Jalan di tempatku tinggal tidaklah terlalu besar, tidak terlalu ramai, dan bukan jalan utama. Tidak banyak yang melewati jalan itu, kecuali mereka yang punya urusan dengan sebuah kantor pensiunan militer. Agaknya – ini kusimpulkan sendiri – jalan itu khusus dibuat karena adanya kantor tadi.
Sekarang saya sudah tidak tinggal di sana lagi. Sekarang saya hapal hampir semua jalan di Kota Bandung – yang petanya tergantung di dinding kamar. Tapi tiga tahun yang lalu, jalan itu adalah satu-satunya pedoman yang bisa dipegang. Itu pun cuma lewat secarik kertas.
“Bawa alamat ini,” kata Bapak. – setelah sebelumnya mendapat alamat itu dari salah seorang temannya yang pernah tinggal di Bandung. “Temukan. Katakan kamu butuh kamar. Jangan lupa menyebut nama Pak Iding. Supaya dapat kamar yang baik.”
Dengan tas besar berisi pakaian, saya terhuyung-huyung turun di Terminal Cicaheum. Bertanya kepada lebih dari empat orang, lebih dari empat kali memasuki jalan yang salah, sebelum akhirnya menemukan tempat yang dicari.
Seperti barak tentara, gumam saya.
Selokannya dipenuhi sampah plastik.
Kepada Ibu-Ibu tua yang membuka pintu, sekali lagi saya musti bercerita dari awal. Bahwa saya diterima kuliah di sebuah akademi swasta di Bandung. Bahwa saya tidak punya famili, tidak punya teman-saudara-kenalan di kota ini, butuh kamar kontrakan, dan memperoleh alamat dari teman Bapak yang bernama Pak Iding.
“Iding siapa?”
“Saya tidak kenal.”
Ibu tua itu saling berpandangan dengan lelaki muda yang muncul kemudian. Berbisik-bisik dalam bahasa Sunda.
“Kami juga tidak kenal.”
“Katanya Pak Iding dulu pernah tinggal di sini sebelum pindah ke Jakarta.”
Berbisik-bisik lagi.
“Kami tidak ingat lagi. Terlalu banyak nama Iding, Ujang, Adang, Asep, Cecep, atau sebangsa dengan itu, yang pernah tinggal di sini. Dan hampir semuanya kemudian pindah ke Jakarta. Kerja, jadi tentara, kuli bangunan, jualan bakso....
Kalau Adik mau tinggal di sini, bisa.
Ada kamar kosong di paviliun. Kunci sendiri. Paling depan dan jendelanya menghadap ke jalan. Tinggal pasang triplek, supaya pisah dari ruang tengah. Bisa dipasang sekarang kalau Adik membayar kontan.”
Kubayar saat itu juga.
Meskipun kenyataannya malam itu masih harus tidur di ruang tengah. Tripleknya baru akan dipasang besok.
Besoknya yang saya lihat di halaman depan bukan cuma triplek dan gergaji, tapi juga papan, kayu, ketam, bangku panjang tenpat menyerut papan, kotak paku, kaleng cat, dan serpihan kayu bertebaran di mana-mana.
Triplek sudah dipasang, sudah dipaku rapi, sementara kesibukan di halaman masih berjalan.
“Bikin apa lagi?”
“Meja pingpong.”
“O....”
Sudah cuma itu.
Tak ada komunikasi lain. Seolah-olah komunikasi hanyalah basa-basi yang tidak perlu. Padahal saya tahu lelaki yang sedang mengukur-ngukur papan itu adalah anak pemilik rumah. Tapi tidak ada keinginan untuk menanyakan namanya, pekerjaannya, anak atau istrinya – kalau memang sudah berkeluarga.
Saya yakin dia pun tahu saya adalah orang yang kemarin datang menanyakan kamar, yang membayar kontan, dan sebentar lagi akan menjadi orang yang sering ketemu. Tapi dia tetap saja tenggelam dalam kesibukannya. Tetap mengukur-ukur. Tidak ingin bertanya siapa nama saya, kuliah di mana, atau sekedar menawarkan rokok.
Mengangkat wajah pun tidak.
“Untuk di mana?”
“Di sini.”
“Dipakai sendiri?”
“Ya. Sama anak-anak. Daripada nganggur.”
Saya mencoba merangkaikan sendiri. Yang dikatakan anak-anak tentu bukan anak kecil sebagaimana biasanya. Paling tidak seumur dengannya, dan itu berarti antara tujuh belas sampai tiga puluh tahun. Karena biasanya pengangguran kenal dengan yang masih sekolah juga yang sudah bekerja. Lagipula kalau ada permainan – apapun wujudnya – selalu melibatkan mereka yang lebih muda dan yang lebih tua umurnya.
