemarau masih akan bertahan lama. Jamal melambaikan tangan kepada Pak Regar sebagai isyarat bahwa truk sudah boleh bergerak lagi. Tadi mereka memang sudah sepakat. Jamal akan turun di depan SD, sementara Pak Regar meneruskan tugasnya mengantar minyak ke kilometer sepuluh. Pulangnya nanti – biasanya selepas makan siang – Jamal dijemput lagi.
Dumptruck berlalu ditandai satu kali bunyi klakson dan diikuti debu yang beterbangan mengikuti putaran roda.
“Mustinya hujan turun barang tiga empat jam,” kata Jamal dalam hati. “Cukup agar atap rumah bersih dari debu dan jalanan sedikit dingin.”
Halaman sekolah tampak sepi. Kesepian itu menyatu dengan suasana kampung. Pada saat-saat begini keadaan memang selalu sepi. Laki-laki pergi ke kebun, anak-anak belajar di sekolah, dan ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan makan siang buat keluarga masing-masing.
“Kita langsung ke sana, Pak?”
Jamaludin ragu-ragu. Ia tahu, Pak Guru dan anak-anak pasti sudah mengetahui kedatangannya. Tidak mungkin tidak, karena suara kendaraan adalah suara yang langka di situ. Mereka pasti juga sudah melongok – terang-terangan atau mengintip – lewat celah-celah papan.
“Jam berapa sekarang?”
Yusnar melihat jam tangannya. “Setengah sebelas.”
“Kalau begitu kita tunggu saja.”
Jamal mendahului berjalan menuju batang kayu besar di bawah pohon durian. Satu setengah jam bukanlah waktu yang sangat lama bagi Jamal. Ia sudah hampir empat tahun bekerja, dan selama itu sudah terlalu sering menunggu. Tadi pagi pun ia harus menunggu lebih dari satu jam untuk mendapatkan kendaraan. Bahkan kalau dihitung-hitung, sebetulnya ia sudah menunggu tiga hari karena rencana menemui Pak Guru sudah ada sejak empat hari sebelumnya.
Menunggu, itulah pekerjaan paling sering bagi Jamal.
Menunggu, itulah yang membuatnya bertahan sampai saat ini. Ia bahkan harus menunggu selama dua tahun sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Kepala Bagian Bina Desa tanpa fasilitas apa-apa. Jangankan fasilitas, perhatian pun hanya sekedarnya.
Jamaludin bekerja sebisanya. Semampunya.
Ia memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk datang ke Aek Geleng – nama kampung yang terdaftar sebagai desa binaan. Meskipun sebelumnya ia sudah pernah ke sana, tapi selalu saja ia merasa mendatangi tempat asing. Apalagi sambutan dari Perwakilan Pemerintah Desa begitu dingin dan pesimis.
“Sudah lama Adik bekerja di ha-pe-ha itu?”
Itulah pertanyaan pertama yang didengar Jamal. Pertanyaan yang menyudutkannya. Bukan karena panggilan adik yang terdengar begitu meremehkan, tapi karena terbukti bahwa apa yang didengarnya selama ini adalah benar.
“Dua tahun, Pak.”
“Dua tahun?” lelaki kurus kecil itu menyeringai. “Saya sudah empat tahun menjadi wakil desa di sini. Sejak sebelum menjadi wakil desa, saya sudah mendengar tentang bina desa. Setelah saya menjadi wakil desa, manajer camp kalian beberapa kali datang ke sini. Katanya desa ini akan dijadikan desa binaan. Akan diberi bantuan. Akan dikasih penyuluhan cara bertani. Tapi mana buktinya?”
Jamaludin merasa risih. Ia ingin menegaskan bahwa ia juga datang atas perintah Camp Manager, tapi niat itu diurungkannya.
“Saya bukan karyawan perusahaan, tapi saya tahu bahwa setiap perusahaan ha-pe-ha, seperti perusahaan Adik juga, harus membina desa di sekitar areal hutannya. Saya tahu bukan hanya karena mendengar, tapi juga membaca. Bina desa itu harus, karena dengan cara begitu perusahaan ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan harusnya memang begitu. Iya kan?”
“Iya, Pak.”
“Menurut Adik, apakah adil pendatang bisa beli parabola, bisa beli tivi, bisa beli rumah di kampung masing-masing, sementara kami masih juga berladang di sini? Apa salahnya perusahaan membantu? Apa salahnya?
Ini, minta kerja saja tidak dikasih. Minta papan untuk memperbaiki mesjid cuma sekali-sekali. Minta bantuan untuk acara-acara desa cuma diberi sekedarnya saja. Limapuluh ribu. Paling tinggi seratus ribu. Satu-satunya milik perusahaan yang bisa kami nikmati cuma jalan. Dulu kalau mau ke kecamatan harus lewat jalan setapak, sekarang bisa numpang truk kalau kebetulan lewat. Cuma itu. Lain tidak.”
“Saya mengerti, Pak.”
“Jadi Adik kemari mau apa?”
“Saya akan meneruskan bina desa, Pak.”
“Untuk apa? Untuk laporan saja?”
Jamaludin mendadak kikuk.
“Saya tahu selama ini perusahaan memakai nama kampung kami untuk laporan bina desa. Saya tahu karena tahun lalu ikut rapat di kabupaten. Rapat tentang peranan perusahaan HPH terhadap masyarakat desa. Saya datang ke camp, menemui manajer, minta ongkos jalan.
Dikasih seratus ribu. Dikasih kertas. Isinya laporan bulanan ha-pe-ha bina desa untuk dinas kehutanan provinsi. Katanya, Pak, ini laporan terakhir kami mengenai bina desa. Tolong dalam rapat nanti apa-apa yang Bapak sampaikan agar disesuaikan dengan laporan ini.
Saya baca isinya. Di situ disebutkan perusahaan telah mengadakan enam kali penyuluhan, pernah memberikan bantuan benih dan bibit, pernah mendirikan sekolah dan madrasah. Mana ada?
Adik lihat ada madrasah di sini? Tidak ada. Sekolah pun, satu-satunya sekolah dasar yang ada, papannya mulai copot-copot. Laporan itu bohong. Semua bohong. Tak pernah ada penyuluhan, tak pernah ada bantuan bibit. Waktu rapat saya bohong sama Pak Bupati. Terpaksa bohong. Apa Adik yang membuat laporan itu?”
“Bukan, Pak. Tapi saya akan memulai lagi bina desa di sini.”
“Cuma untuk pormalitas?”
“Tidak, Pak. Bukan untuk formalitas. Mulai tahun ini pengusaha HPH harus menjalankan bina desa. Wajib. Kalau tidak bisa kena sanksi.”
“Dulu juga harus.”
“Sekarang menterinya tegas, Pak.”
Pak Wakil Desa tertawa.
Jamaludin merasa mendapat kekuatan baru.
Sejak itu Jamal sering datang ke Aek Geleng. Bersama-sama Yusnar – satu-satunya anggota yang dimiliki – beberapa hari sekali mereka datang ke sana. Sejak itu ia akrab dengan Pak Guru yang bangunan sekolahnya bolong-bolong. Sejak itu ia tahu bahwa cerita mengenai guru-guru di daerah terpencil adalah benar.
“Inilah, Pak, sekolah saya,” kata Pak Guru saat menyalami Jamal. “Sudah delapan tahun saya mengajar di sini. Murid saya sekarang dua puluh delapan, dari kelas satu sampai kelas lima. Semua di sini, jadi satu.”
Semua murid yang ada melihat Jamaludin.
Mereka terbagi dalam tiga baris bangku. Wajah mereka hitam, ada yang beringus, dan hanya beberapa yang memakai seragam merah putih. Di depan berdiri tiga papan tulis. Tiap papan dibagi menjadi dua bagian.
Jamal membayangkan betapa repotnya Pak Guru memberi pelajaran kepada lima kelas sekaligus dengan berpindah-pindah papan tulis. Jamal membayangkan betapa repotnya membagi perhatian kepada duapuluh delapan anak sekaligus.
“Mereka juga ikut ujian, Pak?”
“Oya, tentu. Beberapa bulan sekali saya turun ke kabupaten mengurus kurikulum atau mencari bahan ujian kenaikan kelas.”
“Orangtua mereka tidak keberatan?”
“Yaaa, memang ada beberapa yang masih kurang paham perlunya pendidikan, Pak. Misalnya kalau pas musim panen, murid laki-laki yang agak besar biasanya tidak datang. Mereka ikut orangtua mereka menanam atau menderes,” Pak Guru menggambarkan orang yang sedang menderes, mengambil getah karet. “Tapi belakangan ini sudah lumayan, Pak. Kadang-kadang saya meminta ijin langsung kepada orangtua anak-anak itu agar mereka bisa bekerja setelah belajar.”
“Pak Guru punya penghasilan lain?”
Yang ditanya tersipu. “Saya membuka kebun tiga hektar. Sudah saya babat tapi belum tahu mau ditanami apa.”
Sore itu juga Jamaludin menghubungi bagian pembibitan di base camp, menanyakan bibit durian yang disemaikan sebulan sebelumnya. Malamnya ia menyurati tiga temannya, minta dikirimi buku bacaan untuk anak-anak sekolah dasar yang sudah tidak terpakai. Buku bacaan apa saja, untuk membiasakan mereka membaca, tulis Jamal dalam suratnya.
Besoknya ia membongkar gudang peralatan, mencari-cari perkakas regu penanaman yang belum terpakai atau yang sudah usang tapi masih bisa digunakan. Hasilnya beberapa cangkul bekas, parang bekas, garpu bekas, seperempat karung pupuk yang belum sempat dipakai, dan dua kaleng insektisida yang bahkan tidak pernah dipakai sama sekali.
Dua minggu kemudian, dengan dumptruck berisi seribu bibit durian, Jamal dan Yusnar datang lagi ke Aek Geleng. Penduduk yang akan berangkat ke ladang tercengang. Murid-murid tidak sabar ingin melihat dumptruck yang penuh muatan. Pak Guru kemudian mengakhiri pelajaran – kebetulan sudah setengah duabelas – dan menyuruh anak didiknya membongkar muatan.