“Kreatif juga.”
Cuma itu komentar saya. Tidak menyadari bahwa meja pingpong itulah awal dari bencana. Awal dari trauma yang sampai bertahun-tahun kemudian susah dihilangkan.
Betul-betul awal dari suatu bencana!
Sejak meja pingpong itu jadi, suasana di depan rumah jadi penuh manusia. Yang tadinya sepi jadi hingar-bingar. Sejak itu pula saya terbiasa mendengar tepuk tangan, tawa, gitar yang dipetik sembrono, dan tak-tok-tak-tok semalaman penuh.
Sejak itu pula semua jadwal berubah.
Tidak mungkin belajar sore karena selepas magrib orang-orang mulai berdatangan. Tidak mungkin pulang malam karena jalan dipenuhi tubuh-tubuh bercelana pendek atau bertraining. Risih jika harus menyelusup meminta jalan. Tidak mungkin tersenyum dengan kekesalan bertengger dalam dada. Lebih tidak mungkin lagi menyapa atau bertanya karena tidak ada yang punya waktu menjawab.
Tak-tok, tak-tok, tak-tok.
Cuma itu yang terdengar dan didengar.
“Kapan peresmiannya, Kang?” itu juga terdengar malam itu.
Entah siapa atau yang mana yang mengatakannya.
“Malam minggu besok.”
Juga entah siapa yang menjawab.
Besoknya anak pemilik rumah – entah siapa namanya tidak pernah kutanyakan, apalagi sejak meja pingpong buatannya jadi – mengetuk pintu kamar.
“Ada apa, Kang?”
“Besok Adik bisa datang?”
“Ke mana?”
“Cuma menghadiri peresmian meja pingpong. Tempatnya ya di depan situ, di tempat seperti biasa. Pak RT sendiri yang meresmikan. Malam minggu nanti. Jangan lupa ya, Dik.”
Saya mengangguk.
Tapi sabtu sore selepas ashar saya sudah pergi. Tidak punya tujuan pasti. Pokoknya pergi begitu saja. Pergi menjauhi rumah yang kupikir bakal jadi neraka malam itu. Satu-satunya yang ada dalam pikiranku hanyalah pergi sejauh dan selama mungkin. Meskipun akhirnya cuma ke Alun-Alun Bandung. Melintasi taman, masuk bioskop – entah bioskop mana dan judul filmnya apa – nonton yang diputar pukul setengah lima sore.
Keluar ketika langit sudah gelap. Lalu cari makanan di taman. Tidak lama, karena kemudian pelacur bermunculan. Masuk Parahiyangan Plaza, melewati lantai demi lantai tanpa membeli apa-apa. Berdiri lama di depan toko kaset yang menyetel lagu-lagu bagus – yang segera saya tinggalkan setelah diganti lagu daerah. Pindah ke Palaguna Plaza. Menghabiskan waktu di sana dengan cara yang sama. Pindah lagi ke bursa buku di Jalan Cikapundung. Nonton lagi pertunjukan yang dimulai setengah sepuluh. Entah bioskop mana, entah film apa.
Duduk lama di tukang bubur, sampai setengah dua.
Sampai kemudian memutuskan pulang dan menemukan sisa-sisa keramaian di halaman rumah. Meja pingpong itu sudah dilipat dan disandarkan di dinding kamar. Tak ada suara-suara. Dan untuk pertama kalinya saya merasa begitu tenteram.
Paling tidak malam ini, saya membatin.
Karena – benar – keesokan paginya diramaian dimulai lagi. Suara tawa memecah udara. Dan tak-tok tak-tok kembali menggema. Mengalahkan ketukan di pintu kamar.
Ibu pemilik rumah muncul dengan piring di tangan.
“Ini, Dik, sisa suguhan tadi malam. Adik tidak ada, jadi Ibu simpankan lebih dulu. Silahkan, Dik....”
Sejak itu radio sering kesetel kencang untuk mengimbangi suara bising di luar kamar. Sejak itu saya membiasakan diri pergi tiap malam. Pergi sore-sore sekali, dan pulang malam-malam sekali. Kalau malam minggu pulangnya bahkan bisa pagi-pagi sekali.
Kecuali sejak hujan mulai sering turun.
Karena kalau ada hujan, bisa dipastikan meja pingpong tidak dipasang. Pertandingan tidak ada. Keramaian pun sirna. Sejak itu pula saya selalu berdoa agar hujan turun tiap sore.
Tidak selalu dikabulkan.