Jamaludin tersenyum senang. Menyalami Pak Guru yang juga tersenyum senang.
“Wah, maaf, Pak Guru. Rencananya minggu lalu bibitnya mau diantar, tapi itulah, susah cari kendaraan.”
“Waaah, tidak apa-apa, Pak Jamal.”
“Nanti bibit duriannya ditanam saja di kebun Bapak. Kalau jarak tanamnya sepuluh kali sepuluh, tiga hektar berarti tigaratus bibit. Masih banyak sisa. Bagikan saja kepada penduduk yang lain. Suruh mereka tanam di ladang masing-masing. Kalau masih kurang minggu depan saya kirim lagi.”
“Terimakasih, Pak.”
“Kebetulan di camp ada perkakas yang tidak terpakai. Kapan-kapan akan saya kirim ke sini.”
“Terimakasih, Pak. Terimakasih.”
“Rencana saya, Pak Guru nanti jadi contoh untuk yang lainnya. Kalau duriannya sudah tumbuh, nanti kita pasang papan nama di situ. Kita tulis, Kebun Percontohan Durian, Areal Bina Desa HPH PT titik-titik, dan seterusnya....”
“Boleh, Pak. Boleh....”
“Dan, Pak Guru, saya sudah menghubungi teman-teman di Jawa, minta supaya mereka mengirimkan buku-buku bacaan anak-anak yang sudah tidak dipakai. Mudah-mudahan dalam minggu ini buku-bukunya datang. Nanti Pak Guru bisa bagikan untuk murid-murid.”
“Waduh, Pak, terimakasih sekali, Pak. Terimakasih.”
Jamaludin merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Ucapan terimakasih Pak Guru dalam kalimat yang begitu tulus, mengungkapkan rasa bersyukur yang begitu besar maknanya.
Semuanya tampak begitu wajar dan apa adanya.
Matahari pun sangat cerah ketika sore itu Jamal kembali ke base camp. Tak terlintas pikiran apa-apa, bahkan dengan gembira ia mengambil memo yang tergeletak di atas meja. Ah, barangkali kiriman buku-bukunya sudah datang, pikir Jamal. Ternyata bukan. Di situ tertulis, Dicari pak Waluyo. Ingin bicara sore ini juga.
Jamaludin mengambil rokok. Menghisapnya perlahan-lahan.
Dibacanya nama Pak Waluyo beberapa kali. Kalaupun Jamal mendesah, itu karena ia merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Waluyo – Pak Waluyo – mencarinya. Sejak menunjuk Jamal sebagai Kepala Bagian Bina Desa, sejak itu Pak Waluyo seperti berhasil melepaskan diri dari beban yang amat berat. Mungkin ia senang karena tidak perlu lagi datang ke kampung. Mungkin ia senang karena orang kampung tak lagi menanyakan apa-apa yang pernah dijanjikannya.
Dan Jamal selalu saja merasa segan, terutama karena dalam beberapa kali pertemuan, pembicaraan selalu diakhiri dengan perdebatan. Jamal masih ingat sewaktu Pak Waluyo memanggilnya tidak lama setelah menunjuknya mengurusi bina desa. Cara Pak Waluyo berbicara sambil tetap membaca koran semakin menegaskan posisi Jamal selama ini.
“Bina desa bagaimana?”
“Sudah mulai, Pak.”
“Sampai mana?”
“Saya sudah menemui wakil desa. Sudah minta dukungan agar program bina desa bisa berjalan. Kebetulan Pak Guru bersedia menyediakan kebunnya sebagai areal percontohan.”
“Tanam apa?”
“Rencananya durian, Pak.”
Pak Waluyo tertawa tanpa suaranya. Membuka halaman berikutnya.
“Boleh saja kasih durian. Di pembibitan pun tidak banyak gunanya. Makin besar, makin besar, kalau tidak segera ditanam akarnya malah tumbuh kemana-mana. Apa lagi?”
“Wakil desa minta minta agar kita melibatkan penduduk dalam kegiatan perusahaan.”
“Jadi karyawan, begitu?”
“Kurang lebih, Pak.”
“Tidak bisa,” Pak Waluyo melipat korannya. Ganti mengambil rokok. “Tahu kenapa tidak bisa? Dulu kita pernah pakai mereka. Jadi helper chainsaw, jadi harian kantor atau borongan pembibitan. Tapi mereka sombong. Mereka merasa orang sini. Merasa punya kuasa di sini. Sebentar-sebentar mereka minta ijin. Ada famili kawin minta ijin. Ada tetangga sunatan minta ijin. Ada keramaian sedikit minta ijin. Kalau tidak diberi ijin, mereka tetap pulang. Kalau ditegur mereka bilang, dipecat pun tak apa-apa, kampung saya di sini!
Mana bisa begitu!
Kalau mereka mau kerja, silahkan, tapi harus ikuti peraturan perusahaan. Tidak bisa seenaknya. Pernah dengar kasus Muaradunga dulu? Mungkin waktu itu kamu belum di sini, tapi pasti pernah dengar. Empat puluh buruh harian dari Muaradunga minta berhenti hanya karena tidak boleh pulang ke kampung untuk nonton dangdut.
Coba pikir.
Kita butuh hiburan, tapi saatnya bekerja ya harus kerja. Kalau stok cukup, kita kan tenang. Kalau musim hujan mereka bisa istirahat. Bisa nonton dangdut di tivi seharian. Itu sebabnya kita tidak mau lagi pakai orang kampung. Mengerti?”
Setelah itu Jamal tak pernah bertemu lagi dengan Pak Waluyo. Karena itu agak heran juga kalau tiba-tiba ia diminta bertemu. Ada apa? Apakah Pak Waluyo akan mengubah pendiriannya dulu? Atau justru akan memindahkan Jamal ke bagian lain karena dinilai terlalu akrab dengan orang kampung?
Jamal membuang semua bayangan buruk yang muncul.
Dilihatnya Pak Waluyo sedang membaca koran. Kehadirannya membuat mata lelaki itu menoleh sebentar.
“Duduk.”
“Iya, Pak.”
Lalu membaca lagi.
Jamaludin menunggu.
Pak Waluyo melipat korannya. Mengambil sebatang rokok.
“Bina desa bagaimana?”
“Seperti biasa, Pak.”
“Duriannya sudah dikirim?”
“Sudah. Sebagian malah sudah ditanam. Saya juga memberikan alat-alat pertanian yang tidak kita pakai. Rencananya kita akan membuat semacam demplot, semacam kebun percontohan. Saya juga punya ide menyumbangkan buku-buku bacaan sekolah dasar. Memang sampai sekarang belum datang. Mudah-mudahan....”
Jamaludin tidak meneruskan kalimatnya. Dilihatnya Pak Waluyo seperti tidak mendengarkan, malah kemudian membuka map, mengambil selembar surat, dan meletakkannya di depan Jamal.
“Tidak usah dibaca,” katanya datar. “Itu surat dari Cabang Dinas Kehutanan. Bulan depan Pak Bupati akan meninjau pelaksanaan bisa desa di sekitar sini, termasuk perusahaan kita.
Tidak usah dibaca saya bilang.
Saya panggil Jamal ke sini karena saya ingin bina desa tidak lagi di Aek Geleng. Percuma. Tidak ada gunanya.”
“Tapi rencana kita....”
“Saya tahu. Dalam rencana operasional memang disebutkan Aek Geleng. Tapi masalahnya bukan itu. Kalau sampai Pak Bupati meninjau ke sana matilah kita. Mati. Tahu kenapa? Orang dinas pasti ikut, padahal sebelum Aek Geleng kita sudah bikin jalan angkutan dari areal di luar blok tebang.
Mengerti?
Orang dinas pasti akan sekalian memeriksa lokasi penebangan kita. Kalau mereka tahu ada jalan sebelum Aek Geleng, matilah kita. Sebab di situ kita mencuri kayu. Mengerti?”
Jamaludin menahan napasnya.
Pak Waluyo menyalakan lagi rokoknya yang padam.
“Jadi apa rencana Bapak?”
“Begini,” Pak Waluyo tampak bersemangat membuka peta yang diambil dari laci. “Sebelum camp kita ada kampung Aek Balga. Kalau Pak Bupati mau ke sini, beliau pasti lewat Aek Balga dulu. Nah, disitulah kita cegat.
Di situ ada sekolah. Kita cat pagarnya. Kita ganti dindingnya. Kalau perlu kita beri kapur tulis dan papan nama yang baru. Di situ juga ada balai pertemuan yang sudah lama tidak dipakai. Kita perbaiki. Kita bikin bagus. Kita anggap di situ tempat penyuluhan. Sepanjang jalan kita tanami akasia atau sengon.
Pokoknya kita buat Aek Balga sebagai desa binaan kita.
Kalau Pak Bupati datang, kita bawa ke sana. Kalau Pak Bupati puas berarti tidak perlu ke Aek Geleng lagi. Kita aman. Mengerti?
Saya sudah bicarakan ini dengan kepala desanya. Soal rencana operasional nanti saya bicarakan ke kantor pusat. Semuanya bisa diatur. Kalau Jamal butuh kendaraan bilang saja sama saya. Pokoknya semuanya harus beres. Mengerti?”
Jamaludin mengangguk.
Ia mengerti. Sepenuhnya mengerti. Juga bagaimana menjelaskan semuanya kepada Pak Guru. Jamal mengerti, tapi tidak tahu caranya. Tidak tahu bagaimana caranya agar Pak Guru dan murid-muridnya – dan penduduk desa – tidak kecewa.
Mungkin Pak Guru paham kalau kegiatan bina desa ditangguhkan karena alasan-alasan politis. Pak Guru pasti tahu apa artinya politis. Seperti juga Jamal, yang tahu, tetapi tetap tidak mengerti.
Kalau akhirnya Jamal tetap berangkat ke Aek Geleng itu pun sambil terus mencari kalimat yang tepat, selain alasan politis, untuk disampaikan kepada Pak Guru.
“Yusnar.”
“Ya, Pak?”
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah duabelas, Pak.”
Setengah duabelas. Berarti masih ada waktu setengah jam lagi sebelum Pak Guru dan murid-muridnya keluar. Masih setengah jam. Masih lama. Tapi cukup singkat bagi Jamal yang sudah terbiasa menunggu.