Tapi lumayan. Karena sejak saat itu saya mendapat teman senasib. Mengenal Mas Bakso yang juga – katanya – selalu berdoa agar hujan turun tiap hari.
“Kalau hujan berarti bakso saya laris.”
Pikirannya sederhana. Seperti juga pakaiannya yang cuma baju abri, celana abri, sepatu bot, dan pet murah. Ditambah dengan payung yang selau terbuka – disangkutkan pada atap gerobak.
Payung itu hampir tak pernah dipakainya sendiri. Karena tujuannya membawa memang untuk mengantarkan bakso kepada pemesannya. Untuk melindungi mangkuk dari cipratan air hujan.
“Baksonya tambah lagi, Pak Insinyur?”
Ia selalu memanggil saya dengan sebutan Pak Insinyur, hanya karena tahu di Bandung ini saya kuliah. Ia pernah menanyakan, “Kuliahnya di Unpad?” Saya jawab bukan. “O, di ITB?” Waktu saya jawab bukan, ia tidak berani menebak-nebak lagi. Agaknya ia cuma tahu kalau kuliah di Bandung, kalau buka Unpad, ya ITB.
“Saya di Akademi Kehutanan.”
Keningnya berkerut dua kali lipat. Mungkin merasa asing karena belum pernah mendengar sebelumnya. Mungkin juga tidak percaya ada kampus lain selain Unpad dan ITB.
“Lulusnya jadi dokter ya?”
“Bukan.”
“O, berarti insinyur.”
Saya tertawa. Tidak menjelaskan mengenai program akademi yang cuma diploma tiga. Karena saya pikir menjelaskan pun percuma. Agaknya dalam bayangan Mas Bakso, kalau lulus kuliah itu ya dokter. Kalau bukan dokter, ya insinyur. Itu saja.
“Pak insinyur baru ya di sini?”
“Ya. Belum ada tiga bulan.”
“Pantes. Dulu di sini kosong. Nggak ada yang ngontrak. Lho, dulu ini memang bukan kamar kok. Ruang tamu. Iya ruang tamu. Soalnya saya pernah mengantar pesanan bakso ke sini. Iya, persis ruangan ini,” matanya melihat berkeliling. “Dulu ada meja di situ. Ada kursi dan pot bunga.” Tangannya menunjuk-nunjuk. “Wah, hebat. Sekarang jadi kamar. Bayarnya setahun berapa, Pak Insinyur?”
Saya menyebutkan sejumlah nilai.
Mas Bakso menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya ber cek-cek-cek-cek.
“Wah, kuliah itu mahal ya, Pak. Untung anak saya tidak pingin kuliah. Lulus SMP terus jadi buruh di pabrik konpeksi.”
“Jualan bakso sudah lama ya, Mas?”
“Lho, saya datang ke Bandung ini ya untuk jualan bakso. Menggantikan bapak saya yang sudah lebih dulu jualan bakso di sini. Jadi saya cuma nyusul. Meneruskan usaha. Setelah itu bapak saya balik lagi ke Jatipurno. Macul lagi. Tani lagi.”
Dalam hati saya tersenyum. Ingat karena belakangan ini pun saya selalu berdoa agar hujan turun tiap sore. Karena kalau hujan berarti tidak ada latihan pingpong. Tak ada keramaian. Tak ada gelak tawa dan dentingan gitar.
“Saya juga senang kalau hujan terus.”
“Bagaimana, Pak?”
“Saya juga suka berdoa supaya hujan terus.”
“Lho, memangnya Pak Insinyur jualan bakso di mana?”
Toh akhirnya Mas Bakso tahu saya terganggu.
Bukan dari orang lain, melainkan dari saya sendiri – sewaktu tanpa sengaja memergoki saya duduk mencakung di jembatan beton. Saat itu udara cerah. Sehabis makan malam – karena bisa ditebak ada latihan pingpong di halaman – saya jadi malas pulang. Memilih duduk di jembatan tanpa maksud apa-apa.
Ketika itulah Mas Bakso lewat.
Masih memakai topi dan sepatu bot, tapi tidak membawa payung – tentu saja, karena tidak hujan. Tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan gerobak. Dan semakin menjadi lebih bergoyang lagi setelah menangkap kehadiranku.
“Lho, Pak Insinyur sedang apa di sini?”
Saya cuma tersenyum.
“Tidak belajar, Pak?”
“Tidak, Mas. Tidak belajar karena tidak bisa. Di rumah ada latihan pingpong. Ramai. Ribut. Apa bisa belajar kalau banyak orang begitu?”
“Iya ya.”