Harian Suara Pembaruan – Minggu, 05 Mei 1996

*) Judul diilhami oleh Cerpen Sesudah Bersih Desa karya Satyagraha Hoerip – pen.

Tim Kehutanan Akan Datang

Tim Kehutanan akan datang.
Begitulah berita yang diterima Insinyur Yoga pagi ini. Ia sedang berjalan menuju ruang kerjanya ketika Mugiyani – operator radio – memanggilnya dengan suara keras.
“Pak Yogaaaa.... Ada berita dari kosong tigaaa....”
Insinyur Yoga mendekat. “Ada berita apa, Gi?”
“Tim Kehutanan akan masuk camp dalam dua tiga hari ini,” Mugiyani menyerahkan selembar kertas. Isinya sama seperti yang tadi dikatakan, hanya ada sedikit tambahan, harap dipersiapkan segalanya.
“Cuma ini?”
Mugiyani mengangguk.
“Tidak ada keterangan mereka datang dalam rangka apa?”
Mugiyani menggeleng.
Insinyur Yoga meneruskan langkahnya. Sebetulnya tanpa diberi tahu pun ia sudah tahu. Ini bulan november, mereka pasti datang dalam rangka pemeriksaan untuk memperoleh ijin tebang tahun depan. Kalau semuanya lancar, desember nanti berita acara pemeriksaannya ditanda-tangani. Awal januari sudah bisa menebang lagi.
Dari arah belakang terdengar suara mobil mendekat. Disusul derit rem mendadak.
“Sudah tahu?” suara Mister Lee keras.
“Soal tim?”
“Iya-lah. Soal apa lagi?”
“Barusan Mugi kasih tahu.”
“Kalau begitu naik.”
Insinyur Yoga menaiki mobil. Beberapa karyawan tersenyum dari balik jendela. Insinyur Yoga balas tersenyum. Ia tahu mereka sebetulnya hanya meledek. Saat itu pun di kantor pasti sudah tersebar berita bahwa Yoga – Insinyur Yoga – diajak Mister Lee naik mobil Rocky. Suatu pemandangan yang langka dan jarang terjadi.
Yoga bukannya tidak merasa.
Dialah satu-satunya kepala bagian yang tidak memiliki mobil dinas sendiri. Dialah satu-satunya kepala bagian yng harus menumpang kendaraan dinas bagian lain untuk menjalankan tugasnya. Padahal masa kerjanya sudah enam tahun. Padahal anak buahnya lebih dari delapan puluh orang yang tersebar di lebih dari empat lokasi kerja. Dalam kenyataannya masa kerja enam tahun itu tidaklah berarti apa-apa. Hanya satu hal yang melegakan: Yoga satu-satunya yang dicari jika ada tim dari dinas kehutanan masuk base camp. Itu semata-mata karena hanya Yoga satu-satunya tenaga teknis yang tersisa yang dianggap layak menemui mereka.
Sejak saat itu karyawan mulai paham. Kalau mendadak Insinyur Yoga diajak naik Rocky, berarti akan ada tamu masuk camp. Kalau bukan hari ini ya besoknya. Kalau bukan besok ya lusa. Dan Pak Gunari yang bagian personalia akan menyindir, “Naik Rocky nih yeee...”
“Sekali-sekali, Pak Gun.”
Rem yang diinjak mendadak mengagetkan Yoga.
“Mereka periksa apa?” tanya Mister Lee.
“Blok tebang, mister.”
“Kenapa begitu cepat?”
“Biasanya memang november kok.”
“Ya tapi ini mendadak sekali,” Mister Lee mengerutkan kening. “Biasanya kan kantor cabang kasih tahu dulu. Ini tidak ada kabar apa-apa. Kapan mereka ke kantor cabang? Hari ini? Kalau besok langsung masuk camp susah kita....”
Insinyur Yoga mencoba bersikap tenang.
Ini bukan yang pertama kalinya tapi selalu terjadi. Selalu saja Yoga tidak memahami jalan pikiran pimpinannya. Sebagai manager camp seharusnya Mister Lee sudah tahu bahwa penebangan dimulai awal tahun. Sejak dulu selalu begitu. Tetapi setiap kali akan ada pemeriksaan selalu saja kelabakan seperti kebakaran jenggot – meski nyatanya Mister Lee tidak berjenggot.
Mister Lee meraih radio dekat setir. Memanggil-manggil.
“Silahkan....” terdengar jawaban.
“Tanya kosong tiga! Kosong tiga tanya, kapan tim masuk!.... Tanya kapan tim masuk!.... Tanya dimana posisi mereka sekarang!....”
“Oke, mister! Nanti disampaikan!.... Kosong tiga belum buka, ganti!....”
Mister Lee menggerutu dalam bahasa Korea. Meletakkan mike dengan kasar.
“Kurangajar mereka itu! Kita sudah pada kerja mereka masih pada tidur. Kurangajar mereka....” lalu menghidupkan mobil. “Yoga, blok tebang bagaimana?”
“Katanya orang chainsaw sudah lewat batas, Mister.”
“Hah! Chainsaw siapa?”
“Yang di kilo tiga tujuh.”
Mister Lee kembali memaki-maki dalam bahasa asalnya. Menyalahkan operator chainsaw yang selalu saja menebang melewati batas. Padahal batas sudah dibuat lebar-lebar dan ditandai dengan cat merah. Tapi pelanggaran demi pelanggaran terus saja terjadi berulang-ulang.
“Jadi sudah diperbaiki?”
“Belum.”
“Kenapa belum?”
“Tunggu kayunya ditarik dulu.”
“Hah! Mana bisa! Mana bisa begitu.... kalau besok tim masuk, matilah kita. Mati kita. Mengerti? Perbaiki sekarang!...”
Rocky memutar kembali.
Sebelum mobil berhenti sempurna, Insinyur Yoga sudah memanggil tiga anggotanya, menyuruh mereka bersiap-siap. “Jangan lupa kompas, tali, cat merah....”
“Bikin apa, Pak?”
“Mari sini,” Insinyur Yoga membentangkan peta di atas kap mobil. “Perhatikan baik-baik. Ini batas blok tebang kita, dari sini ke sini. Orang chainsaw katanya sudah masuk sampai sini. Sudah lewat batas. Jadi kita bikin batas baru di sebelah sini. Sekitar lima puluh meter sebelah barat batas lama. Kita rintis lagi dua meter kiri kanan. Pasang patok dan jalur. Dicat merah. Mengerti?”
Ketiga anggota mengangguk.
“Jalan dekat sungai bagaimana, Pak?”
“Dekat sungai mana?”
“Dekat simpang kilo sembilan. Kan ada juga traktor di sana.”
Insinyur Yoga menoleh kepada Mister Lee.
Mister Lee menoleh ke langit.
“Ya, yaaaaa, saya sudah tahu. Jalan sudah saya suruh tutup sama mandor,” lalu meraih mike radio dekat setir. Memanggil-manggil mandor tebang.
“Silahkan, Misteeer....”
“Kilo sembilan bagaimana? Simpang kilo sembilan bagaimana!....”
“Sebentar lagi, Misteeer.... Rantai traktor ada rusak sikit ! Rantai traktor ada rusak, sedang perbaiki, ganti!....”
Mister Lee memaki-maki lagi.
Menggerutu lagi.
Menoleh pada Yoga lagi.
“Sudah siap?” Lalu tanpa menunggu jawaban, “Ayo berangkat!”
Rocky bergerak cepat meninggalkan base camp. Debu yang ditinggalkan membuat beberapa mekanik menggerutu.
Di dalam mobil, Insinyur Yoga melihat ke arah kebun karet dan ladang-ladang di sepanjang jalan. Ia baru sekitar enam tahun bekerja di situ, tapi pohon karet yang sudah disadap getahnya menunjukkan bahwa perladangan itu sudah berlangsung lama. Kondisi ini kelihatannya memang menjadi kenyataan di mana-mana. Begitu perusahaan membuka jalan, masyarakat di sekitarnya serta merta membuka ladang dan kebun. Pohon-pohon kecil di sepanjang kiri kanan jalan ditebangi, semak belukar dibabat, kemudian dibakar dan ditanami. Mula-mula hanya tanaman semusim seperti padi atau jagung. Kemudian berlanjut dengan menanam pohon karet yang berumur tahunan.
Kalau diberi penjelasan bahwa tindakan itu merusak hutan, jawabannya menggetirkan batin.
“Macam manalah, Pak. Kami ini cuma cari makan. Cuma untuk makan. Bukan cari uang. Bapak tahu sendiri berapalah hasil kebun selebar ini?”
Kalau dilarang, jawabannya lebih menggetarkan lagi.
“Kalau kami dilarang buka hutan, kami mau makan apa? Apakah Bapak mau menanggung hidup anak istri saya? Apa perusahaan mau menerima kami bekerja? Jadi kami tidak usah lagi repot-repot buka kebun,” tangannya yang berkeringat menunjuk ke arah yang jauh. “Bapak lihat Korea-Korea itu? Mereka datang ke sini babat hutan, ambil kayu berkubik-kubik. Tumpuk uang di kantung masing-masing. Sudah kaya semakin bertambah kaya. Kami, jangankan kaya, makan tiga kali sehari saja susah....”
Insinyur Yoga melirik Mister Lee.
Mister Lee balas melirik. “Pembinaan hutan bagaimana?”
“Seperti biasa, Mister.”
“Seperti biasa bagaimana?”
“Ya seperti biasalah. Bikin batas. Cruising. Pembibitan. Penanaman. Pemeliharaan. Ya seperti itulah....”
“Waaaah, tidak bisa begitu, Yoga! Pembinaan harus beres. Nanti kalau diperiksa dan tidak beres, susssaaah kita. Susssaaahhh....”
“Ahhh, pembinaan selalu beres. Penebangan yang tidak beres.”
“Mana ada tebang tidak beres? Mana ada!”
“Lha itu orang chainsaw selalu lewat batas. Selalu nebang diluar blok!”
“Yaaa.... tapiii mereka cari kayu. Mereka ada hasil. Mereka ada produksi. Kalau tidak ada produksi kita makan apa? Makan apa? Makan bibit? Pembinaan mau dibiayai dari mana?” suara Mister Lee meninggi. “Chainsaw lewat batas tidak apa-apa. Tidak apa-apa.... Datang orang dinas kita geser batasnya. Pulang orang dinas kita ambil kayu di situ lagi. Apa masalah? Ha?....”
Ketiga anggota di belakang tertawa.
Insinyur Yoga menahan mual dalam dadanya.
Selalu saja Yoga serasa mau muntah setiap kali berdebat tentang pembinaan hutan dengan Mister Lee. Bagi atasannya itu, kayu adalah nomor satu. Yang penting kayu keluar, yang penting produksi jalan. Tidak peduli mengambil di luar batas, tidak peduli dari luar blok tebang. Soal penghijauan kembali urusan belakangan. Ketahuan dinas kehutanan?
“Gampaaaang...” Mister Lee menggosok-gosokan ibu jari dengan jari tengahnya.
Insinyur Yoga bukannya tidak tahu. Hanya sering bertanya-tanya, apa gunanya ia di sana kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang? Setiap kali berdiskusi dengan Mister Lee – dan mister-mister lainnya – tentang perlunya pembinaan hutan, hasilnya selalu sama saja. Jawaban klasik yang sering terdengar adalah, “Buat apa?”
Untuk apa?
“Ya. Untuk apa?” kata Mister Lee dulu. “Kamu sarjana kehutanan, kamu pasti tahu untuk tumbuh satu pohon meranti perlu berapa lama? Berapa tahun? Tiga puluh lima tahun ya? Kita bisa saja tanam, tapi nanti siapa yang panen? Kita?
Belum tentu!
Kamu kan tahu sendiri ijin kita cuma dua puluh tahun. Habis itu belum tentu diperpanjang. Diperpanjang pun belum tentu kita masih mau. Belum tentu kita masih hidup. Iya tidak?”
“Tapi Mister,” Yoga mencoba mendebat. “Di Jawa sana jati juga ditanam meskipun umurnya tiga puluhan tahun. Yang menanam belum tentu yang memanen. Yang memanen belum tentu yang dulu menanam. Dan itu sudah ada sejak jaman Belanda!”
“Aigooo....” Mister Lee menggerak-gerakkan tangannya. “Janganlah, jangan samakan dengan pemerintah punya. Di Jawa itu perhutani punya, pemerintah punya, jadi hasilnya tidak akan lari kemana-mana. Kita HPH swasta punya. Modal sendiri. Dan tanam pohon ratuan hektar itu perlu uang milyaran. Mil-yar-an, tahu?
Ya kalau nanti hutannya tumbuh kembali. Kalau tidak?
Ya kalau nanti ijin kita diperpanjang. Kalau tidak?”
Mobil yang direm mendadak menyadarkan Yoga bahwa mereka telah sampai. Ketiga anggota turun serentak. Sekali lagi Yoga memberi pengarahan. Kemudian rocky meluncur lagi, mengikuti jalan tanah yang masih perlu pengerasan. Suara traktor dan gergaji mesin menggemuruh dari celah-celah rimbunan pohon. Sesekali terdengar gelegar pohon tumbang. Mister Lee beberapa kali turun menghampiri operator chainsaw dan operator traktor yang sedang bekerja. Memerintahkan ini itu. Menunjuk ke sini ke situ. Menyuruh-nyuruh sambil tak lupa marah-marah dalam bahasanya sendiri.
Matahari sudah tinggi ketika rocky meluncur kembali ke camp.
“Sudah lama ya Yoga tidak turun?”
“Ada enam bulan-an ini.”
Mister Lee tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Yoga.
“Tidak usah kuatir, nanti kita turun sama-sama-lah. Jalan-jalan dulu di kota. Nonton, karaoke, minum bir, cari perempuan.... Iya kan? Apa lagi? Apa lagi?... Ha-ha-ha...”
Apa lagi?
Bagi mereka semuanya bermuara pada apa lagi. Sementara bagi Yoga semuanya berarti tidak ada apa-apa lagi. Kantung mereka penuh, sementara hutan habis dan hanya menyisakan kulit kayu di mana-mana. Apa lagi?


Sore itu Insinyur Yoga masih duduk di ruangannya. Masih menyelesaikan beberapa peta ketika aiphone di atas meja berbunyi. Suara Mister Lee terdengar di seberang sana. “Yoga jangan kemana-mana. Mereka masuk sore ini.”
“Ya, mister.”
“Masih banyak kerja?”
“Sedikit lagi.”
“Atur-aturlah supaya kita tidak repot besok.”
“Ya, mister.”
Ya mister, ya mister, betapa seringnya Yoga mengucapkan itu. Meski sadar bahwa sebenarnya dia hanya dijadikan perisai untuk menghadapi aparat pemerintah, toh Yoga menerima sebagai tugas yang memang harus dijalani. Setidaknya selama masih mengharapkan gaji dan fasilitas perusahaan, selama itu pula Yoga harus berperang dengan batinnya sendiri.
Lepas magrib Yoga masih di kantor.
Setelah merapikan mejanya, Yoga menuju ruang tivi yang berada persis di sebelah kantor. Acara liputan sore baru saja mulai. Ada Pak Gunari di situ.
“Tamunya belum datang, Pak?”
“Sore ini, Pak Gun.”
Di layar tivi terlihat Menteri Kehutanan berbicara berapi-api mengenai hutan Indonesia yang hijau dan lestari. Insinyur Yoga memandang ke luar jendela. Rasanya ia ingin menangis karena yang ada di hadapannya justru hutan yang compang-camping.
Dari kejauhan terdengar deru rocky dipacu cepat. Semakin lama semakin mendekat. Yoga tahu tamu yang ditunggu sudah datang, dan itu berarti ia harus menjemput mereka ke logpond – dermaga tempat menumpuk kayu bulat sekaligus tempat perahu disandarkan.
Yoga tidak perlu bergegas karena suara rocky semakin mendekat, disusul derit rem membelah udara senja.
“Yogaaaa!....”



Sibolga, akhir april 1997


Kenangan Lama

Sore itu Erik datang ke rumah.
Sebetulnya bukan sesuatu yang istimewa kalau Erik datang ke rumah. Selama ini pun Erik biasa datang – dengan mendadak atau memberi tahu lebih dulu. Sebulan yang lalu dia juga tiba-tiba datang dan langsung cerita kalau sudah tidak bekerja lagi. Sudah berhenti karena katanya, “Tidak menjanjikan tantangan, karir, dan masa depan.”
“Jadi kamu nganggur sekarang?” tanyaku waktu itu.
Erik mengiyakan. Dan seperti yang sudah kuduga, dia minta tolong dicarikan siapa tahu ada perusahaan yang membutuhkan karyawan baru. Tentu saja yang sesuai dengan klasifikasinya sebagai sarjana akutansi lulusan perguruan tinggi swasta dengan pengalaman kerja empat tahun di tiga perusahaan.
Aku bilang akan mencoba membantunya.
Dan gara-gara kesanggupanku itulah selama dua hari berturut-turut aku sibuk menelpon ke sana ke sini. Sibuk bertanya ke sana ke sini. Sampai akhirnya satu perusahaan positif menerima Erik sebagai karyawan baru.
“Aku diterima, Sam!” kata Erik di telepon saat itu.
Aku cuma tersenyum mendengar ucapan terima kasih Erik yang berkali-kali. Beberapa hari sesudahnya memang Erik tidak datang ke rumah. Juga tidak menelpon. Mungkin masih disibukkan oleh aktifitasnya yang baru. Dan itu tidak kupermasalahkan betul.
Setidaknya sampai sore ini.
Aku baru saja akan membuka lembaran koran ketika kulihat bayangannya memasuki halaman. Masih mengenakan seragam kantornya yang hitam putih. Dasinya juga masih terpasang – hanya sudah dikendorkan. Wajahnya tampak kusut dan lelah.
“Langsung dari kantor?”
“Iya.”
Aku memanggil istriku. Minta dibuatkan secangkir kopi lagi.
“Bagaimana pekerjaan barunya?”
“Biasa-biasa saja.”
“Masih tidak memberikan tantangan, karir, dan masa depan?”
Erik tersenyum mendengar sindiranku. “Nggak juga.”
“Lalu kenapa mukamu kusut begitu?”
“Ada sedikit masalah....” suara Erik merendah. Kebetulan istriku datang membawa secangkir kopi. Erik menyalami dan berbasa-basi sebentar.
“Kenapa, gajinya kurang besar?”
“Tidak,” Erik mengusap rambutnya. “Gajinya memang kecil. Tapi bisa kumaklumi karena namanya juga karyawan baru.”
“Jadi kenapa mukamu kusut begitu?”
Erik melihat lama ke luar halaman. “Ada masalah sedikit. Tapi agak mengganggu, Sam. Kebetulan ada karyawan lain. Perempuan. Di bagian lain tapi masih satu ruangan. Cuma dibatasi sekat, yang.... yang....”
“Yang jatuh cinta sama kamu?” sambutku cepat.
“Bukan! Bukan!”
“Atau kamu yang jatuh cinta sama dia?”
“Bukan! Bukan juga!”
“Jadi?”
“Dia bekas pacarku waktu kuliah dulu!”
Aku sempat kaget. Lalu termangu seperti orang tolol.
“Itulah masalahnya, Sam. Aku sama sekali tidak menyangka akan ketemu dia lagi. Jangankan ketemu langsung, dalam mimpi pun tidak terpikir. Ini, tiba-tiba ketemu dalam satu perusahaan. Dalam satu ruangan lagi. Dia pun kelihatan kaget. Mungkin juga tidak mengira bakal ketemu aku lagi.”
Erik menghirup kopinya – padahal belum kusuruh.
“Namanya Nina. Kami dulu satu angkatan, cuma berbeda kelas. Kami sempat pacaran sekitar empat tahun, sampai kemudian sama-sama lulus. Aku langsung kerja di Medan waktu itu, sementara Nina masih di Bogor menunggu wisuda. Sejak itu hubungan kami makin tidak karuan. Ketemu makin jarang. Surat-surat makin langka. Sampai akhirnya kudengar kabar Nina menikah.”
“Dengan siapa?”
“Mana kutahu! Dengan pacar barunya, mungkin.”
“Terus?”
“Terus ya begitulah. Seperti dalam sinetron-sinetron itu. Mula-mula aku masih bertahan. Memang masih cinta sih. Masih suka kirim kartu ucapan atau kartu tahun baru. Tapi karena tidak dibalas-balas, akhirnya nggak tahan juga. Sampai kemudian aku menikah dengan Winda – istriku sekarang.”
“Jadi masalahnya di mana?”
“Ya ampuuuun, Sam! Kamu tahu bagaimana rasanya ketemu bekas pacar? Apalagi kalau kita masih menyimpan rasa sayang, rasa kangen, rasa cinta, atau yang sebangsa dengan itu?”
“Apa kamu bilang begitu sama Nina?”
“Iya.”
“Lalu apa katanya?”
“Nina bilang minta maaf. Ia mengaku salah karena mau saja dikawinkan dengan pilihan Bapaknya. Juga karena membuang kartu-kartu kirimanku sebelum ketahuan suaminya. Tahu, Sam, apa yang dikatakan Nina waktu kami sama-sama makan siang di kantin samping kantor?”
“Tidak. Apa katanya?”
“Katanya, Rik, kalaupun rasa cinta itu masih ada, biarlah Nina simpan untuk hati Nina sendiri. Coba, Sam, bayangkan!”
Aku – diam-diam – merasa iri.
Iri karena masa pacaranku biasa-biasa saja. Jauh dari tetek bengek urusan macam itu. Pacaran sekitar tiga tahun dan kemudian menikah. Semuanya wajar. Nyaris tanpa liku-liku.
“Sam?”
“Ya?”
“Menurutmu aku harus bagaimana?”
“Biasa-biasa saja. Lupakan bahwa selama ini kalian pernah kenal sebelumnya.”
“Aku sudah biasa-biasa saja. Selama ini kami biasa-biasa saja.”
“Jadi apa masalahnya?”
Erik menghirup kopinya lagi – padahal belum kusuruh.
“Hati ini, Sam. Hati ini yang tidak bisa biasa-biasa saja. Orang boleh saja berkata bahwa masa lalu adalah masa lalu. Tapi hati ini tidak bisa dibohongi. Kenangan-kenangan indah semasa pacaran dulu sepertinya muncul kembali.”
“Kalau begitu kamu berhenti saja dari situ.”
“Sori, Sam. Kalau itu sori. Aku tidak mau munafik soal itu. Aku butuh pekerjaan, itu yang pertama. Yang kedua, sejak ketemu Nina hidupku jadi lebih cerah. Setiap hari aku bersemangat pergi ke kantor, terutama karena akan ketemu Nina. Tiap sore, aku belum mau pulang kalau kulihat Nina masih ada di ruangannya. Aku selalu berusaha untuk pulang sama-sama, setidaknya sampai tempat menunggu angkutan kota. Setiap hari, di kantor, aku selalu memperhatikannya. Diam-diam aku mengagumi kecantikannya. Ia masih cantik seperti dulu, Sam. Apalagi kalau dia membungkuk membuka lemari arsip sehingga sebagian buah dadanya kelihatan. Atau kalau dia berjalan membelakangi sehingga pantatnya nampak padat dan seksi....”
Aku menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya kuhirup kopiku. Terasa sudah hampir dingin. Erik ikut-ikutan menghirup kopinya – padahal tidak kusuruh.
“Rik,” kataku akhirnya. “Kalau begitu untuk apa kamu datang ke sini dan bilang ada masalah?”
“Suaminya, Sam,” suara Erik pelan sekali. “Tadi siang suaminya datang ke kantor. Kami berkenalan.”
“Oya?”
“Di situlah aku baru merasa ada masalah.”
“Kenapa? Suaminya tahu kamu bekas pacar istrinya?”
“Bukan. Suaminya ternyata karateka.”
Tiba-tiba aku tertawa terbahak-bahak.

Lama setelah itu Erik tidak ada kabarnya. Aku mencoba membayangkan betapa kikuknya Erik di kantor. Betapa gelisahnya berada di antara masa lalu dan masa kini. Di antara angan-angan dan kenyataan. Dan bagian yang selalu membuatku tertawa adalah saat membayangkan bagaimana Erik bersikap di antara Nina yang cantik dan suaminya yang karateka.
Pernah juga kureka-reka sendiri bagaimana kira-kira kelanjutan kisah mereka. Mungkin Erik akhirnya mundur karena sadar tidak mungkin memiliki Nina-nya kembali. Apalagi ia sendiri juga sudah beristri. Atau justru Nina yang memilih keluar karena rasa bersalahnya. Kemungkinan lain adalah suami Nina akhirnya mengetahui hubungan di antara keduanya.
Ah, mudah-mudahan tidak.
Sulit membayangkan bagaimana jadinya kalau Erik yang kurus kecil itu harus berhadapan dengan seorang karateka.
“Kok senyum-senyum sendiri, Mas?”
Aku menoleh pada Sri – istriku – yang datang membawa secangkir kopi.
“Iya nih. Aku ingat sama Erik. Sudah lama dia nggak datang.”
“Mungkin lagi sibuk.”
“Mungkin,” kataku sambil memperbaiki posisi duduk. “Padahal waktu terakhir ke sini dulu dia janji mau memperlihatkan profil perusahaannya yang dimuat di majalah, yang katanya banyak bohongnya itu.”
(Aku memang tidak berterus-terang soal Nina)
“Kenapa tidak ditelpon saja?”
(Iya ya, kenapa tidak ditelpon saja? Dengan begitu aku bisa segera tahu apakah kelanjutan kisahnya seperti salah satu dugaanku atau malah ada perkembangan baru. Bukankah itu lebih baik daripada sekedar menebak-nebak?)
Maka segera kuangkat gagang telepon. Kutekan nomor-nomor, dan terdengar suara wanita di ujung sana. Pasti suara Winda, istrinya.
“Mbak Winda ya? Ini Samuel,” aku mengenalkan diri. “Eriknya ada, Mbak?”
“Mas Erik belum pulang tuh.”
“Belum pulang?” tanpa sadar aku melirik jam dinding. “Sudah setengah sembilan belum pulang?”
“Iya. Lho, Mas Samuel apa belum tahu?”
“Tahu apa, Mbak?”
“Sudah hampir sebulan ini Mas Erik suka pulang telat. Dua hari sekali dari kantor langsung ke stadion. Latihan karate.”
“Karate?”
“Iya,” terdengar Winda tertawa pelan. “Mas Erik itu memang suka aneh-aneh. Tiba-tiba kok ikut perkumpulan karate. Untuk menjaga stamina tubuh katanya. Jadi Mbak ya setuju saja.”
Karate?
Astaga, nampaknya kisah mereka bakal bertambah seru!


Dimuat di Tabloid Nova sekitar tahun 2000-an, 
nomor dan tanggal lupa dicatat

Cut Nya'

Dharmawati menarik napas lega di halaman kantor pos. Akhirnya selesai juga urusannya mengirim wesel ke Lhokseumawe. Uang yang dikirim satu juta Rupiah dan untuk itu ia harus berkutat setengah jam lebih di kantor pos. Salahnya sendiri memang, karena datang bertepatan dengan jadwal pembayaran uang pensiun. Kantor pos dipenuhi orang-orang tua para pensiunan pegawai negeri dan militer.
Mungkin Rumiyati juga perlu disalahkan karena tidak memiliki rekening bank di kampungnya sana. Kalau lewat bank tentu bisa lebih cepat dan tidak perlu antre seperti di kantor pos. Bahkan juga tidak perlu repot-repot datang ke bank karena bisa lewat ATM. Dan tidak perlu harus pada jam kerja karena ATM buka nonstop dua puluh empat jam.
Tapi menyalahkan Rumiyati juga percuma karena dalam salah satu suratnya ia pernah menulis, Jangankan untuk menabung. Untuk makan sehari-hari saja susah.
Alasan itu terdengar klise, memang.
Tapi begitulah kenyatannya.
Dalam salah satu suratnya, Cut Nya’ – demikian Dharmawati menjuluki Rumiyati terutama karena kegigihannya berjuang melawan kehidupan – pernah bercerita bahwa sejak dua bulan terakhir ia membuka warung nasi agak di luar kota. Itu juga bukan pekerjaan tetapnya karena sebelumnya pernah buka rental komputer, agen koran, dan agen tiket bis luar kota.
Entah dengan kedai nasinya kali ini.
Mungkin bertahan lama, mungkin cuma sementara.
Hati kecil Dharmawati mengakui betapa Cut Nya’ memang ulet dan gigih. Ia tidak pernah ragu menggeluti pekerjaan yang kira-kira bisa menghidupi keluarganya. Sayangnya sampai saat ini tidak pernah tekun di satu bidang. Selalu saja berganti-ganti.