Kalimatnya bernada membenarkan. Seolah-olah ia ikut terganggu dengan latihan pingpong. Padahal kalau dipikir-pikir tidak ada hubungannya. Meskipun ada latihan pingpong, Mas Bakso tetap saja bisa berjualan. Hanya saja tidak bisa leluasa melewati kerumunan di pinggir jalan. Terpaksa berputar, dan pembeli di tempat lain selalu ada.
Gerobak itu bergoyang lagi.
Mungkin Mas Bakso akan lebih meng-iya juga ya, kalau tahu besoknya tambah ribut lagi. Sekarang yang ada bukan cuma latihan pingpong, tapi juga permainan karambol. Yang terakhir malah dilakukan siang hari!
Lengkaplah sudah.
Malam pingpong, siang karambol. Tak ada waktu tersisa untuk ketenangan. Lebih-lebih setelah dua lampu berkekuatan seratus watt menjadi penerang. Aliran listriknya dicuri dari kantor pensiunan militer. Caranya dengan mencantolkan kabel panjang ke lampu di belakang kantor. Tidak ketahuan karena kabelnya terbaring di tanah. Mencantolkannya pun setelah magrib.
Malam ribut. Siang sama saja ributnya.
Saya makin tidak betah.
Apalagi mengharapkan hujan sudah tidak mungkin lagi. Kemarau sudah berkuasa. Musim hujan cuma diberi kesempatan dua bulan. Sisanya angin kencang sekali-sekali. Tapi itu tidak mengganggu permainan karambol. Tidak mengurangi hingar bingar.
Inilah satu-satunya tempat di dunia di mana ketenangan tidak pernah terjadi, kataku dalam hati.
Keinginan untuk pindah pun makin mendesak. Diam-diam saya mulai mencari kamar kontrakan yang lain. Yang lebih dekat ke kampus. Yang tidak berhalaman luas. Tidak dekat kantor pemerintah. Dan berada di jalan buntu.
Padahal kalau pindah berarti rugi, karena sudah membayar kontrakan untuk satu tahun.
Lebih baik rugi lima bulan, daripada menderita tekanan batin.
Lebih baik mencari kamar kontrakan yang lain.
Dan ketemu.
Bulan berikutnya dipastikan pindah. Barang-barang yang ringan sudah dibawa satu persatu sambil kuliah. Kertas-kertas dirapikan. Buku dan surat-surat disatukan. Pakaian yang jarang dipakai disusun dalam lapisan paling bawah. Sisanya – termasuk majalah dan koran bekas – ditinggal.
Aneh juga bahwa malam itu turun hujan.
Saya berdiri di pintu. Menunggu Mas Bakso untuk mengabarkan kepindahan saya ke tempat yang baru. Derit gerobaknya saya hapal persis. Begitu pula langkah kakinya dalam sepatu bot.
Wajahnya riang. Mungkin karena hujan yang turun ikut menurunkan rejeki untuknya. Pasti baksonya laris, banyak yang memesan, dan pasti masih menyisakan untuk saya.
“Selamat malam, Pak Insinyur!”
Sudah saya rencanakan memborong sisa baksonya karena sisa uang yang ada – setelah dipakai membayar kamar kontrakan yang baru – masih cukup banyak. Tapi belum apa-apa, Mas Bakso sudah mengajak bersalaman – kebiasaan yang tidak pernah ada selama ini.
“Beres, Pak Insnyur. Semuanya sudah beres.
Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Tadi siang saya sudah lapor sama orang kantor pensiunan. Saya kasih tahu bahwa listriknya dicantol. Dua ratus watt. Kalau enggak buru-buru ditindak, bisa rugi mereka. Katanya besok mereka akan lapor PLN.
Terus saya ke rumah Pak Erte. Saya bilang terus terang bahwa latihan pingpong mengganggu lingkungan. Tetangga kiri kanan tidak bisa tidur nyenyak. Pelajar tidak bisa konsentrasi. Latihannya ndak pakai waktu. Seenaknya saja. Katanya Pak Erte akan mengecek sendiri. Kalau betul begitu, latihan akan dipindahkan ke tempat lain. Kalau perlu ke lapangan voli. Pak Insinyur tahu lapangan voli di mana? Dekat kali di belakang pabrik tenun! Jadi Pak Insinyur tenang saja. Tapi, sekali lagi, jangan bilang siapa-siapa. Nanti kalau ketahuan saya yang melaporkan, gawat. Ya, Pak Insinyur?”
Saya mengangguk pelan. Dan mendadak merasa terharu.
Harian PIKIRAN RAKYAT – Minggu, 16 Juli 1989