Kerja di sini harus pinter-pinter mencari celah. Selalu ada peluang tetapi juga selalu ada halangan. Rental komputer mula-mula rame, tapi sejak ribut-ribut otonomi daerah jadi sepi karena banyak mahasiwa yang memilih pulang ke kampung masing-masing.
Jadi agen koran sulit berkembang karena koran-koran terbitan jawa selalu telat. Sejak banyak gangguan GAM, bis-bis luar kota tinggal sedikit. Cuma bis milik pribumi saja yang masih berani beroperasi.


Setiap kali membaca surat Cut Nya’, Dharmawati selalu bersyukur karena kehidupannya jauh lebih baik. Tidak perlu pontang-panting cari makan. Tidak perlu jungkir balik cari uang. Perjalanan karirnya bisa dibilang mulus dan nyaris tanpa pergolakan. Datar-datar saja. Beberapa bulan setelah lulus langsung diterima sebagai pegawai negeri sipil. Dharmawati tinggal mengikuti saja aturan dan mekanisme yang sudah ada. Tidak perlu demo. Tidak perlu menuntut ini itu.

Aku tidak perlu memikirkan kredit rumah dan membayar asuransi karena semuanya sudah diatur oleh sistem. Yang perlu kulakukan hanya berdiri di tepi jalan setiap jam tujuh pagi. Lalu bis karyawan datang menjemput. Aku tinggal duduk di bangku yang tersedia dan kadang-kadang tertidur kembali. Begitu sampai di kantor aku tinggal duduk di meja kerjaku dan mengerjakan tugas-tugas yang diantar pesuruh. Setelah makan siang di kantin, aku kembali meneruskan pekerjaan. Jam empat sore aku sudah berdiri di depan kantor dan bis yang sama akan datang menjemput. Aku tinggal duduk menempati bangku yang tersedia dan selalu sambil tertidur sampai bis menurunkanku di tempat aku naik tadi pagi.

Dharmawati bisa membayangkan betapa iri Cut Nya’ saat membaca suratnya.
Betul-betul hanya bisa membayangkan karena pada kenyataannya mereka memang belum pernah bertemu. Semua komunikasi hanya lewat surat. Bahkan perkenalan pertama kali pun lewat rubrik sahabat pena di sebuah majalah anak-anak. Hanya pernah beberapa kali saling bertukar foto. Selebihnya adalah bertukar cerita mengenai perkembangan masing-masing.
Sampai sama-sama lulus SMA.
Sampai sama-sama sibuk mencari pekerjaan.
Sampai Cut Nya’ berterus terang tidak punya pilihan lain kecuali mengurusi dapur rumahnya yang terdiri dari seorang ibu dan dua adik yang masih sekolah. Bapak merantau ke Pidie tapi sampai sekarang tidak pulang-pulang. Ada yang bilang ikut bergabung bersama-sama GAM. Ada yang bilang sudah mati ditembak tentara.
Itu sebabnya Dharmawati mengirimkan wesel sebesar satu juta rupiah untuk Cut Nya’ sahabatnya. Walaupun Cut Nya’ tidak meminta, tapi dalam surat terakhirnya ia bercerita punya rencana membuka rental video game di samping warung nasinya yang berada tidak jauh dari sebuah kompleks sekolahan.

Setiap bubaran sekolah, jalan di samping warung nasi kami penuh anak-anak mulai dari SD, SMP, sampai STM. Sorenya juga banyak yang ikut ekstrakulikuler. Saya pikir-pikir, kalau saja bisa membuka rental video game tentunya bakal rame. Tapi harga alatnya mahal juga, sementara uang kami sudah terpakai untuk modal warung nasi.

Dharmawati menghitung-hitung, untuk satu set video game butuh setidaknya satu setengah jutaan. Itupun tivinya yang bekas, ditambah dua atau tiga puluhan kaset permainan. Butuh sekitar dua jutaan. Kalau Dharmawati hanya mengirim satu juta, itu karena hanya sebatas itulah kemampuannya saat ini. Menurutnya satu juta cukup membantu. Setidaknya sudah bisa menjadi pemicu semangat Cut Nya’ untuk memulai rencananya.
Dilihatnya kalender di dinding. Dikira-kiranya lama pengiriman lewat kantor pos. Paling lambat minggu depan wesel itu sudah sampai di tangan Cut Nya’. Kalau cepat tanggap, dalam dua minggu ke depan vidoe gamenya sudah mulai beroperasi. Dan Dharmawati tinggal menunggu kabar baik berikutnya.
Sepuluh hari kemudian surat Cut Nya’ datang.

Dharmawati sahabatku,
Saya sudah terima weselmu. Aduh, saya terkejut. Kaget bukan main. Kamu hanya sahabat, itupun sahabat pena. Bukan saudara, bukan famili, tapi perhatianmu begitu besar. Saya tidak pernah mengira kamu akan mengirimiku uang sebesar itu. Sampai sekarang wesel itu masih saya simpan. Belum saya tukarkan ke kantor pos. Saya takut tidak bisa mengembalikan uangmu. Seumur hidup belum pernah saya meminjam uang sebesar itu dari orang lain. Kalau besok-besok saya mati mendadak ditembak GAM, siapa yang harus membayar hutang itu kepadamu?
Cepat balas surat ini, sahabatku. Supaya pikiran saya tenang.


Dharmawati tersenyum membaca surat sahabatnya.
Selalu saja Cut Nya’ punya perasaan bersalah terhadapnya. Memang baru sekali ini Dharmawati mengirimi uang, tapi sudah sering ia mengirimkan apa-apa yang bisa berguna bagi Cut Nya’. Majalah-majalah, kliping berita, kaset, buku bacaan, pakaian bekas layak pakai, atau sekedar makanan ringan. Dan semua itu dikirimkan tanpa maksud lain kecuali sebagai tanda persahabatan.
Tidak lebih tidak kurang.
Dan tidak menghalangi niat Dharmawati membalas surat sahabatnya.


Rumiyati sahabatku,
Kamu tidak perlu risau dengan kiriman uang itu. Saya mengirimkannya karena saya percaya akan berguna. Sekecil apapun jumlahnya akan tetap berguna. Dan saya tahu kamu akan memanfaatkannya baik-baik. Paling tidak bisa menjadi modal awal membuat rental video game seperti rencanamu.
Jangan pikirkan benar tentang pengembaliannya.
Saya mengirimkannya sebagai bantuan, bukan pinjaman. Segera uangkan wesel itu. Segera gunakan untuk mewujudkan rencanamu. Saya cuma ingin mendengar bahwa usahamu berhasil. Bahwa usahamu lancar.
Jangan pusingkan soal uang pinjaman. Kalau usahamu sudah berjalan dan untungnya lumayan, baru kamu boleh berhitung. Bisa mengembalikan uang itu akan saya terima. Dicicil juga bisa. Tapi kalaupun tidak dikembalikan juga tidak apa-apa. Saya tidak memikirkan betul. Bahkan seandainya kami mati setelah menguangkan wesel itu, saya anggap kiriman itu tidak pernah ada.


Surat balasan itu dikirimkan lewat kilat khusus.
Tinggal menunggu tiga empat hari, Cut Nya’ pasti akan menerimanya. Dharmawati berharap Cut Nya’ memahami maksudnya. Segera menguangkan wesel itu dan memulai usahanya. Bagi Dharmawati tidak ada kebahagiaan melebihi itu.
“Selamat berusaha, sahabatku. Semoga sukses selalu bersamamu,” doa Dharmawati bersungguh-sungguh.
Tuhan mendengar doa tulus Dharmawati. Kilat khusus itu diterima Cut Nya’ empat hari kemudian. Cut Nya’ bergegas menguangkan wesel itu ke kantor pos terdekat. Tapi harapan Dharmawati tidak sepenuhnya dikabulkan. Cut Nya’ terjebak kontak senjata yang mendadak pecah di jalan raya persis di depan kantor pos. Orang-orang berteriak gaduh sambil menyebutkan adanya serangan GAM terhadap truk tentara yang saat itu melintasi pasar. Cut Nya’ berusaha berlindung di balik tembok pagar. Dan sebelum menyadari di mana posisi GAM dan di mana posisi tentara, sebutir peluru telah menembus kepalanya.
Tidak jelas peluru siapa yang merenggut nyawa Cut Nya’. Bisa peluru tentara, bisa peluru GAM. Orang-orang tidak mempedulikan benar. Mereka hanya bisa menyaksikan tubuh kurus Cut Nya’ terkapar bersimbah darah di halaman kantor pos. Orang-orang hanya bisa menunggu sampai kontak senjata selesai. Bukan hanya untuk mengurus jenazah Cut Nya’ tapi juga untuk berebut mengambil sejuta rupiah yang berhamburan bercampur darah....


Sibolga, akhir Desember 1994


Antara Merak dan Bakaheuni

23.30 WIB.
Wibi terbangun dengan perasaan aneh. Diliriknya arloji, sudah setengah duabelas. Dilihatnya jam dinding besar di tengah ruangan yang juga menunjukkan angka yang sama. Berarti arlojinya tidak salah. Tetapi kenapa kapal belum juga merapat?
Penumpang tidak begitu padat. Sebagian besar tertidur pulas di atas bangku masing-masing. Mereka dengan nyaman tidur meluruskan kaki di atas bangku berlapis kulit yang lembut. Tapi apakah mereka tidak sadar mustinya ferry sudah merapat sejak satu setengah jam yang lalu?
Wibi ingat persis kapal tadi berangkat dari Merak pukul delapan malam. Dengan lama perjalanan sekitar dua jam mustinya pukul sepuluh sudah merapat di Bakaheuni. Tapi ini, sudah setengah dua belas masih di tengah laut!
Agak terhuyung Wibi mendekat ke tepi kapal. Angin laut menerpa kencang. Suara ombak berdebur keras menghantam dinding kapal. Wibi mengamati dengan cermat gerakan air jauh di bawah kakinya. Dilihatnya berkeliling. Tidak ada kapal lain yang melintas. Tidak ada setitik cahaya pun yang nampak. Sesaat Wibi menyadari – seratus persen yakin – kapal ferry yang ditumpanginya tidak bergerak.
“Jam berapa, Pak?”
Wibi memandang laki-laki yang agaknya juga baru terbangun dari tidurnya. Ikut-ikutan memandang laut dari tepian kapal.
“Bakaheuni masih jauh ya, Pak?”
Wibi mengusap wajahnya yang basah kena tempias air. “Bapak sudah pernah naik feri?”
“Baru sekali ini, Pak.”
Pantas, gumam Wibi. Pantas kalau tidak bisa membedakan kapal yang bergerak dengan kapal yang berhenti. Pantas kalau tidak tahu di mana Merak di mana Bakaheuni. Wibi ingin menjelaskan tapi merasa percuma. Mungkin memang ada kerusakan mesin atau ada masalah teknis di dermaga Bakaheuni sehingga kapal membuang jangkar di tengah laut.


24.00 WIB.
Kelihatannya penumpang lain tidak merasakan ada yang tidak beres. Sebagian yang terkantuk-kantuk mungkin mengira kapal masih dalam perjalanan ke Bakaheuni. Sebagian yang baru pertama kali naik ferry mungkin mengira perjalanan Merak-Bakaheuni memang memakan waktu empat sampai lima jam.
Wibi memilih duduk di bar dan memesan secangkir kopi. Ada dua orang lagi di sebelahnya yang juga sedang menikmati secangkir kopi – satu di antaranya kopi susu. Yang minum kopi tampak gelisah. Terlihat dari seringnya melihat jam tangan.
“Kapalnya tidak jalan ya, Mas?” tanya Wibi kepada petugas yang mengantarkan kopinya.
Laki-laki yang gelisah mendekatkan kopinya, menggeser duduknya mendekati Wibi.
“Menurut Bapak kapalnya tidak jalan kan?” tanyanya.
“Ya.”
“Saya juga merasa begitu. Dari tadi saya sudah curiga.”
Wibi mengaduk kopinya. “Seharusnya jam sepuluh tadi kita sudah sampai. Ini sudah lewat jam dua belas. Sudah terlambat dua jam. Air lautnya juga tidak bergerak.”
Keduanya sama-sama melihat petugas bar.
“Saya juga kurang tahu, Pak!” katanya tergesa. “Tidak ada pemberitahuan apa-apa dari kapten. Mungkin dermaga penuh jadi kapal belum bisa sandar.”
Wibi menggeleng pelan. “Saya pernah mengalami kapal menunggu giliran merapat. Memang bisa berjam-jam. Tapi biasanya lampu-lampu pelabuhan sudah kelihatan. Ini jangankan lampu dermaga, lampu kapal lain pun tidak ada. Feri yang bolak-balik Merak-Bakaheuni kan banyak. Masak satu pun tidak kelihatan!”
“Jangan-jangan kapal kita terbawa arus!”
“Bisa jadi, kalau mesin kapal mati. Tapi masak sih tidak ada pengumuman apa-apa. Atau setidaknya minta bantuan kapal lain.”
“Kaptennya ini yang tidak becus!”
“Ya. Kita penumpang disamakan dengan barang saja!”
Wibi merasa menemukan teman bicara yang cocok. Diperhatikannya laki-laki yang memaki-maki kapten. Masih muda. Tampangnya masih seperti mahasiswa. Walau memakai topi tetap kelihatan rambutnya dipotong pendek. Ada sejumput jenggot di bawah dagunya.
Laki-laki itu juga melihat ke arah Wibi. Mengulurkan sebungkus rokok.
“Terimakasih,” Wibi mengambil sebatang. “Mau kemana?”
“Bandar Lampung.”
“Bawa mobil sendiri atau....”
“Tidak. Saya ikut bis sampai Bakaheuni. Nanti ada teman yang menjemput.”
Wibi menyalakan rokoknya. Menghisap kuat-kuat. “Sudah kerja?”
“Baru lulus elektronika. Ini mau nengok keluarga. Bapak sendiri?”
“Saya kerja di Pekanbaru.”
“Sering naik feri ya, Pak?”
“Selalu,” Wibi menikmati hembusan asap rokoknya. “Tiga bulan sekali saya pulang ke Bogor menengok keluarga. Selama ini kalau naik feri baik-baik saja. Kalau telat biasanya suka ada pengumuman. Tapi sekali ini berbeda. Kapalnya tidak sampai-sampai, pengumuman tidak ada, awak kapalnya pun entah pada kemana. Coba perhatikan, dari tadi tidak ada petugas yang kelihatan, kan?”
“Brengsek memang!”


00.20 WIB.
“Merokok lagi, Pak?”
Wibi menggeleng. Ia hanya merokok sesekali saja, hanya pada saat-saat gelisah seperti malam itu. Tapi kenalan barunya itu nampaknya perokok berat. Asapnya tidak berhenti mengepul. Cara menghisapnya pun terburu-buru sambil sesekali melihat jam tangan.
“Kasihan teman saya kelamaan menunggu di Bakaheuni.”
“Ditelpon saja. Ada wartel satelit di kapal.”
“Tidak usah,” ia menggeleng. “Teman saya itu kritis. Kalau saya bilang kapalnya telat dia pasti tanya sebabnya. Kita sendiri belum tahu kenapa kapalnya terlambat. Mau tambah kopinya, Pak?”
“Tidak, terimakasih,” Wibi menolak. “Siapa namamu?”
“Riko,” sahutnya pendek.
“Begini, Rik. Saya Wibi. Saya juga kesal karena perjalanan ini mulai menjengkelkan. Jadi bagaimana kalau kita cari petugasnya. Kita tanyakan ada apa sebenarnya.”
Riko mendadak gembira. “Ya, ya, boleh juga. Ayo kita cari mereka,” lalu memanggil petugas bar. “Berapa semuanya, sama kopi Bapak ini juga. Bagian informasi di sebelah mana?”
“Di dek atas, Pak. Dekat ruangan kelas satu.
“Yang pake AC itu?”
“Ya.”


00.45 WIB.
Tidak sulit menemukan ruangan yang dimaksud. Ada tulisan information dalam neon box warna oranye di atas pintu. Seorang berseragam tertidur di bangku putar. Riko menepuk pundak orang itu perlahan, tapi cukup untuk membuatnya terbangun gelagapan.
“Ada apa, Pak?” suaranya gagap sambil mencoba duduk sempurna.
Wibi menunggu agar kesadaran petugas itu pulih dulu. Kemudian dengan hati-hati berkata, “Kami ingin tahu kenapa kapalnya tidak sampai-sampai. Kapal ini juga tidak bergerak. Kalau bergerak mustinya sejak dua jam yang lalu kita sudah sandar di Bakaheuni.”
“Iya, Pak!” Riko menimpali. “Bapak jangan diam-diam saja dong. Kami ini penumpang, bukan barang. Kalau kapalnya ada kerusakan mesin kasih tahu dong!”
“Iya, iya Pak....” petugas itu makin tergagap. “Saya mengerti....”
“Mengerti apa!” suara Riko meninggi.
Wibi menahan badan Riko. Dibacanya label nama yang tersemat di dada petugas itu.
“Pak Kadir,” Wibi mencoba bersikap ramah. “Kami hanya ingin tahu ada apa sebenarnya. Kami tahu Bapak cuma karyawan di sini, tapi kami kan juga punya hak untuk diberi tahu. Karena kami ini membayar. Berarti kami wajib dilayani. Bukannya dibiarkan menunggu-nunggu seperti ini....”
Petugas bernama Kadir itu mulai tenang. Wajahnya diusap beberapa kali sambil menatap wajah Wibi dan Riko berganti-ganti.
“Terimakasih kalau Bapak-Bapak mau mengerti. Sebenarnya saya pun tersiksa dengan keadaan ini. Saya juga ingin cepat sampai di Bakaheuni, ingin cepat istirahat di rumah karena ini shift terakhir saya.”
“Ya, ya....” Riko tidak sabar.
“Saya juga ingin memberitahu penumpang, tapi kapten melarang.”
“Kenapa?”
“Sebetulnya mesin kapal kita memang rusak, Pak.”
Wibi dan Riko mengeluh hampir bersamaan. Riko bahkan memukul meja.
“Satu jam setelah Merak, penggerak baling-baling utama tidak berfungsi. Sampai sekarang mekanik kami masih memperbaiki.”
“Sampai kapan?”
“Belum tahu, Pak. Kerusakannya belum ketemu.”
“Kalau begitu kenapa kita tidak minta bantuan kapal lain?”
Kadir memandang Wibi lekat-lekat. “Susah, Pak. Kapal ini sudah terseret arus sekitar duabelas mil dari jalurnya.”
“Mati kita!” tanpa sadar Wibi memaki. “Pantas sejak tadi tidak kelihatan ada kapal lain!”
“Betul, Pak. Mereka tahu kondisi kita tapi tidak bisa membantu karena harus terus sesuai jadwal.”
Wibi dan Riko saling berpandangan.
“Kalau Bapak-Bapak sudah tahu, mohon jangan memberi tahu penumpang lain. Nanti mereka panik. Nanti saya kena marah kapten. Mohon, Pak....”
Senyap. Tak ada yang bersuara.
Riko berkali-kali melihat jam tangannya.
“Jadi sampai kapan kita harus begini, Pak Kadir?”
“Kami sudah kontak Merak. Mereka sudah kirimkan bantuan mekanik dan spareparts yang diperlukan.”
“Mereka sudah berangkat?”
“Setengah jam yang lalu.”
“Kira-kira berapa lama perbaikannya?” Riko mengulangi pertanyaannya.
“Anginnya kencang, Pak. Paling cepat mereka sampai sini jam dua nanti. Pasang sparepart-nya juga butuh waktu. Mudah-mudahan setengah empat sudah normal lagi.”
“Setengah empat!” suara Riko keras sekali.
Beberapa penumpang terbangun. Sebagian melihat ke arah Riko yang memukul-mukul dinding. Wibi menepuk pundak teman barunya itu, mengajak mencari udara segar di luar ruangan.
“Sudahlah. Tidak ada gunanya marah-marah. Kita tunggu saja. Ayo kita minum kopi lagi.”
Riko menggeleng.
“Atau kamu mau telpon temanmu itu? Ayo kita ke wartel.”
Riko kembali menggeleng. Kali ini sambil mengacak-acak rambutnya.
Wibi melihat ke arah petugas berseragam itu. “Pak Kadir, beritahu kapten supaya cepat memperbaiki apa yang rusak. Dan penumpang diberi tahu supaya mereka tidak mendapat informasi yang salah. Kalau sampai jam tiga nanti tidak ada perkembangan apa-apa, jangan salahkan kami kalau membawa orang lebih banyak lagi ke sini.”
“Ya,” Riko menunjuk tajam. “Beritahu juga kaptenmu, kalau sampai pagi kapal belum juga sampai Bakaheuni, dia yang harus bertanggung jawab!”


01.00 WIB.
Akhirnya terdengar suara Pak kadir melalui pengeras suara yang memberitahukan kepada para penumpang bahwa ferry mengalami kerusakan mesin. Sebagian penumpang terkejut, sebagian menggerutu, sebagian yang lain melanjutkan tidurnya.
Riko terus-terusan merokok dan mengumpat entah kepada siapa.
Wibi berbaring sambil mencoba tidur kembali.


02.00 WIB.
Dari pengeras suara terdengar informasi bahwa kapal pembawa mekanik sudah tiba. Juga diberitahukan kepada penumpang yang tidak membawa kendaraan atau tidak ikut kendaraan umum bisa pindah ke kapal itu karena akan langsung ke Bakaheuni.
“Sekali lagi,” begitu terdengar berita ulangan. “Kepada penumpang yang bepergian tanpa menggunakan kendaraan – baik umum maupun pribadi – dapat pindah ke kapal yang sebentar lagi merapat. Harap bersiap-siap di sisi kanan kapal. Bagi yang membawa kendaraan pribadi atau ikut angkutan umum diminta untuk tetap berada dalam kapal!”
Wibi terbangun dan melihat Riko mengguncang-guncang lengannya.
“Ayo, Pak Wibi, kita pindah ke kapal itu. Biar lebih cepat sampai Bakaheuni.”
Wibi ragu-ragu.
“Ayolah, Pak. Ngapain berlama-lama kita di sini. Pagi nanti belum tentu kapal ini sudah sampai Bakaheuni.”
Wibi menggeleng.
“Tidak usah, Rik. Saya di sini saja. Saya ikut bis umum. Males kalau nanti musti cari-cari lagi di terminal.”
“Jangan kuatir. Nanti saya temani Bapak di terminal. Kita minum kopi sampai kapalnya datang.”
Wibi tetap menggeleng.
Dilihatnya banyak penumpang yang bersiap-siap pindah kapal. Mereka berbaris antri menuju sisi kanan. Lalu ada lagi pengumuman bahwa kapal bantuan sudah merapat.
Lalu pengumuman kapal bantuan akan berangkat sepuluh menit lagi.
Riko masih mengulurkan tangannya. Dan Wibi masih ragu-ragu.
Akhirnya Riko menyalami Wibi erat-erat. “Baiklah kalau begitu, saya tidak bisa memaksa. Mudah-mudahan kita nanti bisa ketemu lagi. Terimakasih dan selamat jalan, Pak!”


04.00 WIB.
Wibi terbangun dengan perasaan tidak enak. Masih teringat samar-samar dalam pandangannya saat beberapa jam lalu Riko meloncat ke kapal bantuan. Gerimis dan angin kencang mengaburkan pandangan. Tapi sesaat Wibi masih sempat melihat Riko melambaikan tangan ke arahnya.
Wibi membalas dengan salam hormat.
Dan salam hormat itu pula yang dilihat Wibi sekarang. Beberapa orang berseragam tampak bergegas menaiki kapal. Lampu suar berukuran besar menyorot ke sana ke sini. Sebentuk kapal cepat muncul dari sisi kanan.
Ada apa ini?
Wibi melihat sambil menahan silau.
Dari pengeras suara terdengar perintah agar penumpang satu persatu pindah ke kapal cepat. Wibi mencari Pak Kadir tapi ruang informasi sudah kosong. Yang ditemui justru petugas berseragam lain yang menyuruhnya segera pindah.
Ada apa ini?
Suara gaduh penumpang membuat Wibi urung menuruni tangga menuju dek bawah. Apalagi supir-supir bis beserta keneknya yang menunggu di palka bawah kini justru berbondong-bondong naik ke dek atas. Di antara tangisan anak-anak dan kepanikan ibu-ibu, Wibi mendengar kata bom diucapkan berkali-kali.
Bom?
Belasan petugas dengan rompi hitam bertuliskan GEGANA saling bersicepat memasuki dek atas. Suara sepatu berderap ke mana-mana. Beberapa perwira saling berbicara lewat handy talky entah dengan siapa.
Wibi meloncat ke kapal cepat bersamaan dengan bunyi sirene meraung-raung.


Pagi pukul 06.30 WIB.
Di salah satu rumah makan di Terminal Bakaheuni, Wibi menghirup kopinya lambat-lambat. Layar tivi di sudut ruangan menyiarkan breaking news tentang ditemukannya sebuah bom di salah satu ruang mesin kapal ferry yang mengalami kerusakan dalam perjalanan Merak-Bakaheuni. Bom tersebut diatur akan meledak tepat saat sholat subuh pada pukul 04.10 tetapi berhasil dijinakkan oleh regu Gegana.
Berita itu diulangi setiap sepuluh menit sekali.
Pada tayangan ketiga disebutkan bahwa kerusakan kapal berhasil diperbaiki. Terlihat juga gambar beberapa petugas berseragam membawa kotak hitam yang katanya berisi bom untuk dibawa ke Puslabfor Polri untuk penyelidikan lebih lanjut. Wibi sempat tersenyum manakala mengenali wajah Pak Kadir saat diwawancarai reporter tivi.
Satu jam kemudian pengeras suara terminal memberitahukan bahwa kapal yang rusak sudah selesai diperbaiki dan sebentar lagi merapat di dermaga. Penumpang yang sudah berada di dermaga diminta menunggu bis masing-masing di terminal pelabuhan. Dari kejauhan Wibi melihat puluhan wartawan dan fotografer berjejalan di tepi dermaga.


Siang pukul 11.30 WIB.
Sepanjang perjalanan menuju Pekanbaru, Wibi memilih tidur daripada membicarakan soal bom di atas ferry seperti yang dilakukan hampir seluruh penumpang bis. Ia teringat Riko yang saat ini mungkin juga sedang tertidur di rumahnya di Bandar Lampung sana. Atau mungkin juga sedang terkaget-kaget menonton berita penemuan bom itu dari layar tivi.


Besoknya pukul 07.15 WIB.
Wibi mengambil Riau Pos yang tergeletak di teras depan sambil tetap membawa cangkir kopinya. Berita utama pagi itu masih tentang penemuan bom sehari sebelumnya. Ditambah perkembangan-perkembangan baru dari hasil penyelidikan polisi atau hasil penelusuran wartawan. Salah satu headline menyebutkan adanya lima tersangka yang katanya sudah diketahui identitasnya dan sedang dalam pengejaran pihak berwajib.
“Dua orang terlihat ikut dalam perjalanan kapal feri,” kata humas Polri seperti dikutip koran tadi. “Sketsa kelima tersangka sudah dibuat berdasarkan keterangan saksi-saksi dan akan disebarkan untuk mempermudah pencarian.”
Wibi mengambil remote tivi dan menyalakan liputan pagi. Tampak Kapuspen Polri duduk dikerubuti puluhan wartawan dengan mike dan kamera yang saling berebut tempat persis di depannya. Tangan Kapuspen memegang kertas bergambar sketsa para tersangka dan memperlihatkan satu persatu. Tiga sketsa pertama tidak mengusik perhatian Wibi. Baru pada sketsa keempat Wibi menghela napas karena perkiraannya tepat.
Sketsa itu mengingatkannya pada Riko.
Yang ke lima pasti sketsa teman Riko yang katanya sudah menunggu di Bakaheuni. Wibi menduga ke situ. Tapi dugaannya meleset – dan itu membuat kopinya tertumpah – karena sketsa ke lima ternyata mirip dengan dirinya!


musim teror, 1998

Kabar Dari Rimba

Kabar bahwa proyek tempat Trisnadi bekerja sedang mendapat masalah sudah lama terdengar. Mula-mula dari siaran di tivi. Dalam salah satu liputannya, penyiar berdiri di depan tumpukan kayu bulat. Di kiri kanannya belasan kepala seperti berebut melihat ke arah kamera.
“Pemirsa,” kata si penyiar. “Seperti yang Anda saksikan sekarang, di belakang saya adalah tumpukan kayu hasil produksi PT. Timber Jaya, salah satu perusahaan HPH besar di Sumatera Utara yang belakangan ini mendapat kecaman dari masyarakat di sekitarnya. Penduduk keempat desa menganggap perusahaan telah menyebabkan rusaknya hutan mereka, keringnya sumber air, datangnya banjir dan longsor, serta tidak memberikan manfaat apa-apa bagi pembangunan desa....”
Lalu kamera perlahan-lahan menyorot lahan-lahan kosong bekas penggundulan hutan. Tunggul-tunggul kayu tampak menghitam, bersaing di antara selimut asap yang terus mengepul. Seorang tokoh masyarakat yang diwawancarai dengan berapi-api berkata, “Pokoknya kami masyarakat desa tidak menghendaki kehadiran perusahaan itu di desa kami lagi! Mereka nyata-nyata telah merusak hutan warisan leluhur kami! Kami menuntut HPH ditutup! Kami minta ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan!”
Setiap kalimat tokoh masyarakat tadi disambut teriakan dan yel-yel belasan orang di sekitarnya.
Saat itu Trisnadi Tua – ayahanda Trisnadi – mulai merasa ada yang tidak beres dengan perusahaan anaknya. Keingintahuannya bersambut manakala beberapa hari kemudian anaknya menelpon ke rumah.
“Mereka sekarang memblokir perusahaan, Pak.”
“Memblokir?”
“Ya,” suara Trisnadi terdengar parau. “Mereka melarang karyawan bekerja. Melarang menghidupkan alat-alat berat. Sungai yang menjadi sarana transportasi mereka halangi dengan perahu. Tidak boleh ada yang keluar ataupun masuk.”
“Sampai kapan?”
“Sampai tuntutan mereka dipenuhi.”
“Mereka menuntut apa?”
“Banyak, Pak.” Di ujung sana seperti terdengar suara kertas dibuka. “Mereka minta fee dari setiap kubik kayu yang dijual, minta dibangun tanggul penahan tepian sungai, minta didirikan sekolah, minta karyawan seluruhnya dari warga setempat, dan entah apa lagi yang saya pun kadang kurang paham. Nilai totalnya mencapai dua puluh milyar....”
Trisnadi Tua menggumamkan dua puluh milyar dalam batinnya.
“Dan perusahaan setuju?”
“Sedang dirundingkan. Tapi kelihatannya susah karena perusahaan sendiri juga sedang banyak masalah.”
“Masalah apa lagi?”
“Penebangan liar di dalam areal perusahaan tambah banyak. Merajalela dan susah dikontrol.”
“Siapa yang mengambil?”
“Ya orang-orang kampung itu juga. Mereka menebang pohon di sekitar areal tebang kami. Repotnya banyak karyawan yang ikut terlibat. Banyak yang ikut jadi pencuri. Operator chainsaw menebang untuk mereka, operator dozer membantu menarik kayu curian ke pinggir jalan. Setelah dipotong-potong, dimuat ke truk perusahaan dan diantar ke tepi sungai.”
“Lho, kok karyawan itu mau?”
“Karena mereka dapat duit tunai dari situ. Bapak tahu sendiri gajian belakangan ini sering terlambat.”
“Apa perusahaan tidak menindak karyawan yang terlibat?”
“Sudah, sudah banyak yang dipecat. Tapi tidak ada kapoknya.”
“Orang kampung yang mencuri kayu itu tidak ditangkap?”
“Sudah juga, tapi percuma. Siang satu orang ditangkap, malamnya satu truk fuso datang ke camp, minta temannya dibebaskan.”
Trisnadi Tua menggeleng-gelengkan kepalanya.
Trisnadi – anaknya – di ujung yang lain menggaruk-garuk kepalanya.
“Jadi bagaimana rencanamu, Nak?”
“Kami menunggu perkembangan. Kalau keadaannya semakin memburuk, apa boleh buat, kami akan meninggalkan proyek.”
“Ya, lebih baik begitu. Apalagi kamu bukan orang situ. Sejak ribut-ribut otonomi daerah, pribumi selalu merasa lebih penting daripada pendatang. Kalau ada apa-apa kalian pulang saja. Akan lebih baik buat kalian, dan lebih menentramkan hati kami.”
“Ya, Pak.”
Keduanya meletakkan gagang telpon dengan perasaan gundah. Yang tua gelisah memikirkan anaknya. Yang muda gelisah bagaimana menghidupi keluarga kalau nanti terpaksa meninggalkan proyek. Mereka memang belum punya anak, tapi istrinya juga bukan seseorang yang bisa diajak prihatin.
Ketika sebulan kemudian terbaca berita bahwa base camp PT. Timber Jaya dibakar oleh massa yang marah, Trisnadi Tua hanya bisa mengucap doa dalam hati. Perundingan demi perundingan akhirnya tidak membawa hasil. Masyarakat desa tidak bisa membendung kekesalannya. Dalam waktu kurang dari dua jam, markas Timber Jaya hangus menjadi abu. Enam puluh brimob yang disiagakan tidak bisa berbuat banyak. Mereka diam saja memandangi bangunan camp luluh lantak satu persatu diiringi pekik kemenangan masyarakat desa. Demikian terulis di salah satu koran nasional. Agak bombastis memang, tapi itu biasa.
Trisnadi Tua berdoa dan terus berdoa.
Berdoa untuk keselamatan anak dan menantunya. Berdoa untuk keselamatan karyawan lainnya. Dan doanya seolah dikabulkan karena dua minggu kemudian anaknya menelpon dan mengabarkan sedang dalam perjalanan ke Jawa.
“Pulanglah, Nak. Selalu ada tempat untuk kalian di sini.”
Tidak ada yang perlu diharapkan dari seseorang yang mengalami kekalahan di rantau. Trisnadi Tua menyambut anak dan menantunya dengan lapang dada. Ditepuk-tepuknya punggung Trisnadi yang terus minta maaf karena tidak membawa apa-apa.
“Semuanya habis, Pak. Semuanya habis terbakar.”
“Tidak usah memikirkan itu. Kalian bisa pulang dengan selamat sudah merupakan oleh-oleh paling berharga dari Yang Maha Kuasa.”
Kedatangan Trisnadi menjadi ajang reuni keluarga besar mereka. Famili jauh dan dekat datang menyalami dan memberikann hiburan agar keduanya tabah menghadapi cobaan hidup. Terutama karena Trisnadi terus menerus bercerita tentang rumahnya yang hangus, surat-surat penting yang musnah, perhiasan istrinya yang tidak terselamatkan, dan angan-angannya yang terbang bersama gumpalan asap ke udara.
“Tidak usah dipikirkan. Harta yang hilang bisa dicari. Semua itu hanya titipan Tuhan. Yang penting kalian selamat, sehat wal afiat, itu lebih berarti.”
“Kami sudah tidak punya apa-apa.”
“Kalian masih punya kami, sanak famili dan kerabat. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu. Sabarlah. Tawakallah. Kalau kita sabar dan tawakal, Tuhan akan memberikan lebih banyak daripada apa yang telah diambilnya.”
“Ya, Pak. Terimakasih....”
Sampai lewat tengah malam mereka masih ngobrol di ruang tengah. Sanak famili yang datang silih berganti membuat Trisnadi harus mengulangi lagi cerita yang sudah diceritakan sebelumnya. Disambung dengan mendengarkan nasehat dan penghiburan yang juga sudah didengar sebelumnya. Kalau saja Trisnadi Tua tidak mengingatkan bahwa larut telah lewat, barangkali cerita dan nasehat masih akan terus berulang.


Di kamar yang disediakan untuk Trisnadi dan istrinya, kesunyian tidak membuat keduanya segera terlelap. Mereka masih terjaga ketika kokok ayam terdengar untuk pertama kalinya. Trisnadi menyulut rokoknya yang ke sekian, sambil tetap membiarkan kepala istrinya terbaring di atas pangkuan.
“Mas....” bisik istrinya.
“Ya?”
“Apa tidak lebih baik kita berterus terang saja?”
Trisnadi menggeleng. “Tidak sekarang. Belum saatnya.”
“Saya merasa tidak enak.”
“Memang. Tapi kalau berterus terang malah lebih tidak enak lagi.”
Trisnadi mengisap rokoknya kuat-kuat. Bara api yang memercik mengingatkannya pada bunga api yang berloncatan di atas bubungan rumah. Bunga api yang hanya bisa dilihat dari kejauhan karena Trisnadi sudah dipecat secara tidak hormat karena terbukti menjual kayu pada penebang liar. Gergaji mesinnya disita sebagai bukti. Upahnya dipotong sebagai ganti rugi. Hanya uang jalan sekedarnya yang diberikan perusahaan sebagai bekalnya kembali ke kampung. Bahkan sebagian perhiasan istrinya dijual untuk menambah ongkos pulang.
Tidak ada pesangon.
Tidak ada surat keterangan berhenti.
Yang ada hanya rasa bersalah karena harus meninggalkan proyek justru ketika teman-temannya berjuang menghadapi masalah. Kabar pembakaran itu sendiri baru didengar Trisnadi sore harinya, ketika sudah berada di pasar kecamatan. Dan diperjelas dengan membeli koran-koran yang memuat berita itu keesokan harinya.
“Kliping koran tentang pembakaran itu masih kamu simpan?”
“Masih. Ada di dalam koper.”
“Jangan sampai hilang. Nanti kita memerlukannya.”
Istrinya mengangguk.
Trisnadi masih merokok ketika kokok ayam terdengar untuk kedua kalinya.

Pengantin Baru

Ada berita yang menghebohkan di kampung kami: Antonius Marbun disunat!
Berita itu barangkali tidak akan begitu menghebohkan kalau sekiranya Antonius Marbun sunat karena alasan kesehatan. Tapi ini, Antonius Marbun yang Kristen, sunat karena ingin masuk Islam.
Maka kelompok Muslim berkata : “Alhamdullilah, kita kedatangan tambahan satu orang umat lagi.”
Sementara kelompok Nasrani secara sinis mencibir, “Ah, apa pula maunya Si Marbun itu. Macam tak ada saja orangtuanya.”
“Kudengar orangtuanya di Siantar sana memang tidak diberi tahu.”
“Tentu saja. Kalau diberi tahu mana mungkin diijinkan.”
Cerita pun berkembang dari mulut ke mulut. Kedua belah pihak – baik kelompok Muslim maupun kelompok Nasrani – saling membicarakan. Tindak tanduk Marbun yang baru saja disunat menjadi bahan pembicaraan di mesjid dan di gereja. Dan selalu saja ada yang menambahi sedikit-sedikit. Apalagi empat hari setelah sunat, Marbun masih harus bersarung ke mana-mana. Kata sumber yang selalu saja katanya bisa dipercaya, kemaluan Marbun terus mengeluarkan darah.
Maka kelompok Nasrani berkata, “Itulah kalau tidak menurut kata natua-tua. Tidak mendengarkan kata yang tua-tua. Sunatnya tidak sembuh-sembuh karena tak ada restu dari orangtua.”
Kelompok Muslim menghibur dengan berkata. “Sabarlah, Nak Marbun. Inilah salah satu bentuk cobaan dari Allah. Coba panggil lagi mantrinya. Suruh periksa kenapa lukanya tidak sembuh-sembuh.”
Maka mantri pun dipanggil. Setelah memberi obat yang katanya untuk mempercepat mengeringnya bekas luka, Pak Mantri berkata, “Coba untuk sementara jangan dekat-dekat pacarmu dulu.”
Yuniwati yang saat itu berada di situ kontan memerah wajahnya. Selama ini memang terdengar kabar bahwa Antonius Marbun berpacaran dengan Yuniwati. Tapi katanya pula orangtua Yuni kurang setuju karena perbedaan agama di antara keduanya.
Maka perbincangan pun meluas. Headline terbaru menyebutkan bahwa Antonius Marbun masuk Islam supaya bisa menikahi Yuniwati. Dan karena pernyataan ini tidak dibantah – baik oleh Marbun maupun oleh Yuniwati – maka gosip pun semakin ramai.
Kelompok Muslim mengangguk setuju ketika salah seorang tokohnya berkata. “Kita harus memberikan dukungan moral kepada Marbun. Ia rela meninggalkan akar budayanya untuk bergabung dengan kita. Coba bayangkan betapa berat beban yang harus ditanggung. Keluarganya akan mengucilkan. Kerabatnya akan mencemooh. Ia bahkan mungkin akan kehilangan hak atas warisan yang menjadi bagiannya.”
Sementara yang Nasrani makin berapi-api. “Pindah agama hanya untuk kawin? Apa artinya itu? Kalau mau pindah agama ya pindah saja. Pindah karena keyakinan kita. Jangan pindah agama karena wanita. Berapa lama tahannya itu? Coba saja lihat nanti. Kalau ada pertengkaran sedikit, pasti soal itu diungkit-ungkit. Ya kalau di agamanya yang baru dia bisa memberikan contoh yang baik. Kalau sampai berbuat yang tidak baik, nanti malah cuma jadi cemoohan orang!”
“Apa yang dilakukan Marbun memang mengandung resiko. Kalau ia bisa menjadi Muslim yang taat, maka orang akan kagum. Apalagi selama ini Marbun dikenal suka judi dan bermabuk-mabukan. Tapi kalau tidak, artinya Islamnya hanya tempelan saja, kemudian kembali main judi atau mabuk-mabukan lagi, maka yang Muslim akan malu, sementara yang Nasrani akan semakin mencemooh.”
“Tapi kita tidak bisa menyalahkan Marbun begitu saja. Yang sejak lahir mengaku Islam pun tidak keruan sholatnya. Apalagi yang baru masuk.”
Sebagian menggerutu sebagian mengiyakan. Sebagian lagi merasa tersindir.
Kemudian terdengar kabar Marbun akan menikahi Yuni. Acara pernikahan dipersiapkan. Kelompok Muslim membantu sepenuhnya, sementara kelompok Nasrani hanya menonton sambil menceritakan bahwa bekas sunatnya belum sembuh betul. Meskipun Marbun sudah memakai celana panjang, tapi dari jalannya kelihatan sekali ia menahan sakit.
“Marbun, apakah tidak sebaiknya pernikahan ini ditunda sampai sakitmu betul-betul sembuh?” tanya Pak Uztad.
“Tidak usah, Pak Uztad. Saya sudah siap.”
“Saya tidak bisa menjamin sakitmu segera sembuh kalau kamu memaksakan untuk tetap menikah,” sambung Pak Mantri.
“Tidak apa-apa, Pak Mantri. Nanti pasti sembuh.”
Pernikahan pun dilangsungkan secara sederhana karena pihak mempelai pria menolak untuk hadir. Pak Uztad menjadi wali. Dan sampai acara pernikahan selesai tidak ada satu pun undangan dari pihak mempelai pria yang datang atau sekedar menitipkan ucapan selamat.
Selama prosesi pernikahan berlangsung, segenap undangan yang hadir dapat melihat bahwa Antonius Marbun memang belum sepenuhnya sembuh. Jalannya masih tertatih-tatih. Waktu duduk bersila mengucapkan akad nikah pun kelihatan sekali sambil menahan sakit.
Ijab kabul diulang sampai tiga kali.
Sebagian undangan menahan tawa sampai beberapa kali.
“Wah, malam pengantinnya tertunda nih.”
Mempelai wanita pura-pura tidak mendengar.
Meskipun malam itu keduanya tidur dalam satu kamar, orang-orang tahu bahwa malam pertama tidak terlaksana. Apalagi sekitar pukul tiga pagi terdengar rintihan dan erangan dari kamar pengantin. Bukan Yuni yang merintih tapi Marbun! Dan mengerang bukan karena malam pertama melainkan karena lukanya kambuh lagi.
Sampai subuh suara rintihan masih terdengar, diselingi suara pengantin wanita yang menghibur agar terus bersabar. Agar jangan terlalu banyak bergerak supaya lukanya cepat sembuh. Mungkin juga sambil dikipasi karena terdengar suara kertas dikibas-kibaskan.
“Kalau kumpul terus kapan bisa sembuh,” terdengar sindiran nyinyir entah dari mana. “Setiap ketemu pasti tegang. Begitu tegang lukanya kambuh lagi.”
Terdengar tawa riuh menimpali.
”Itulah kalau tidak mau mendengar nasehat orangtua. Disuruh menunda dulu tidak mau. Kalau sudah begini, apa gunanya kawin?”
“Anak jaman sekarang memang susah diatur. Semuanya sudah terbalik. Dulu orangtua mengatur anak. Sekarang anak yang mengatur orangtua.”
Yang mendengar mengangguk-angguk membenarkan.
“Tidak usah didengarkan. Jalani saja rumah tangga kalian sebaik-baiknya. Orang biasa bergunjing. Biasa membicarakan kejelekan orang lain tapi tidak sadar akan kejelekannya sendiri. Tidak perlu dipikirkan betul. Kalau kalian baik-baik, orang akhirnya akan mengerti.”
Pasangan pengantin baru itu mengangguk hampir bersamaan.
Maka hari-hari berlalu seperti biasanya. Kelompok Muslim tetap membimbing agar Marbun menjadi Muslim yang baik. Tiap sore mengajak datang ke mesjid untuk belajar sholat dan mengaji.
“Biasa, masih baru, masih rajin,” sindir kelompok lain.
Yuni juga membiasakan tidak peduli dengan omongan orang. Tiap tiga hari sekali terlihat mandi keramas. Dan pada saat mengeringkan rambut sengaja di depan rumah agar terlihat orang-orang yang lewat.
“Keramas lagi, keramas lagi….” kata remaja-remaja yang lewat menirukan salah satu iklan shampo di tivi.
“Iya, habis suka sih….” Yuni balas menimpali.
Lalu remaja-remaja itu tertawa.
Yuni pura-pura tertawa meskipun sebenarnya sedih karena acara keramas itu cuma kamuflase saja. Cuma akal-akalan. Agar orang-orang mengira bahwa kehidupan rumah tangga mereka normal. Agar mereka tidak menyindir-nyindir lagi.
Toh akhirnya orang-orang tahu bahwa itu semua cuma sandiwara. Kalau malam Marbun masih meringis kesakitan, dan setiap beberapa malam sekali Pak Mantri masih dipanggil. Dirahasiakan bagaimana pun cerita miring selalu lebih gampang tersebar. Entah dari Pak mantri sendiri, entah dari orang yang menemani Pak Mantri, entah dari angin yang berbisik di antara alang-alang, cerita merambat dari mulut ke mulut. Bukan hanya merambat, tapi juga bertambah di sana-sini.
“Kemaluannya melepuh sebesar kepalan tangan!”
“Dari ujungnya keluar nanah!”
“Mungkin infeksi waktu disunat dulu.”
“Bukan! Itu bawaan dari penyakit kotor!”
“Astagfirrullah!”
Marbun terus-terusan meringis, sementara tiap malam Yuni terus-terusan menangis. Kelompok Muslim terus-terusan berdoa, sementara kelompok Nasrani terus-terusan mencela. Akhirnya tidak bisa lagi dibedakan siapa yang meringis dan siapa yang menangis. Doa dan cela masih bisa dibedakan seiring dengan makin memburuknya kondisi Marbun. Badannya mulai diserang demam tinggi. Omongannya mulai tidak karuan.
“Pasti kena santet dia!”
“Bukan santet, itu kualat namanya.”
“Panggil Pak Mantri!”
Pak Mantri datang tergopoh-gopoh diikuti beberapa orang kelompok Pak Uztad. Beberapa orang yang lain menunggu di warung terdekat, berkumpul seperti menunggu hasil akhir pertandingan sepakbola.
Helaan napas Pak Mantri mengubah segala doa menjadi tangis. Marbun tidak meringis lagi. Tubuhnya terbaring kaku. Panas badannya lenyap, berganti menjadi dingin membeku seperti es. Raungan Yuni membangunkan seisi kampung. Tidak bisa lagi dibedakan mana yang Muslim dan mana yang Nasrani, mana yang berdoa dan mana yang mencela. Semuanya sama-sama menangis. Sama-sama meratapi kepergian Marbun.
Menjelang tengah hari tangisan meledak lagi ketika Yuni juga ditemukan terbujur kaku di kamarnya. Mulutnya berbusa, cairan pembasmi serangga tinggal setengahnya. Orang-orang seperti tidak percaya. Sebagian melanjutkan berdoa, sebagian berdiri saja. Sebagian berdoa sambil berdiri. Sebagian lagi berdiri tanpa melakukan apa-apa.
Ketika sore itu jasad keduanya dikubur berdampingan, hampir semuanya mengucapkan doa. Tidak ada lagi terdengar yang mencela. Bahkan hampir tidak terdengar lagi suara tangis. Barangkali persediaan tangis penduduk kampung itu sudah habis….


Hutabuyung, akhir September 2001